Pages

September 29, 2011

Kindle: Karena Emosi

Ini postingan gak penting. Sungguh. Isinya hanya akan membuktikan kebenaran suatu survey yang kira-kira isinya kalo tidak salah menyimpulkan bahwa perempuan itu seringkali memutuskan membeli sesuatu karena emosi. Survey darimana? Saya lupa apakah info ketika di bangku kuliah pas mata kuliah manajemen pemasaran atau dari artikel di suatu majalah. Survey yang dulu saya tentang tapi kali ini dengan malu-malu-mau saya aminin.

Jadi begini, hape saya sudah berusia dua tahun lebih. Menilik kecepatan perkembangan teknologi per-hape-an, tentu saja handphone saya sudah terbilang jadul. Untuk ukuran para pengikut mode dan teknologi, hal ini bisa dianggap 'sesuatu' yang ndak banget kan ya. Apalagi jika dikaitkan dengan tuntutan jabatan *staf aja belagak direktur hahahaha*. Tapi karena saya lebih mementingkan fungsi, maka biarlah saya dianggap ketinggalan mode. Cuek aja. Pun ketika hape saya mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan dini macam susah charge baterai karena entahlah, baterai yang cepat habis, sms yang nyangkut hingga menghalangi pengiriman sms lain, sering hang....sampai tidak dapat menerima sms hanya dari nomor tertentu yang membuat saya heran sendiri dan pengirim sms protes menyuruh saya ganti hape.

Bukannya pelit atau tidak ada anggaran yang bisa disisihkan untuk beli hape baru, tapi karena saya pikir semua masalah itu masihlah bisa diatasi. Termasuk sms tidak nyampai itu yang bisa diakali dengan chatting aja *maaf ya :D*. Soal nggak gaul atau nggak update, abaikan saja. Sayang uangnya, bisa dipakai beli yang lebih penting.

Lebih penting? Eeeeee...seharusnya begitu ya. Tapiiii.....*disinilah letak kebenaran survey di atas*, saya mengiyakan ketika mas Sinfo pas awal ramadhan lalu ujug-ujug menawari saya membeli barengan sebuah benda yang  bukan prioritas dan sesungguhnya saya tidak ngeh bener apaan tuh. Hanya karena alasan:  ada hubungannya ma buku dan baca-membaca, itu benda ndak dijual di indonesia, belinya mesti jauh di benua sono, belinya mesti punya akun amazon pula, dan terakhir alasan paling nggak oke....karena covernya unyu-unyu *hehehe*. Sungguh emosional sekali kan?  Ter-la-lu *gaya bang haji*. Benda apakah itu saudara-saudara?......E-book reader! *parah kan? hahahaha*

Karena ketidak-ngeh-an, saya jadi ndak se-degdeg-an mas Sinfo ketika menunggu barang itu datang. Awalnya sih mas Sinfo berharap ini jadi teman mengisi waktu libur lebaran kemaren. Sayangnya, baru datang minggu lalu. Lama juga ya, sebulan lebih. Tak apalah, yang penting nyampe dengan selamat walaupun tak bisa buat sms dan telpon-telponan. Plus membungkam cengcengan teman-teman yang meragukan terkirimnya barang itu *hehe*.

Ini foto-foto norak yang kami ambil ketika si kindle, e-book reader itu, baru datang:



yang kanan punya mas Sinfo, yang kiri punya saya. covernya unyu kan? 
mas Sinfo aja nyesel ga pilih yang warna-warni hehehe

Jadi, begitulah. Dengan asupan ebook dari mas Sinfo, sekarang saya meminimalisir menumpuknya buku di sekitar kasur *seringnya gagal*. Tapi ya itu, kebiasaan melempar dan nyungsruk-nyungsrukin buku di sekitar kasur setelah kegiatan membaca sebelum tidur malam harus segera dihentikan. Bahaya! *hehehe*

September 23, 2011

Selepas Subuh Hari Ini

Selepas subuh hari ini, pikiran saya melayang kemana-mana. Dipicu sesuatu hal sedih yang menimpa kawan. Hal yang tak ingin saya jadikan beban, tapi alam bawah sadar sudah terlanjur merekam. Mungkin karena saya mencoba mendudukkan diri pada posisinya, untuk mengerti rasa menelan pil pahit yang tak diinginkan. Dan ingatan memanggil beberapa kisah yang hampir senada: kisah saya dan beberapa kawan lain. Kisah hati yang meminta keadilan karena tersakiti, yang berujung tanya mengapa terjadi pada kami. Alih-alih bertanya mengapa bisa terjadi, saya malah bertanya-tanya mengapa semua kisah itu terjadi setelah masing-masing melewati satu titik balik dalam hidup yang intinya adalah mencoba berjalan lurus, kembali pada-Nya.

Satu bagian surah yang tak teringat jelas, melintas-lintas di kepala: tentang ujian bagi mereka yang berikrar, mereka yang bertaubat, mereka yang mengaku beriman. Segera saja saya melipat sajadah dan menyalakan laptop, meminta mbah Google mencari yang diinginkan. Beberapa link, beberapa artikel, beberapa kajian sebelum saya termenung-menung. Dan pagi ini, saya memulai hari dengan mencamkan baik-baik isi serangkaian angka ini = 29: 2-3; 2: 216; 31: 34.
...
"Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan  "aamannaa" (kami telah beriman) padahal kami belum lagi memberikan ujian kepada mereka. Sungguh telah kami uji ummat sebelum mereka, dengan ujian itu jelaslah oleh kami siapa yang benar pengakuan keimanannya dan siapa pula yang dusta" (QS 29:2-3)

"Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (QS 2:216).

"Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok" (QS 31:34).
 ...
Saya tak tahu apakah cara berpikir saya benar, apakah konteks permasalahan selaras dengan angka-angka itu. Saya hanya ingin berbagi saja. Hanya ingin meringankan beban. Ambil manfaatnya, maafkan jika didalamnya ada kesalahan, ingatkan jika ada yang tak benar. Saya yang terbatas ilmu pengetahuan ini, yang masih harus banyak belajar dari sekolah kehidupan ini, ingin lulus dengan gemilang bersama teman-teman.

September 21, 2011

Antara Aku, Ucik dan Tiga Negeri

"Li!"
"Hmm..."
"Li, kenapa sih mau temenan sama aku?"
"Lah kamu kenapa juga mau temenan sama aku?"
"Uli hodob! Ditanya malah nanya!"
"Lah kamu juga kenapa tanyanya aneh-aneh."
"Karena yang lain ga ada yang mau temenan sama aku ya?"
"Kayanya gitu, Cik..."
"Uli nyebelin!"
"Emang..."
...

Dari awal pertama berkenalan, tidak pernah terbayangkan kebersamaan kami akan melewati angka 17 tahun. Seandainya sebuah usia pernikahan, mungkin kami sudah punya anak abege gadis atau bujang. Sayangnya, saya ndak berniat naksir atau menikah dengan Ucik, sahabat saya itu *hehehe*.

Donna yang mengenalkan saya pada Ucik pas awal masuk kuliah di Unair dulu. Persis setelah acara penataran P4 selesai *ketahuan deh jadulnya*. Awalnya saya heran, kok bisa ya Donna yang buawel binti antik bin ajaib bin gaul itu kemana-mana dikuntit makhluk pendiam ga gaul berwajah pucat kotak dan jutek. Persis asisten pribadinya. Setelah agak lama mengenalnya, saya baru ngeh kalo kejutekan itu disebabkan karena Ucik sebal kebawelan Donna *gitu kok ngintil terus...huahahaha*.

Ucik itu teman tidur saya sejak 17 tahun yang lalu. Lho ya, jangan pada ngeres bacanya. Maksudnya itu, kami resmi jadi teman kost sekamar beberapa bulan setelah berkenalan.  Dilanjut pindah kontrakan setelah selesai kuliah dan bekerja (tetap di Surabaya), bahkan sampai saya pindah kerja ke Bekasi. Kami hanya sempat terpisah selama setahun. Sekarang dia kerja  dan kost di Tanggerang tetapi setiap Jumat malam pasti kabur ke Bekasi sampai Senin pagi *hehehe*. 

Yang saya heran sampai sekarang, jaman awal kuliah dulu Ucik kok rela ya meninggalkan kostnya yang mewah nan nyaman itu demi kost di kamar saya yang asli mirip pagupon (rumah burung dara): sekitar 2 x 3 m2, terletak di atas dua kamar mandi, lantai papan kayu beralas terpal plastik, dipan susun, dua meja tanpa kursi, tanpa lemari (lemari diletakkan di depan pintu kamar) dan berjendela kawat ram kecil yang menghadap ke genteng langsung. Kamar yang jika sedang diisi oleh enam sekawan menyebabkan penghuni kost lain tak berani ke kamar mandi karena takut keambrukan. Kamar yang pernah menyajikan pemandangan selepas tidur siang: kucing pipis persis di genteng depan jendela kawat ram! *hahahaha*

Ucik dan saya berbeda 180 derajat. Kesamaan kami cuma jalan-jalan dan makan-makan: bersenang-senang. Selebihnya, berbeda. Dia itu cenderung pendiam, menarik diri, ndak pedean. Sedangkan saya suka ngomong, over pede dan cenderung tak tahu malu. Ibarat lilin dan mercon bumbung. Dia feminim, saya agak macho. Dia pengalah dan ga enakan, saya keras kepala dan hajar saja. Dia resik dan rapi, saya slebor. Dia hemat, saya boros. Dia pinter masak, saya pinter makan. Dia sekutu Mama, saya yang ngerusuhi Mama. Dia seleranya Heidy Yunus, saya pilih Gerald Buttler saja *hehehe*.

Saya tak tahu apa yang membuatnya tetep lengket pada saya. Padahal selama ini saya sudah sering semena-mena dan merugikannya. Jaman kuliah, saya tak pernah mau meminjamkan jawaban tugas apapun kepadanya. Tidak pernah mau berdiskusi atau membantunya mengerjakan tugas atau skripsi sebelum dia menguasai bahannya. Membongkar seenaknya file presentasi skripsinya semalam sebelum sidang. Menularinya virus tak suka dandan. Mencekokinya dengan konser musik di mana saja dan kapan saja. Meminjam uang tabungan berharganya demi uang kuliah dan skripsi  dengan jaminan pengembalian nanti selepas kerja yang entah kapan. Sekarang, seringkali menyuruh-nyuruhnya cuti demi menemani saya jalan-jalan. Membuatnya wira-wiri ke Bekasi setiap akhir pekan. Dan lain-lain, dan lain-lain. Belum lagi tuduhan kami tak normal, dari keluarga besar pihak bapaknya *hadehhhhh*. 

Saya merasa tak banyak yang sudah saya lakukan untuknya, sedangkan dia selalu ada untuk saya dalam suka dan duka. Herannya, bukannya saya yang harusnya bertanya mengapa dia bertahan berteman dengan saya. Seringkali malah Ucik yang bertanya mengapa saya bertahan berteman dengannya. Pertanyaan yang seringkali saya jawab seenaknya seperti dialog di atas. Padahal pada kenyataanya ya tidak begitu. Saya boleh jadi adalah tempat curhat teman-teman kami, tapi siapapun yang mengenalnya secara langsung pasti cenderung lebih suka berdekatan dengannya. Sudah lama pertanyaan itu tidak diajukannya lagi. Persisnya setelah saya memberinya jawaban berbeda suatu ketika lewat tulisan di wall akun facebooknya, seperti ini:


"anonymous said that friendship isnt how u forget but how u forgive, not how u listen but how u understand, not what u see but what u feel, and not how u let go but how u hold on ... soooo, it's all about how YOU forgiving, understanding, feeling, and holding ME .... MENGERTI gak? oh ya, satu lagi...karena kau keukeuh maksa aku naik angkot padahal aku punya duit lebih buat naik taksi :)) ..."
...

Buat Ucik yang saya tahu pasti adalah silent reader blog saya ini, yang selalu bertanya bagaimana cara komen tapi selalu saya cuekin *hehehe*:


Ucik jelekkkkkkkkkkkkkkkkkk....Selamat Merayakan Hari Jadi, ya. Aku sueneng karena setiap tanggal 21 September adalah saat-saat pembuktian bahwa kau setahun lebih tua dariku. Setidaknya sampai dua bulan mendatang wkwkwkwkwk....

Oh ya, kejutan! 

Ini tak kasih kado kain batik tiga negeri koleksiku yang udah kau ecesin dari awal ngeliat. Mau-mu jadi kado nikahanmu, toh? Tak kasih sekarang saja, ya. Siapa tau bisa jadi pancingan datangnya pak penghulu :)).

Eh, btw...batik itu sejak dari awal emang kubeli buatmu. Ambil di Bekasi minggu depan. Kalo kau tak baca postingan ini n melewatkan memintanya dariku, berarti bukan rejekimu :)). Aku kan malas sms n telephone selamat selamatan :p

September 19, 2011

Teori 2.9 Kg

Hari Jumat yang lalu, si cantik Serena diajak Bunda-nya main ke kantor. Usianya kalo ga salah baru 18 bulan. Rambut kriwul dikuncir kuda, mata sipit yang sering ilang kalo tersenyum-tertawa, dandanan matching nang lucu khas anak seusianya, udah bisa berekspresi, udah bisa diajak ngobrol. Ngegemesin. Aunty Rona sukaaaaa ^^.

Eh, yang lain juga suka ding. Termasuk Om Machrif, pastinya. Ini temen kerja Aunty Rona; satu level. Udah termasuk senior. Bapak yang supel, baik, suka becanda dan agak sotoy. Tapi serius juga dan perasa. Kesannya takut menyinggung orang lain gitu. Kombinasi suka becanda, sotoy, serius dan takut menyinggung orang lain ini yang kadang jadi obyek keisengan Aunty Rona. Terutama kalo si Bapak mengucapkan sesuatu yang bias atau bisa dipelesetkan Aunty Rona demi kepentingannya sendiri. Macam jumat siang sebelum shalat Jumat kemaren itu. 

Aunty Rona sedang main-main sama Serena di meja kantor. Tante yang lain kebetulan juga pada kumpul di situ. Om Machrif datang membahas masalah kerjaan sebelum berangkat ke masjid. Kelar diskusi terjadilah pembicaraan ini:

"Ini anak siapa, mbak?"

"Ini Serena, putrinya Bunda dan Bayu....Sheena, sini cium tangan Pakde dulu."

"Cantik ya, mbak..."

"Terima kasih, pak..."

"Serena ini dulu pasti lahirnya 2.9 kg, mbak. Cantik gini. Soalnya sepengetahuan   saya, yang lahirnya 2.9 kg cantik-cantik, mbak...

"Beneran, pak? Wah, terima kasih. Berarti saya cantik juga dong. Secara saya juga 2.9 kg juga."

"................"

"Lho, lho...Pak, mau kemana pak?"

Om Machrif kabur setelah kebingungan mau senyum or ndak, dan Aunty Rona tentu saja ngakak-ngakak girang plus berkoar-koar bangga dengan teori 2.9 kg itu *ehehehehe*
-------------
Begitulah jadinya, kalau fakir pujian sedang kumat isengnya :D

September 16, 2011

Hadap Kiri: Fokus!

Iya, judul postingan ini terinspirasi judul buku Adhitya Mulya dkk yang Traveler's Tale - Belok Kanan: Barcelona!. Entah dimana letak kesamaannya karena saya sedang tidak berniat menuliskan pengalaman traveling yang tak seberapa.

Begini, pulang kantor hari ini saya berencana mampir ke toko buku. Beli peralatan stationery. Belum kepikiran mau beli apa saja. Rencananya saya ingin menuliskan 100 mimpi saya dalam sebuah entah board, karton atau apalah yang berukuran cukup besar. Nantinya, akan saya tempelkan di dinding sisi timur di kamar. Itu artinya setiap kali saya berbaring di kasur dan menghadap ke arah kiri, mimpi-mimpi yang sudah tertulis itu akan menjadi pemandangan yang harus saya lihat.

Hal ini sesungguhnya sudah lama ingin saya wujudkan sejak membaca postingan ini. Kerjaan yang seakan tiada habisnya, manajemen waktu yang kedodoran, atau entah apalah yang membuatnya jadi tertunda. Baru semalam ketika seorang kawan berniat titip membeli buku, saya seperti diberi pencerahan hari inilah saya harus memulainya. Yah, itu bukan satu-satunya alasan juga sih *buang jauh-jauh fakta yang mampir ke telinga rabu sore lalu*. Tapi biarkan saya menyangkalnya dan menjadikan titipan buku itu sebagai alasan utama *hahahaha! parah!*.

Di kepala saya sudah berderet sejumlah mimpi yang akan saya tuliskan. Tapi bahkan sebelum saya memulainya, sudah terasa bahwa mengumpulkan sampai angka 100 (mungkin) bukan pekerjaan yang mudah. Saya akan butuh waktu untuk merenung, melihat lagi blue print hidup yang saya inginkan, mengenali diri jauh ke dalam. Jangan-jangan, di tengah proses menuliskannya saya akan mendapati bahwa ternyata selama ini saya tidak mengenal diri sendiri *keterlaluan! hahahaha*. Ya, setidaknya saya mengambil langkah. Saya akan butuh banyak doa. Sungguh.
hiks, saya lupa darimana gambar ini saya dapatkan. maafkan...

"ketika diri tak kuasa menolak, ketika usaha menisbikannya berujung lara...hanya ini yang bisa dilakukan: mencari kesibukan, membagi fokus"

September 14, 2011

Jauh Tapi Dekat

Akhir minggu lalu saya ke Bandung dalam rangka menghadiri wisuda Neno, adik bungsu sobat 'plek' saya: Ucik. Seperti biasa, saya menempatkan diri jadi tukang foto meskipun hanya mengandalkan kamera digital saja. Hari itu Neno cantik dan terlihat dewasa dalam setelan kebaya dan kain warna biru muda. Mungkin karena riasannya? Tapi rasanya tidak. Sejak awal menjemput kami, saya dan Ucik, di stasiun; saya  baru menyadari ada yang berubah. Pembawaannya lebih matang walau jejak bungsunya masih terlihat.
 
Perbedaan usia kami terpaut jauh, sekitar sepuluh tahunan lebih. Karena itu rasanya tidak percaya Neno sudah menjadi perempuan dewasa. Perasaan seperti baru kemaren saya melihatnya memakai seragam biru putih, merengek minta tambahan uang jajan ke kakak-kakaknya, berselisih dengan ibu soal teman atau pacar-pacarnya, wajah malu-malu mau menerima hadiah atau uang saku dari saya, menghabiskan liburan di kost kami di Surabaya. Waktu terasa cepat berlalu atau kami saja yang mengabaikannya? 

Seharusnya Mama saya bergabung dengan kami: Saya, Ucik, Neno, Ibu dan Bapak di acara wisuda  itu. Mama batal berangkat karena sibuk dengan acara persiapan hajinya yang mendadak. Hanya sempat berbincang lewat handphone saja. Saya jadi teringat keinginan lama Mama menginap di rumah Ucik yang selalu tertunda. Padahal, Ibu dan Bapak selalu menanyakan kapan sempatnya. Selama ini, hanya telephone dan kiriman barang saja yang sampai ke rumah masing-masing.
 
Diakui atau tidak, hidup ini kadang menyajikan realita yang aneh ya. Saudara bertalian darah dan tak terpisah jarak yang jauh, seringkali menjauh, menjadi asing dan terasa seperti orang lain. Tetapi orang lain yang tidak bertalian darah, terpisah jarak cukup jauh, seringkali lebih dekat seperti saudara dan keluarga saja. Apapun alasan dan penyebabnya....begitulah hidup. Kalo orang Perancis bilang... c'est la vie ...begitu ya? 
 

...
to Neno: selamat ya ... semoga benar-benar menjadi 'Sarjana' :)


September 09, 2011

(Bukan) Puisi Galau

Lelaki angin,
yang terbiasa mengakrabi kesunyian...
Ceritakan padaku kisah-kisah negeri seberang: 
yang memberi peluhmu aroma matahari, tanah dan air, 
yang memberi senyummu oase sahara, 
yang memberi matamu palung samudra
Ceritakan dengan bahasamu yang lama kuakrabi: 
bahasa kesunyian

(02.08.2009)
---

Seorang sahabat tadi siang bilang sudah menamatkan tulisan-tulisanku tentangmu. Dia bilang isinya romantis, padahal menurutku itu galau semua. 

Aku teringat emoticon nyengir, ngakak dan ceng-cengan kita di jendela messenger akhir-akhir ini. Kamu masih seperti dulu. Teman diskusi yang bernas, menyenangkan dan apa adanya. Tukang jalan-jalan yang bebas, tak takut sendiri atau kesepian. Pejuang tangguh yang arif dalam kerendahhatian. Darimu, aku mencangkok bibit keberanian menjalani pilihan hidup dengan keyakinan.

Kamu bilang apa waktu itu? Puisi untukmu ini bagus? Aku masih ingat mati gaya-mu ketika kau tanya mengapa 'angin'? Maafkan telah membuatmu jengah. Seperti sahabatku itu bilang, aku ini memang mengidap penyakit lebay parah. Tapi saat itu kau memang seumpama udara untukku.

"Mohon dimaafkan segala salah yang telah ku perbuat", itu jawabmu ketika kuucapkan permohonan maaf lahir batin hari raya lalu. Apa yang telah kau perbuat? Apa yang telah kita perbuat? Apanya yang salah? Aku tak pernah menganggapmu kesalahan, pun tidak juga berbuat salah. Yang telah terjadi adalah bagian lakon hidup yang harus kita jalani. Semoga saja kita pandai memetik pelajaran darinya.

Ku-publish puisi ini sebagai point positif yang menghapus semua tulisan galauku tentangmu, ya. Kamu masih lelaki angin, hanya saja sekarang tak kunanti kisah-kisah negeri seberang darimu...Ck! Cerita hobby baru jalan-jalan ke mall sungguh tak menarik hatiku. Hahahaha...

September 07, 2011

Sesederhana Itu

Sepotong malam yang tak sempurna: tak ada purnama, sunyi semata. Seseorang larut dengan bibir terkatup di depan layar kaca, sibuk dengan mereka yang berebutan bola. Tiada basa-basi, miskin kata-kata. Hening yang sempurna.

Seorang lagi disebelahnya, mengukir senyum di dada. Merenda hening, menyempurnakan malam. Tak ada tanya, dimengerti saja. Bahagia itu ketika dia ikhlas menerima apa adanya, menikmati moment yang ada. Karena membekukan waktu pun, ia tak kuasa.

Bahagia, sesederhana itu.

September 05, 2011

Dua Helai Kouyou


Dua helai kouyou itu sudah lama terlupakan. Tersimpan rapi di halaman album perangko tua: kering dan menghitam. Sedari awal tak pernah kulihat merahnya. Kau, yang tak pernah kusangka ikut andil memetiknya...apa kabarmu di sana? Sebaris doa yang pernah kujanjikan, sudah lama tak kulangitkan. Maafkan, bahkan aku tak mutlak menguasai hatiku seutuhnya. Karena bagaimanapun hidup harus terus berjalan, kan?

Awalnya, kau tak pernah tahu aku menyukai dedaunan itu. Masa kita terlalu singkat. Aku tak pernah sempat bercerita mimpiku berjalan di bawah tunnel pepohonan itu: di suatu musim gugur, dihujani dedaunan kering yang luruh diayun angin, di negeri tempat sakura mekar sempurna. Pohon yang tak kita jumpai di sini, yang selalu berganti warna daun mengikuti musim yang berubah: hijau menjelma merah, merah muda, kuning, oranye atau emas. Mereka bilang itu pohon musim gugur.

Apa warna kouyou ini ketika kau petik? Merah, kuning atau emas? Aku takkan pernah tahu.

Waktu itu musim dingin yang hebat. Mana kutahu pohon itu kehilangan daunnya di musim ini. Apa yang ada dikepalamu ketika kau nekad memanjatnya demi dua helai daun di ranting nan tinggi? Sadarkah kau berapa besar taruhannya? Tak sebanding dengan harga yang harus kau bayar. Telah kusampaikan pada sahabatku itu. Seharusnya titipanku ini adalah rahasia. Ia putus asa karena salju dan tinggi pohon menyurutkan langkahnya. Dia dan dunia tak pernah tahu kisah kita.

Kuterima dua helai kouyou itu sambil terngangga. Tak pernah kusangka kisah yang menyertainya. Apakah itu pesan rahasia? Aku tak mau menelisiknya. Kita telah memilih jalan yang berbeda. Kuanggap saja itu pertanda, kau telah menerima kenaifanku untuk kebaikanmu dan berdamai dengan dirimu sendiri. Cukup begitu.

Dua helai kouyou itu seharusnya merah, seperti arti namanya. Tapi buatku, biarlah seperti yang kuterima. Kusimpan saja di antara perangko-perangko tua. Ia hanya akan menjadi sejarah, meski dihatiku pernah memerah sempurna.

 ...
setiap kali terpuruk dan berdarah, kuingat saja kisah kita. 
kujadikan mantera: aku pernah melewati yang terparah.

September 03, 2011

Ketika Libur (Terlalu) Panjang

Libur lebaran kali ini rasanya terlalu panjang buat saya. Tambah merana secara ingat bahwa liburan ini dihitung memotong cuti tahunan yang sudah banyak terpakai. Coba ya hari-hari kejepit itu ditetapkan jadi hari libur aja, jangan motong cuti gitu *siap-siap digetok pejabat berwenang*. Jadinya kan saya ndak perlu merana berkali-kali

Pertama, merana karena liburan tidak pergi kemana-mana dalam arti yang sesungguhnya. Itu konsekuensi pendatang yang tidak diakui punya kampung halaman, plus harus stand by karena menunggu keluarga  besar  pihak Bapak membawa angpao berkunjung ke rumah. Padahal, acara kunjungan itu hanya terjadi pada hari H lebaran, yang mana keluarga besar merayakannya pada hari Selasa kemarin. Jadi secara ostosmastis, saya yang lebaran hari Rabu-nya, cuma sibuk dari hari Minggu sampai Selasa kemaren. 

Kedua, sisa hari sampai dengan Minggu terpaksa tetap tinggal di rumah karena di kota ini  (Cibinong) dan sekitarnya, saya ndak punya teman untuk dikunjungi. Ada sih beberapa teman, tapi pastinya sibuk dengan agenda lebaran masing-masing. Ke rumah saudara? Saudara saya dari pihak Mama di Jawa Timur juga sibuk berkelana dari kota ke kota. Ke tempat wisata? Males, karena pasti ramai dan tidak nyaman. Ke Mall?  Takut tergoda sale-sale itu secara jatah THR sudah habis. 

Jadilah saya menghabiskan awal sisa liburan ini (dari hari Rabu) seperti robot saja: bangun pagi, setrika, nyuci, nyapu, ngepel, mandi, makan, tidur, mandi, makan, tidur lagi. Sampai Mama protes dan bilang: "urip kok isine mangan, turu, ngising, nguyuh". Hahahaha. Maaf ya, buat yang tidak paham bahasa Jawa. Saya ndak tega menerjemahkannya. Tapi intinya nyuruh saya berkegiatan daripada begitu-begitu saja.

Demi protes Mama itu, akhirnya saya membongkar buku-buku yang sengaja saya bawa di awal liburan tapi tidak tega menyentuh karena tebalnya segede-gede gaban. Ada empat buku yang saya bawa. Dua buku milik Tasaro gk tentang Muhammad, satu buku tentang Khadijah al-Kubro dan satu buku hadist Bukhari. Dua buku pertama saya tamatkan dalam waktu dua malam satu hari. Sekarang sedang melanjutkan yang Khadijah. Ngebut ya? Tentu saja. Mama yang awalnya mau protes lagi karena saya sudah melekan dua hari ini dan tidak nyambung kalau diajak ngomong, akhirnya pasrah saja ketika saya bilang: "lah daripada dibilang urip kok isine mangan, turu, ngising, nguyuh". Hahahaha. Maaf ya, Ma. 

Hehehe. Postingan ini memang ndak penting. Cuma curhatan saya yang sedang pegel di pinggang kebanyakan duduk atau tidur di satu posisi karena membaca buku-buku segede gaban itu. Saya memang merasa liburan ini terlalu panjang, tapi saya menikmatinya kok. Tahun depan, sesuai niatan saya sebelumnya, saya akan merancang lebaran dan liburan yang tidak begitu-begitu saja untuk kami bertiga. Insya Allah.

Oh ya, agak terlambat mengucapkannya tapi lebih baik dari pada tidak: Sudah saya ikhlaskan semua kata dan tindakan teman-teman yang kurang berkenan di hati saya. Mohon maafkan jika saya ada salah ya...Selamat Idul Fitri 1432 H. .
Half Purple and Blue Butterfly