Pages

November 16, 2016

(seperti) PAGI YANG BIASA

Kemarin, 03.30 WIB. Alarm handphone belum berbunyi. Sayup-sayup suara orang mengaji dari arah Masjid Agung. Belum masuk waktu Subuh. Rambut lengket, samar-samar bau iler. Coba menggeliat, posisi terjepit ke tembok. Seperti biasa, Mas Suami menjajah pembagian wilayah kasur. Oke, fine, mari kita bangun dengan gaya jungkat-jungkit. Duduk dulu di pinggir kasur, setengah menit-an. Beri kesempatan otak dan segala pembuluhnya menyesuaikan diri dulu. Begitu sih kata copas-an teman di Whatsapp. Gak ada salahnya dicoba. Minum sebotol air putih dan jalan pelan ke kamar mandi. Siap-siap Subuh-an. Siap memulai hari.

Tak ada yang istimewa di pagi kemarin. Rutinitas yang sama seperti biasa: bangun tidur by alarm handphone, sholat Subuh, beres-beres dapur, menyapu teras dan halaman depan, olah raga ringan jalan kaki 30 menit di sekitar rumah, menanak nasi merah untuk bekal makan siang, setrika baju kantor, mandi, dandan dan ganti baju disambi nonton pak bos Gibbs di NCIS, tengok whatsapp, minum shake protein, berangkat ke kantor di antar Mas Suami.

Interupsi rutinitas kemarin pagi adalah si Arief. Nginap di rumah sehabis kontrol bulanan ke dokter Jordan di RS Husada Utama hari Senin lalu. Karena dia rencana pulang jam 9 pagi kemarin, maka dandan dan ganti baju disambi nonton pak bos Gibbs masih disambi lagi dengan kegiatan bawel ala kakak (sok) baik: bangun! mandi! mau dibelikan sarapan apa? jangan lupa bawa botol bawang putih tunggal sama garam diet-nya! dipanggilin taksi ke terminal jam berapa? jangan dihentikan langganan katering diet hipertensinya! hitung kapan obatmu habis bulan depan! jangan datang tanggal 12 Des, nanti macet lagi sama arus balik ke Surabaya! bla bla bla bla. Ya, saya emang bawel banget. Buanget! Karena saudara kandung saya cuma tinggal dia seorang.

Interupsi lain, mama telpon pas setelah saya ganti baju dan ngomong sama Arief. Telponnya singkat, sambil tergesa-gesa mau ke pengajian rutin Selasa-nya. Tanya kabar, tanya Arief, bilang ini, bilang itu, minta ngomong sama Arief, trus tutup telpon karena sudah dijemput temannya. 

Kemarin pagi di tengah ketergesaannya, Mama mengucapkan selamat ulang tahun disertai permintaan maaf tidak kirim hadiah. Cuma kirim doa buat saya dan Arief, selalu.   

Sambil minum shake saya buka handphone, buka whatsapp, ganti profile dengan foto Mama ketika mengunjungi Museum di Belitung. Ganti status : Hadiah ultah yg ke 25, 41 tahun yg lalu. Buka IG, upload foto Mama yang sama dan tulis caption yang kurang lebih sama. Dada saya tetiba sesak karena haru. Betapa banyak nikmat Allah SWT yang telah saya terima. Betapa banyak hikmah yang saya rasakan. 

Keinginan tiba-tiba untuk lebih dekat dengan Arief yang membawa keputusan berlibur weekend sebulan sekali di Malang, ternyata adalah cara-Nya menyiapkan saya untuk merawat Arief sejak di vonis dekompensasi jantung dan batu ginjal dua bulan lalu. Arief introvert dan harus diakui saya tak tahu banyak tentang kehidupannya di Malang. Tak terbayangkan seandainya pada kondisi emergency saat itu harus dihadapinya sendirian: tak ada saudara, tak ada teman yang tahu saudaranya.

Keinginan sejak bakda lebaran tahun lalu untuk menghentikan kontrak rumah Mama di Lumajang pada akhir tahun ini dan merenovasinya awal tahun depan, ternyata adalah isyarat-Nya bahwa Mama harus kembali ke Jawa Timur. Kepergian mendadak Bapak berbarengan dengan sakitnya Arief, menyisakan Mama yang tinggal sendirian di Cibinong.

Tahun ini sungguh luar biasa, boleh dibilang salah satu titik balik dalam hidup saya. Sejak awal tahun mengalami T.I.A / gejala stroke ringan karena gula darah tinggi, maka pola hidup sehat sudah tidak bisa ditawar lagi. Vonis diabetes tipe 2, merawat Arief dan menyiapkan kepindahan Mama ke Jawa Timur mengubah pola pikir, semua prioritas dan rencana dalam hidup Saya. 

Sambil menjaga kesehatan sendiri, saya harus menjaga keluarga...menghitung dan mempersiapkan segala kemungkinan. Selebihnya saya pasrah kepada-Nya. Saya harus kuat, harus sabar...demi mereka: Mas Suami, Arief dan Mama. Dan saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa saya tidak akan bisa melewati semua ini jika tidak karena doa Mama. Bukankah ridho Allah ada pada ridho orang tua?

Pagi kemarin; pagi yang biasa; sama seperti pagi tepat 41 tahun lalu yang membawa 'early birthday gift' untuk Mama di ulang tahunnya ke-25 dua hari kemudian: kelahiran saya. Pagi kemarin, saya berdoa...semoga, semoga kelahiran saya menjadi segala kebaikan yang dideraskan dalam doa-doa Mama siang-malam: kebaikan dunia dan akhirat. Aamiin yaa rabb. Aamiin.

Add caption
Pelangi selalu hadir setelah hujan dengan warna warni keindahan seperti mengucap "jangan kuatir, letih dan sedihmu akan terurai dengan bahagia, jika hanya kau mampu melihat rencana Tuhan yang maha indah untukmu".

Untuk pelangi yang hadir dengan segenggam bunga...I love you, Rona...

(Dari Mona via whatsapp, kemarin pagi..sukses menjebol tanggul air mata. Rasanya seperti tepukan di pundak ketika kau membutuhkannya. Mungkin memang benar : Mereka yang perduli padamu, mendengar dan memahami 'diam'mu. Love you Mon, more) 

Tidak ada komentar:

Half Purple and Blue Butterfly