Pages

Desember 31, 2012

# Day 2; Seputaran Mataram: Selatan ke Utara

Orang bijak bilang, perencanaan yang baik sama dengan menyelesaikan separuh pelaksanaan. Saya mengenal omongan bijak ini sedari dulu, tapi baru menghayatinya benar-benar selepas bakda Subuh hari kedua di Lombok. Disebabkan belum punya rencana kegiatan selama di Lombok, jadilah saya melek melototin buku panduan wisata Lombok selepas sholat sampai pukul delapan. Mama dan si Bungsu menyerahkan sepenuhnya ke saya, mereka melanjutkan tidur cantiknya...hiks.

Si Bungsu benar, pilihan main di sini kalau tidak pantai ya ke gunung. Dengan mama bersama kami, saya harus benar-benar memastikan jumlah dan tujuan kami tidak melelahkannya. Tiga diva Gili yang terkenal itu tak ingin saya sentuh, karena gathering kantor nantinya pasti akan ke sana. Saya melewatkan pura-pura dan taman air cantik karena sedang haid. Tiga jam pening, bolak-balik buku panduan sampai lecek, akhirnya saya menyerah. Tak ada gambaran sama sekali harus kemana tiga hari ini. Akhirnya saya putuskan, hari kedua kami akan keliling sekitar Mataram saja dari selatan ke utara: Museum NTB, desa tenun Sukarare, mutiara di Sekarbela, sunset di Senggigi. Pukul 7 malam, kami sudah harus kembali ke hotel untuk beristirahat. Ittinerary hari selanjutnya dipikirkan sambil jalan saja.

Selepas sarapan yang tergesa-gesa, pukul 9 kami bertemu dengan pak Nursin, driver mobil sewaan, di lobby hotel. Perkenalan dan basa basi dilanjutkan diskusi tujuan hari ini. Pak Nursin menyarankan mengubah urutan menjadi: desa Sukarare, museum, Sekarbela, Senggigi, sunset di Malimbu dengan menambahkan saran mencoret museum jika waktu tidak memungkinkan. Saya mengangguk, mama dan si bungsu pasrah saja. 

Kami beruntung mendapatkan pak Nursin sebagai driver. Sikapnya sopan dan terbuka. Empat puluh lima menit perjalanan dari Mataram ke Sukarare diisi dengan cerita-cerita dari Pak Nursin selayaknya guide handal: asal-muasal kata Lombok, sejarah singkat, persamaan bahasa setempat dengan bahasa Jawa, sedikit kelakar, gosip lokal terkini, kuliner, sampai tempat tujuan favorit dan yang tak biasa di Lombok. Setelah berdiskusi dengannya kami memutuskan untuk mengunjungi air terjun Singang Gila dan Tiu Kelep di hari ketiga dan bermain air di Gili Nanggu di hari keempat. Jadi liburan kami cukup lengkap: kota dan budaya di hari kedua, kaki gunung di hari ketiga, pantai di hari keempat. Hari pertama dan kelima: packing dan istirahat. Siiip.

Di desa Sukarare, yang mana artinya desa suka-duka, penjualan kain tenun dipusatkan pada satu koperasi milik bersama. Segala macam kain tenun tangan dipajang di toko koperasi, mulai dari berbahan benang kapas sampai benang songket warna-warni. Kebanyakan masih berupa lembaran kain atau sarung. Beberapa penenun bergiliran 'dipajang' di depan koperasi, selebihnya mengerjakan tenunannya di teras rumah masing-masing. Ada guide lokal yang bisa mengantarkan wisatawan berkeliling desa sambil berjalan kaki dengan tarif sukarela.
Menenun dgn tangan, seutas demi seutas benang, butuh konsistensi dan ketekunan
Lama waktu menenun tergantung tingkat kesulitan motif: semakin rumit semakin lama
Desa Sukarare benar-benar masih tradisional, setidaknya itu kesan kami setelah berkeliling desa di antar oleh guide lokal. Kebanyakan bangunan rumah masih berdinding anyaman tikar bambu dan beratap daun kelapa. Tidak ada pagar antar rumah selain pagar tanaman. Air bersih diperoleh dari menimba dengan ember plastik di sumur bersama dan memasak masih menggunakan kayu. Pekerjaan utama warga adalah bertani. Menenun adalah pekerjaan wanita yang turun temurun. Seorang gadis di desa ini tidak boleh menikah sebelum bisa menenun sendiri. Laki-laki dilarang menenun karena dipercaya tidak akan mempunyai keturunan. Sampai suatu saat akhirnya lelaki diijinkan menenun hanya untuk motif tertentu.
motif subahnale, dari kata Subhanallah...motif paling rumit, adi karya desa ini...cuantik
Selepas desa Sukarare, kami menghapus tujuan museum dan bergegas menuju ke Sekarbela untuk berburu mutiara. Sebelum sampai di tujuan, di tengah jalan mampir-mampir ke toko-toko mutiara sekitar Cakranegara, Mataram, sebelum berakhir di satu toko yang sangat direkomendasikan oleh driver kami. Tempatnya memang sungguh meyakinkan, begitu juga dengan mutiara yang dijual: laut, payau, tawar. Kami hanya sempat melihat saja tanpa membeli karena keder dengan bandrol harganya. Kami memang tak cocok dengan mutiara *nyengir, menghibur diri*.

Untuk makan siang saya sedikit memaksa mencari nasi balap Puyung yang awalnya kondang di kalangan orang-orang yang akan menyeberang dengan kapal di pelabuhan. Dari bahasa tubuh sebenarnya pak Nursin tidak merekomendasikan, tapi saya ngotot untuk obat penasaran. Nasi ditaburi gorengan kedelai, ayam goreng suwir dan ayam suwir pedas itu tergolong pedas dan asin untuk lidah saya yang cenderung manis ini. Tapi kekecewaan saya sedikit terobati dengan pemandangan 'adem' si keriting penjual nasi; makhluk bening pertama yang saya temukan sejak menginjak kaki di Lombok *heheheheh, tetep*.
disebut nasi balap krn penjualnya balapan dengan pembeli yang naik kapal, Puyung karena penjualnya kebanyakan dari daerah tersebut
Siang menjelang sore kami sampai di Senggigi, yang menurut saya mirip-mirip Kuta-Bali hanya lebih hijau sedikit. Pantainya panjang, ada yang berpasir putih, ada yang hitam, sepi dan sedang surut. Tak banyak yang berenang atau bermain air, hanya beberapa turis asing yang asyik berjemur di bagian pantai milik hotel atau resort. Kata Pak Nursin, jika kami tiba seminggu sebelumnya, tepat pada hari raya ketupat, bisa dipastikan kami akan susah bergerak di antara lautan manusia. 

Kami lama menghabiskan waktu di sini sambil menunggu matahari setengah terbenam. Duduk di atas tikar sewaan, minum kelapa muda, ngobrol ngalor ngidul, sebelum akhirnya beranjak mengejar sunset di bukit Malimbu sambil harap-harap cemas karena mendung yang menggantung di sekitar Senggigi.

Setengah jam, waktu yang diperlukan untuk mencapai bukit Malimbu dari Senggigi. Bukit ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Hanya sebuah tikungan lebar pada sebuah tanjakan bukit cukup tinggi dengan pagar besi dibangun menyusuri tepiannya. Tangga dua berundak dibangun mengikuti pagar, yang difungsikan juga untuk tempat duduk-duduk sembari menunggu matahari terbenam. Yang istimewa adalah panorama ke arah lautan yang disuguhkannya. Dari puncak tikungan itu, sebelah kanan gugusan tiga diva Gili yang tersohor, sebelah kiri berkelok-kelok garis pantai yang menyambung ke Senggigi, sedangkan tepat di depannya jika beruntung kita bisa menyaksikan matahari terbenam di balik gunung Agung nun jauh di Bali.  

Setelah menunggu setengah jam, ngobrol lagi ngalor ngidul sembari duduk-duduk di tangga tepi pagar, menggoda monyet jinak yang banyak berkeliaran di tebing di bawah pagar, harap-harap cemas menatap gulungan awan hitam di atas gunung Agung, akhirnya kami beruntung sempat menyaksikan sedikit saat-saat matahari tenggelam perlahan di balik gunung Agung.


Sebelum matahari benar-benar tenggelam di balik gunung Agung, kami meluncur turun ke arah kota Mataram, kembali ke hotel. Wira-wiri dari selatan ke utara hari ini cukup melelahkan fisik. Harus memulihkan tenaga sebelum besok kami akan menempuh perjalanan cukup jauh ke arah kaki gunung Rinjani. Dalam perjalanan pulang, pak Nursin sempat bercerita:

"Mbak, yang ngasih nama Malimbu itu bule lho"
"Heh? Kok bisa bule, pak? Apa karena dia yang punya bukit itu?"
"Bukan, asli turis asing yang main ke situ. Dia kan belajar bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Jadi pas waktu ke situ, ada ibu-ibu tua penduduk setempat yang jualan kelapa muda. Selesai liat sunset, dia pamit ke ibu-ibu itu: Bu, malim Bu..."
"Heh?"
"Maksudnya sih: Bu, mari Bu, saya pergi dulu...tapi diucapkannya Bu, malim Bu. Si ibu nggak ngerti maksud si bule, cerita dia ke orang desanya...jadilah bukit itu sekarang bukit Malimbu"
"heh? beneran pak?"
"hehehehehe"

Saya tak tahu kebenaran cerita itu karena pak Nursin hanya ketawa-ketawa saja ketika ditanya tentang kebenarannya. Kalau ada yang penasaran, sok silahkan cari si ibu tersebut untuk kebenarannya...ntar saya dikabari, ya *hehehehe*.

1 komentar:

Enno mengatakan...

cih! tetep aja nyari mahluk bening! :))

Half Purple and Blue Butterfly