Pages

Desember 30, 2005

NUNGGU JUMATAN DI DIKLAT PANDAAN...

Aku di Pandaan? Itu biasa saja.
Aku di Pandaan AKHIR TAHUN? Itu baru luar biasa...
Lha gimana tidak luar biasa kalau biasanya akhir tahun aku tidak bisa bergerak kemana-mana karena tuntutan pekerjaan tutup tahun yang ber-tumpuk-tumpuk. Walau tetep saja sih kepergian ke Pandaan membawa kewajiban juga: BELAJAR.

So, here i am...ngetik posting ini pake notebook pak joni sambil nungguin para makhluk selesai jumatan...Beginilah enaknya pergi diklat ke tempat terpencil bareng anak IT hehehe. Bisa ngenet gratis :p

Ok, lima hari di Pandaan...apa yang sudah kudapat? Yah, lumayan sih...Jadi lebih fresh karena keluar dari rutinitas kali ya... Jadi lebih pinter?Itu relatif hehehe...Pelajaran nangkep gak ya? Hmmm...dikit-dikit :p...

Ssst...tapi ada satu konsep di capital budgeting yang sedikit mengusik (ehem...).Untuk proyek-proyek yang saling dependen, pilih proyek dengan Net Present Value total lebih dari nol walaupun mungkin dari pilihan itu ada yang NPV-nya minus.

Jadi? Hmmm....

Desember 15, 2005

KEMARIN PAGI, DI TELEPON…


“Oh ya neng, ngomong-ngomong pungguk itu apa sih?”
“Hah? Pungguk?…apa ya…? Burung hantu kali ya…”
“Lho, iya tah? Masak burung hantu…lha apa hubungannya ama bulan yak?”
“Bulan?”
“Itu lho kayak pribahasa : seperti pungguk merindukan bulan…”
“Sama-sama keluar malam hari, kan. Burung hantunya butuh bulan buat cari makan kali…”
“Lho, bulan kan di atas. Burung hantu cari makannya kan di bawah…Apa hubungannya sama bulan?”
“Burung hantunya butuh sinar buat cari makan …gitu kali ya…”
“Walah, gak tau aku…Tapi kok maksa ya…”
“Lha daripada merindukan bintang gitu…kan kecil-kecil…gak terang…”
“Walah, embuh lah…Yo wis, suwun yo…”


(pembicaraan gak jelas di telpon kemarin pagi)

November 17, 2005

…SAPI PEDET YUYU…

Yap, judul garing di atas emang sengaja dipilih untuk tulisan kali ini dalam rangka mengenang segala kegaringan Cungul yang selalu sukses bikin aku ketawa. Sahabat yang biarpun hobi mencela dan memutar-balik fakta tapi peduli banget padaku walaupun nggak pernah mau ngaku hehehe... Biasanya kalimat seperti itu dinyanyikannya dengan cara diketik lewat message di YM (lho? hehe) buat temannya yang sedang merayakan ulang tahun.

Jadi? Ya begitulah, kemarin aku jadi korbannya karena tepat tanggal tersebut aku genap menghiasi (atau mencemari :p) dunia ini selama 30 tahun. Bayangkan, tiga puluh tahun. Angka yang fantastis mengingat selama ini banyak pro-kontra disekelilingku mencoba menebak pantesnya aku umur 18 atau 24 tahun ya…..huehehehe, please deh. Menyitir kata-kata Uwie: kemarin adalah saat yang dinanti dan dipertanyakan oleh para penghuni mobil sejuta umat karena: kemarin adalah hari ‘4 bulan lagi’ itu. Nggak nyangka si Uwie masih inget juga :p. But anyway, terima kasih sudah mengingatkan.

Kemarin adalah hari yang dinanti ketika usia bergulir ke angka ‘keramat’ buat gadis lajang di belahan dunia manapun :p. Bertanya-tanya what will happened ketika akhirnya waktu berdetik ke hari itu. Walaupun ngakunya nyantai tapi sebenernya aku mikir juga :D (Bukan, bukan berpikir sejauh itu kok walau kadang nyerempet juga hehehe :p). Yang jelas aku jadi mengevaluasi jejak langkah yang tertinggal di belakang.

Well, “empat bulan lagi” udah terjadi kemarin. Minta maaf buat semua pihak yang pernah berpengharapan bahwa dalam 4 bulan aku akan melangsing huehehehe. Terutama Pak Totok. Karena ternyata dalam 4 bulan aku cuma berhasil menurunkan 4 kilo aja :p. Yah lumayan daripada tidak turun. Lalu buat yang berharap aku akan menyebar undangan, maaf juga jadi pada kecewa karena ternyata yang menyebar undangan malah si Titi hehehe. Ok, serius. Tapi terus terang dalam dimensi bawah sadar or spiritual atau apalah namanya aku merasa ada yang berubah. Sebelah ‘kaki’ yang dulu setengah sadar menapak entah di mana (:p) Insya Allah sedang berusaha dikuatkan searah dengan sebelahnya. Aku menyadari bukan sejenis mereka yang ‘fast learner’ tapi Alhamdulillah walau harus jatuh-bangun, susah payah, terbata-bata, melangkah setapak demi setapak kaki ini mencari terus jalan cahaya. Mohon doanya saja, ya.

Tentang ulang tahun sendiri sebenarnya aku tidak suka merayakannya berlebihan. Sejak kecil memang seperti itu. Satu-satunya perayaan yang kuingat adalah waktu aku berusia 5 tahun. Selanjutnya hanya ucapan selamat dari mama, papa dan adik-adik ketika bangun tidur. Tidak lupa setumpuk nasihat tentunya. Tak ada kue, roti, balon atau kemeriahan sejenis. Jika mama sempat paling hanya membuatkan bubur beras gula jawa warna merah (sebenernya coklat :p) dan putih untuk dimakan sekeluarga. Kebiasaan inipun hanya sampai aku menginjakkan kaki di SMP. Sekarang, jika ditodong mentraktir makan-makan akan kulayani jika aku punya uang. Jika tak punya, paling juga berkelit dengan seribu satu alasan hehehe. Tapi tetep, tidak menolak traktiran mereka yang berulang-tahun dengan catatan aku diajak lho bukannya nodong :p

Ulang tahun buat aku adalah saat instropeksi diri. Inner journey ke dalam diri sendiri. Hidup dalam setahun terakhir apakah sudah dimaknai seharusnya. Ulang tahun berarti juga peringatan bahwa hidup akan segera berakhir untuk waktu yang menjadi rahasia-Nya. Apakah bekal sudah cukup? Satu rahasia besar dalam hidup. Ulang tahun juga berarti bersyukur kepada-Nya bahwa sampai detik ini aku dikelilingi keluarga, sahabat dan teman yang kusayang dan menyayangiku. Tak pernah bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiran mereka yang selalu ada di saat susah atau senang. Alhamdulillah, satu bukti lagi cinta Allah SWT kepadaku.

Aku tidak bermaksud ‘mengeramatkan’ angka 30 tapi tahun ini aku ingin nostalgia sedikit dengan kebiasaan mama membuat bubur pada hari ulang tahun di waktuku kecil. Sekedar jadi pengingat bahwa sejauh arah aku pergi dari keluarga, sesukses apapun diriku, berapapun umurku, buat mama aku akan selalu menjadi gadis kecilnya. Jadi tahun ini aku memesan sebakul besar bubur madura lengkap untuk dimakan bareng-bareng teman-teman di kantor. Dan hari ini bapak bosku tercinta, Pak Dadang, langsung jadi orang pertama yang semangat menciduk bubur-bubur itu (jadi ingat papa….). Aku senang sekali karena ruanganku jadi ramai. Buburnya manis sekali, semanis pembelinya huehehehe…

Dan surprise dari ibu kasirku yang tercinta, Ibu Bin (mungkin beserta peserta lain yang dirahasiakan), yang memberiku sekotak besar cake yang kuberi nama “White Forrest”. Horee…Aku seneng sekaligus terharu…ihiks…ihiks... Seumur-umur belum pernah terima hadiah ulang tahun sekotak cake besar begitu. Kalau memberi sih lumayan sering hehehe. Dan Pak Dadang lagi-lagi menjadi orang pertama yang memakan potongan cake itu. Aku jadi terharu karena bapak memakannya sekaligus didepanku dengan lahap dan mengabaikan kebiasaannya memilih makanan karena diet penyakit asam uratnya. Terima kasih bapak, terima kasih Ibu Bin, Ibu Mud, Pak Faisol, Pak Ichwan, Pak Nanto, Maya, Uwie, Athik, Arif, Badrus, Bang Oji, Adi, Wiwin, Bu Juwita, Mbak Hermin…semuanya saja…Rona sayang semuanya…Insya Allah tidak akan lupa…

Oh ya, ada satu pertanyaan yang dulu pernah ditanyakan oleh Pak Adi Amrin, trainer PPKU-ku, seperti ini: Rona, seandainya kamu meninggal dunia nanti, bagaimana kau ingin orang lain mengenangmu? Saat itu dengan setengah blank dan cengengesan kujawab asal saja :p Tapi seandainya pertanyaan itu diajukan kepadaku sekarang maka sepenuh hati jawabanku adalah : Love, Care and Tenderness. Tidak penting mereka mengenalku sebagai apa atau siapa. Yang kuinginkan, jika mereka mengenangku maka mereka akan teringat, merasakan di dalam hati, dan memberikannya kepada yang terkasih. Semoga…Amiin.

Jadi, what’s next? Satu hal pasti: jangan hanya bermimpi, tetapkan hati meraihnya. Thanks to De, untuk coretannya empat tahun lalu yang sampai sekarang masih terasa baru. Jujur, a gift yang berarti karena jarang ada yang memberi hadiah coretan hehehe. Kamu, salah satu sahabat pilihan, anugerah indah dalam hidup. Aku bangga, really. Maka kutulis ulang saja coretannya empat tahun lalu, tahun pertama aku belajar menghargai keringatku sendiri:

15 November 2001:

Satu lagi tahun dilewati. Satu lagi tahun hidup dikurangi.waktu terus berlari mengiring dan mengejar segenap mimpi. Akan semakin banyak mega, angin, guntur, pelangi, dan semilir angin. Semua silih berganti. Dengan sebuah kedewasaan, kecerdasan, kejujuran, kekuatan kemauan, kekhusyuan doa, semua bisa dicerna, dinikmati, sekali boleh ditangisi. Apapun. Semua akan memperkuat, memperindah, dan memperkaya kemanusiaan utuh seorang rona.

Selamat ulang tahun ya…

Sebuah perenungan layak digelar. Dalam rendah hati jadi diri sendiri. Terus memperbaiki tidak pernah berhenti. Terus memaknai ulang sambil tak pernah putus dalam menghitung dan menghayati setiap nikmat dalam hidup

Selamat ulang tahun…

Pancangkan mimpimu setinggi-tingginya. Jujurlah. Mau jadi apa kau, mau ke mana dirimu, apa yang kurang dalam kemanusiaanmu, apa yang harus dipoles dan diperkaya dalam keutuhanmu.

Oktober 26, 2005

#A-N# CODE : SATU PINTAKU

.........

GHUNA GBYBATYNU FNZCNVXNA FRWHGN FNLNATXH HAGHXALN
XH GREHF OREWNAWV GNX XNA XUVNANGV
NLNU QRATNEYNU ORGNCN FRFHATTHUALN XH ZRAPVAGNVZH
XNA XH OHXGVXNA XH ZNZCH CRAHUV ZNHZH

.........(NQN ONAQ)


(for my "truly" first love)

Oktober 25, 2005

CARA MEMBUNUH GERIMIS

Semalam, selepas maghrib, di atas sajadah, masih berkerudung mukena,
kuambil cermin dan kuajukan tanya: "Bagaimana cara membunuh gerimis?"

Sunyi...Tak ada jawab...
Cermin tak bergeming dan malam memeta jelas kesunyian…

"Bagaimana cara membunuh gerimis???" tanya bayang-bayang tiba-tiba. "Mengapa gerimis? Apa salah gerimis? Bukankah ia yang setia kau nanti dan kau akrabi disetiap rinainya? Kapanpun jua?... Mengapa gerimis???"

Aku diam. Menggoyang cermin. Berharap bayang-bayang pergi…
Sia-sia...

Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...

Membatin kujawab:
Karena rinainya terlalu deras, aku tak bisa membunuh hujan. Karena gerimis ada sebelum hujan jadi kucoba saja membunuh gerimis….Karena hujan sanggup membadai, sedang gerimis...

"Bukan hujan yang mampu membadai, tapi gerimis yang mengundang badai. Begitukah?" tanya bayang-bayang.

Aku diam...

"Kau lupa? Gerimis yang menghujan hanya menerima fitrahnya. Ia tak pernah meminta turun ke bumi menjadi gerimis atau hujan, memberi kesejukan atau mencipta badai..." kata bayang-bayang. "Ia seharusnya hanya turun dan menghilang dalam pelukan bumi."

Aku masih terdiam...

"Aku bertanya-tanya badai apa yang pernah kau alami? Begitu dahsyatnya hingga kau ingin membunuh gerimis?" tanya bayang-bayang.

Aku membisu...

"Jika kau takut amukan badai...Jika tak ingin hujan itu membadai, maka jangan biarkan ia lepas dari pelukan bumi..." lanjut bayang-bayang. "Atau jika kau tak mampu menahannya, mengapa tak kau tanya saja cara membunuh gerimis kepada matahari? Bukankah ia yang mengundang naik gerimis sebelum merintik?"

Sudahlah...

Kudekap cermin di dada, membunuh bayang-bayang. Terpekur diam dan bertanya-tanya: Mungkin memang seharusnya kutanya cara membunuh gerimis pada matahari...


(Aku tahu tanya itu tak kan pernah kutemukan jawabnya sekalipun kutanya pada matahari. Karena matahari, tak kan pernah mampu membunuh gerimis. Begitu pun aku...)

Oktober 04, 2005

SENYUMKU UNTUKMU, SENYUMMU UNTUKKU

Kemarin, tidak sengaja nonton iklan sinetron di TV. Judulnya: Keluarga Senyum. Jangan tanya bagus atau tidak karena aku belum pernah menonton sinetron ini. Tapi karenanya aku jadi merenungkan sesuatu. Senyum.

Senyum, sedekah paling murah yang bisa kita beri. Paling murah karena tentu saja tidak butuh modal material yang mengikuti. Cukup tarik ujung bibir ke atas maka terbentuklah sebuah senyuman. Tapi…itu saja tak cukup. Senyum yang nilainya sedekah aku rasa tentu saja harus berasal dari hati. Kalau aku jadi malaikat, males kan mencatat nilai amal untuk sebuah senyum yang dibibir dan dihatinya nggak sama. Hmm…

Sebenernya mudah menebar senyum (selain salam, tentunya) kalau kita mau. Murah, meriah, menenangkan. Apalagi kalau yang kita beri senyuman membalas dengan senyum pula. Alamak…damainya…Tapi jangan keterusan ke mana-mana. Takut nggak bisa jaga hati (terutama buat yang berlainan jenis) hehehe.

Buat aku, senyum itu kalau keluarnya dari hati efeknya menyembuhkan. Sungguh. Kalau lagi bete, sedih, galau, kesepian…tebar aja senyum ke teman-teman yang kita jumpai walau susah sungguh. Percaya atau tidak, atmosfirnya bisa berbeda. Kalau bahasa psikologinya (mungkin) senyum itu tanda kita “terbuka” dan welcome ama orang lain. Trus kebanyakan orang kan akhirnya membalas senyum kita (walau kadang juga tidak), yang ujung-ujungnya terjadilah komunikasi. Dengan berkomunikasi, setidaknya sebagian beban itu bisa dihilangkan. Terserah sih kalau kemudian komunikasi itu berbuah curhat. But, tetap hati-hati hehehe.

Senyum yang paling susah itu kalau kita memberikannya ke orang yang sukses membuat kita jengkel, bete, marah, pokoknya yang mengaduk-aduk emosi. Jangankan senyum. Bawaannya pasti pengen berantem saja kan…Tapi, berdasarkan pengalaman (ehm) ternyata ada efek positifnya lho. Bisa meredam emosi sehingga bisa berpikir dan memandang permasalahan lebih jernih. Coba saja. Ketika mau memulai tersenyum kepada yang bersangkutan, susah kan…karena emosi sedang bergolak. Karena itu kita mesti meng-cooling down emosi kita dulu sebelum bisa memberi senyuman. Tapi itu memang tergantung kemauan kita sih hehehe. Setidaknya kalau tidak sukses tersenyum, rendahkan saja nada suara. Mungkin bisa berhasil :p.

Nah, Insya Allah besok mulai puasa Ramadhan. Kita mesti berlomba-lomba meningkatkan amalan ibadah di bulan suci ini. Memang sih, puasa itu yang menentukan dan menghitung amalannya Allah SWT langsung. Mau diterima atau tidak, itu rahasia-Nya. Jadi mengapa nggak kita memperbanyak bersedekah dengan senyuman? Senyuman dari hati tentu saja. Kalau belum mampu memberi senyum, setidaknya buatlah orang tersenyum kepada kita. Siapa tahu dengan senyum kita or senyum orang lain ke kita, Allah akan tersenyum untuk kita. Setuju?


Ramadhan sebentar lagi…
Tralala..trilili…lili…

(tolong ya dinyanyiinnya sama persis ama lagu anak-anak yang menjelang lebaran itu :D :p)

September 15, 2005

100 MILYAR MATAHARI…

Kemarin sore di ruanganku. Seorang bapak, teman kerjaku, mengeluarkan pernyataan pribadi sehubungan pelatihan ESQ yang kami ikuti minggu lalu. Menurutnya ada yang salah dalam pelatihan kemarin. Aku, yang mendengarkan sambil lalu, membenarkan pernyataan itu sembari menerangkan bahwa dalam buku Pak Ary memang ada beberapa kesalahan penulisan yang pernah disentil oleh Dikman dalam forum alumni.

Hoho, ternyata maksudnya bukan itu. Si Bapak mempermasalahkan kesalahan penggolongan Asma’ul Husna sebagai sifat-sifat Allah bukannya nama-nama Allah oleh sang instruktur. Aku yang ga mudeng hanya diam, nyengir sambil manggut-manggut aja. Takut salah ngomong karena aku sendiri belum paham masalah ini.

Sang Bapak bilang kalau kemaren dia dan temannya tidak nangis sama sekali. Nah lo, kok jadi ke nangis-nangis segala? Kenapa begitu? Karena intinya sang bapak gak sepaham dengan sang instruktur jadi nggak perlu nangis-nangis segala. Dengan berapi-api beliau menyesalkan sang instruktur yang menurutnya sangat memaksakan pahamnya ke para peserta dengan tidak memberi kesempatan untuk acara tanya-jawab. Aku bingung. Paham? Paham apaan? Setahuku sepanjang acara sama sekali gak ada yang menyimpang. Model yang digunakan juga hanya ‘mengonceki’ rukun iman dan rukun islam aja. Apa aku yang bodoh ya…wah, diam aja deh…mungkin ilmuku masih cetek jadi gak mudeng.

Tambah lama didengerin, omongan si Bapak jadi berasa emosional sekali menyudutkan sang instruktur. Bahkan akhirnya sang Bapak berkata bahwa seharusnya sang instruktur menyadari bahwa hidayah itu hak Allah, jadi sang instruktur tidak boleh memaksakan pahamnya dengan semena-mena.

Gubrak!! Asli aku bengong. Sepengetahuanku sang instruktur sudah meworo-woro dari awal bahwa kehadiran kami (termasuk dirinya sendiri) adalah karena kehendak Allah. Bahwa hidayah itu milik Allah semata. Bahwa kehadirannya hanyalah sekedar ‘mengingatkan’ kebenaran-Nya, yang dikemas sedemikian rupa secara ilmiah dan menggunakan multimedia canggih sehingga lebih mudah diterima.

Aku diam, menunduk dan dalam hati beristighfar. Rasanya nelangsa sekali.

Asma’ul Husna yang Bapak kritik itu diperdengarkan di hari ketiga. Hari pertama sang instruktur mengetengahkan bukti-bukti kebesaran dan kasih-sayang-Nya lewat ayat-ayat cinta-Nya. Hari kedua masih sama ditambah tentang kerasulan Muhammad SAW dan sedemikian besarnya cinta beliau kepada umatnya. Bapak, saya yakin kami semua yang tersuruk-suruk pada saat itu pastilah karena hati kami sedang sangat tersentuh. Dan menangis adalah satu reaksi spontan yang dapat kami lakukan. Bagaimana dengan Bapak?

Ah, Bapak maafkan aku. Maafkan jika tiba-tiba aku merasa ada nada keangkuhan dalam pernyataan-pernyataan Bapak. Mungkin ilmu bapak sudah tinggi dan lebih luas dariku ataupun sang instruktur. Sehingga bapak dapat menghakimi sang instruktur dan kami semua yang menangis waktu itu. Kami semua yang menangis karena mengingat kasih sayang-Nya. Tapi bukankah Bapak bilang bahwa hidayah itu milik Allah semata? Akan diberikan kepada SIAPA, DIMANA, KAPAN dan dengan CARA bagaimana, itu adalah hak Allah semata.


(Mengingat percakapan itu dan meredam segala rasa yang membuncah di dada. Merenungi kata-kata mas Gonot di kursi belakang mobil Pak Wachid sore itu: “Ron, ada 100 milyar matahari di luar sana”. Kataku: “Mungkin lebih banyak lagi”…Subhanallah)

September 12, 2005

ADIKKU, BUKAN SEPUPUKU

Apa kabarmu hari ini? Hari pertama kau sandang amanah baru sebagai suami dan menantu? Adakah semerbak bunga masih menyisakan harum dan semarak pesta semalam? Saat dengan tegas kau ucapkan ikrar itu dihadapan-Nya. Teriring doa, disaksikan berpasang mata yang menatap haru padamu…

Tahukah kau? Aku di sana menatapmu dengan segenap hati. Dengan doa yang teriring hanya untukmu. Aku di sana, menahan haru, menatap punggungmu yang kau tegakkan lurus ke calon ayah mertuamu. Aku tahu, segala rasa itu pastilah berkecamuk didadamu. Bahagia, takut, haru, bercampur menjadi satu. Andai dapat kutepuk punggungmu dan kugenggam tanganmu sekedar menentramkan hati. Andai dapat kubisikkan kalimat ini padamu: “Tenanglah, aku di sini bersamamu.” Apa dayaku…

Tahukah kau? Mungkin memang sebaiknya hanya kutatap punggungmu. Karena aku pastilah hanya akan membuatmu menangis. Kau yang terbiasa mencari mataku, meminta sekedar kekuatan. Maafkan, karena air mata ini tidak dapat kutahan lagi…

Maka segala penggalan cerita itu berkelebatan dibenakku. Masa kecil kita, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah…

Kau kecil yang terbiasa mengekor dibelakangku. Yang tiap liburan sekolah hanya mau menghabiskannya dirumah orang tuaku. Bermain, bercanda, bertengkar, berbaikan lagi.

Kau remaja yang memujaku, yang segalanya ingin seperti aku. Yang ingin belajar serius bahasa inggris ketika aku sedikit bisa mengejekmu dengan bahasa asing itu. Yang dengan semangat menyala menggeluti dunia kepanduan karena aku pernah dengan congkak memamerkan lencana-lencana itu padamu.

Kau dewasa yang tak jua dapat menghentikan kemanjaanmu. Pun ketika ia telah hadir di antara kita. Bidadarimu. Maka ingatkah betapa jengahnya aku didepannya ketika kau dengan segala ceritamu menunjukkan kasihmu lewat cubitan, pukulan, pelukan…

Maka maafkanlah aku ketika saat itu kupinta kau menghentikan segala unjuk sayang itu. Kau sepupuku, bukan adik kandungku. Maka kubuatlah jarak itu membentang di antara kita. Kau terluka. Maka kuterima segala protes dan ledakan amarahmu. Kau menantang siapapun yang membuatku memintamu menghentikannya. Duhai, beranikah kau menantang Tuhanmu…

Aku menyayangimu…sungguh. Sama seperti aku menyayangi semua adikku. Kita mungkin lahir tak sedarah. Tapi buatku, darah kita tak berbeda.

Maka maafkanlah kakakmu ini, ketika sore sebelum akad nikahmu…hanya bisa mengomelimu panjang-pendek dan bukannya memberimu kata-kata yang akan menegarkan langkahmu. Aku tahu kau menyayangiku…ketika kaupinta aku, bukan para sesepuh dan orang tuamu, untuk memilih jas yang akan kau pakai, ketika kau memintaku memilih dasi yang serasi dengan jas itu, ketika kau minta aku memasangkan dasimu, ketika kau minta aku menyematkan bunga korsase itu didadamu. Aku menyayangimu…pun ketika kau menghapus air mata selepas kau ucapkan ikrar itu.

Sejak janji itu kau ikrarkan, kau akan melangkah ke dunia dengan tanggung-jawab baru…dengan seorang bidadari mengiringi langkahmu. Tapi kapanpun itu, jika kau membutuhkanku…aku di sini.

Karena kau adikku, bukan sekedar sepupuku.

Agustus 30, 2005

KEPOMPONG ITU

kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar
kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau
menutup jendela waktu hari hujan

kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan
meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu
melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara
bening dan bermuatan bau bunga

dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan
tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-
kupu; dan kau tahu, ia tak berhak bermimpi


Sapardi Djoko Damono
Perahu Kertas
1982

(pagi ini: mengikuti kata hati)

Agustus 24, 2005

BEGITU INDAH

Kondisi jalur tol Surabaya – Gresik bagi yang pernah melewatinya atau yang terbiasa melewatinya pastilah menuai banyak kritikan. Pertama, antrian panjang di pintu tol pada jam-jam sibuk pagi dan sore yang seringkali terjadi karena dari empat pintu tol hanya dibuka dua atau malah sebiji (!) padahal volume kendaraan melimpah. Lalu kondisi jalan yang tambal sulam karena tiada hari tanpa perbaikan. Ditambah lingkungan sepanjang tol yang kering kerontang karena sejauh mata memandang hanya akan tampak tambak garam, pabrik, gudang, area pembuangan sampah. Belum lagi puluhan truk, trailer, bus atau kendaraan berat beroda minimal 8 buah yang hilir mudik di sepanjang jalur ini. Kesimpulannya: tidak nyaman baik bagi pengendara maupun penumpang (terutama untuk yang kendaraannya tidak memakai pengkondisi udara alias AC).

Tiga tahun hilir mudik dari Surabaya – Gresik – Surabaya: pagi dan sore, membuatku kebal dengan segala kondisi yang terhampar di sepanjang jalan tol. Asalkan tidak panas, tidak gerah dan bisa balik ke Surabaya dengan cepat (baca: nebeng gratis), itu sudah cukup buatku. Seingatku jarang kulihat pemandangan yang menyejukkan mata apalagi hati. Jarak yang terbentang kuhabiskan dengan ngobrol atau becanda dengan teman-teman, baca buku, pasang walkman, atau tidur. Pemandangan apalagi yang bisa kau harapkan sepanjang jalur tol Surabaya – Gresik? Selain tambak, gudang, pabrik?…

Tapi, hari Sabtu kemarin ada yang berubah. Perjalanan Surabaya ke Gresik memberiku pemandangan yang berbeda. Pemandangan daratan yang tersaji masih sama seperti biasanya. Tapi tidak dengan pemandangan langit diatasnya. Dua kali aku mendapatinya.

Pertama….

Sore itu cuaca cerah. Matahari yang hampir tenggelam menyisakan larikan cahaya merah jingga di antara gugusan awan di sebelah kiriku. Indah. Pemandangan yang sesungguhnya biasa-biasa saja karena banyak ditemui di tempat dengan view yang lebih bagus. Yang membuatnya istimewa adalah…karena cahaya merah jingga di antara gugusan awan itu dalam penglihatanku membentuk suatu pemandangan yang luar biasa.

Pernah berdiri di atas puncak bukit atau gunung dan melihat view di bawah? Seperti itulah sudut pandang yang kudapat. Aku, duduk di dalam taksi, tapi yang kurasakan seperti aku sedang berdiri atau melayang di atas sebuah tempat yang tinggi, tinggi sekali dan sedang melihat ke bawah…ke hamparan gunung dan perbukitan dibawahku yang tersusun dari larikan cahaya merah jingga. Aku merasa kecil, kecil sekali…karena pemandangan itu menurut perasaanku besar dan luas. Asli, aku terpesona dengan perasaan campur aduk antara nggak percaya (ucek2 mata) dan haru (nahan2 tangis plus ngelus dada karena jaim ama supir taksi).

Kedua…

Malam harinya, sepulang dari Gresik, pada jalan tol yang sama, sekali lagi aku menyaksikan sebuah keindahan yang lain. Aku, duduk diam di belakang taksi yang kutumpangi sambil menikmati alunan musik. Lagu-lagu oldies yang lembut. Malam itu langit cerah dan tak berawan. Bulan purnama masih menyisakan ¾ bentuknya. Sepanjang jalan gelap gulita karena tidak ada lampu dan tak ada kendaraan yang melintas. Yang ada hanya bayangan pohon di pinggir jalan. Biasa saja. Tapi jadi tidak biasa ketika aku dengan iseng menempelkan pipiku di kaca dan melihat ke luar. Sekali lagi aku tertegun, diam. Bulan di atas, pantulan sinar bulan di permukaan air tambak, bayangan pohon yang berlarian, kerlip lampu yang membentuk garis dikejauhan, gelap di sekitar, bersama membentuk suatu pemandangan ‘hitam’ yang indah. Begitu tenang, dan menentramkan. Aku yang terhanyut tiba-tiba merasa seperti terlempar dan menemui kemegahan dalam kegelapan yang begitu pekat dan tak bertepi. Semua gelap dan aku menyatu dalam gelap. Aku hilang dan yang tersisa hanya kegelapan. Subhanallah…

Dua kali dalam kurun waktu 4 jam aku disajikan pemandangan semegah itu. SEMEGAH ITU. Apa makna dibalik semuanya? Aku tidak tahu….Aku tidak tahu…

Yang dapat kutangkap hanyalah bahwa Allah itu Maha Besar.
Bahwa aku bukan siapa-siapa.
Seharusnya, tak ada yang perlu kukuatirkan, kutakutkan, kuresahkan, jika aku hanya berlindung pada-Nya.
Subhanallah…
Astaghfirullah…

Pemandangan itu masih sama, hanya saja sekarang aku melihatnya dengan cara yang berbeda.


(Inikah jawaban dari semua pertanyaan ketika tantangan menghadang di depan. Seharusnya tak ada yang perlu kukuatirkan…)

Agustus 15, 2005

RAPAT, RAPET, REPOT

RAPAT
Dua minggu terakhir jadwal rapat malang-melintang di agenda kerjaku. Hal yang sama berlaku juga untuk si eneng. Bahkan agenda miliknya lebih gila-gilaan lagi. Maklum, pegang kinerja. Jadi no time for blog ya neng :p

Diawali dengan rapat penajaman anggaran 2006 di kantor pusat. Ini prosedur baru. Walau diselingi acara tunggu jadwal dan harus bolak-balik dua hari ke kantor pusat, adu argumentasi yang kacau dengan tim pusat, revisi investasi di sana-sini (thanks God operasi gak perlu direvisi) plus kondisi badan yang drop, akhirnya total satu minggu acara ini selesai. Untuk sementara. Heh…

Kedua, rapat Forum Kajian Teknik. Kalau ini aku bisa ngeles dengan cantik. Liat susunan panitia, cari nama, cari posisi. Ok, the same job as usual. Jadi? Nggak ikut juga gpp huehehe. Cari alasan yang tidak bisa ditolak bos kecil: ngurusin pendanaan unit mandiri. Mendesak. Sorry, emang iya kok :p

Ketiga, rapat tujuhbelasan. Ini yang bikin bete. Nggak tau kapan susunan panitia dibentuk, nggak tahu kapan mulai action, tiba-tiba disodorin harus ikut rapat kecil sie bazaar dan perlombaan di UP. Mana mepet lagi… Edan kan…Tahun lalu aku bisa ngeles karena ada Zus Mirah tapi tahun ini nggak bisa karena posisi beliau diganti si eneng. Jadi mesti ikutan karena sama-sama nggak pengalaman. Fiuh….Mana bos UP nyuebelin lagi. Bossy, nggak ngehargain orang, argggghhhhh….Walhasil sepanjang beliau ngomong ini dagu gak pernah nunduk. Suebel! Untung gak jadi big bosku (judesku lagi kumat).

RAPET
Jadwal ketiga jenis rapat tersebut emang rapet. Tapi dua rapat tertama nggak jadi masalah karena dikerjain tim. Tapi yang ketiga? Walaupun ada tim tapi dari UBHAR hanya aku dan eneng aja buat ikutan ngurusin ibu-ibu Persatuan Ibu seru sekaliannya. Walah…Untung aja ada Zus Mirah ama Mpok Etty yang bersedia membantu. Nggak ada problem berarti untuk karyawati. Tapi menghadapi ibu-ibu PI…wow…Kebayang gak siy dua manusia cantik nan muda belia menghadapi para senior hehehehe.

Sebenernya acara bazaar plus omzetnya gak gede-gede amat. Stand juga cuma 20 doang. Itupun udah dibagi rata masing-masing 10 stand buat ibu UP dan UBHAR. Tapi gak tau kenapa feelingku gak enak aja kalau nanti final meeting digelar. Soalnya pas acara itu kan kita pada matok jenis barang ama harganya. Jadi nego-negoan ceritanya.

Tuh kan, bener. Pasar kalah rame hehehe. Etika rapat nggak dipakai, “saur manuk” sepanjang acara (kasihan aku ama Pak Suntria n Pak Wisnu :p), protes sana-sini, ngedumel sana-sini, balapan ngomong sana-sini…Fiuh….

Aku kasihan ama si eneng. Wajahnya udah merah-padam-merah nahan emosi plus ditekuk-tekuk macam kertas lipat tiap kali para ibu ‘bersuara” menggebu-gebu dan gak penting gitu lho :p. Untung duduk paling depan, jadi segala ekspresi gak kelihatan hehehe.

Walhasil, setiap kali ada ibu yang ngomong dan kutenggarai wajah eneng berubah, aku langsung kreatif cari-cari bahan pembicaraan yang garing-garing untuk mengalihkan perhatian. Walau nggak sepenuhnya berhasil, setidaknya eneng bisa ketawa-ketiwi. Menyelamatkan kesehatan jiwa, ceritanya :p

REPOT
Repot ngadepin ibu-ibu di final meeting, repot berikutnya menjelang. Mana aku tahu kalau tahun ini karyawati menerima job bikin parcel buat anak-anak 750 buah! Huaa….. Itu diluar persiapan stand khusus karyawati, lagi.

Aku udah ngebayangin weekend kemaren mesti berkutat dengan para parcel itu. Ternyata eneng juga memikirkan hal yang sama walau dengan tegas ditolaknya kerja di hari minggu. Aku juga siy…:p. Tapi untungnya hari jumat kemaren setelah dikeroyok rame-rame segala ‘maha pekerjaan’ itu 90% berhasil diatasi. Yang 10% persen sambil jalanlah…Alhamdulillah….

Entah kerepotan apa lagi yang bakal datang. Yang jelas, keinginan untuk bersantai dan hanya jadi penonton di acara tujuhbelasan cuma jadi impianku dan eneng semata…heh…Kapan ya bisa tujuhbelasan santai :D

(peringatan pertama kemerdekaan serepot ini gak ya…jadi mbayangin hehehe)

UP = pembangkitan
UBHAR = pemeliharaan

Agustus 12, 2005

PAKE "P" BUKAN "F" *

Adakah hal lain yang lebih baik dari seorang sahabat selain kejujurannya berkata-kata dan kesungguhannya menepati janji? Untukku, itu sudah berlebih. Walaupun konsekuensinya aku harus siap menerima jawaban, alasan dan analisa yang memerahkan telinga, mengaduk emosi dan kadang membuatku speechless untuk setiap pertanyaan yang kuajukan.

Adakah hal lain yang lebih menyentuh dari seorang sahabat selain kesediaannya meluangkan waktu dan menjadi pendengar yang ‘baik’? Padahal tekanan dan kesibukannya menjalani hidup hanya menyisakan sedikit ruang dan waktu untukmu?

Adakah hal lain yang lebih berharga dari seorang sahabat yang selalu kau ingat saat senang atau ketika kesedihan menghimpit hati? Walau untuk itu kau harus menahan diri untuk tidak menyusahkannya dengan segala cerita yang mungkin tidak penting?

Allah telah mengijinkanku bertemu dengan seorang sahabat yang demikian adanya. Aku bersyukur karenanya.

Jadi sahabat, berhentilah mengajukan segala tanya: Mengapa? Berhentilah menjelaskan segala hal yang tidak perlu. Walau mataku tak tahu, mata hatiku melihatnya jelas.

Karena aku yang mendengarkanmu, dengan hati. Karena aku yang merasa, dengan hati. Karena aku yang menilai, dengan hati.

(Menatap haru langit mendung pagi ini. Mengenang sms yang terlambat dibalas dini hari ini)

* = Normatip, bukan Normatif ('new' word for me :p)

Agustus 11, 2005

LULLABY SEMALAM

…………
Kuikrarkanhatiuntukmaju
melangkahpergiMenerobosdinding
dindinggelapiniTakkupertanyakanlagi
sepertiwaktuituPernahkuterjebaktanpasatu
temanmenemanikuKetika(selagi)akutenggelamdalam
kesunyianiniKucobamendamaikanhatikuSepatutnyaakumampu
melaluinyaMenjejakkankakikumeretaskanjiwa(Melangkahkankaki
kumenujucahaya)Tegaskandirikuuntukmelewatkanhari
DengankeyakinanhatiakukumilikiBiarakuikhlaskan
peluhkubasahijiwakuSiramihatiku…akuakan
tetapterusmelangkah
…………
menerobos gelap - PADI


(when i finally decided to quit from the game)

Agustus 10, 2005

SAJAK GOMBAL SEDUNIA 2

terpukau, terpana, aduh...

(sekuel punyanya si Sava)

Agustus 08, 2005

GEDUBRAK…!!!

Sabtu siang itu, di pertigaan jalan Dharmawangsa tepat di depan Graha Amerta. HP-ku bergetar. Dari Hary; sebaris pesan berbunyi:
“Ron, aku tak bunuh diri yo. Bete”.
Hah? Gedubrak!!! Aku terlonjak kaget. Ucik ngomel-ngomel karena motor jadi oleng. Bunuh diri? Hari gini? Kenapa pula ini anak…
Balasan SMS-ku tidak dijawab. Di depan Mr. Clean kucoba hubungi. Tidak diangkat. Kucoba lagi. Kali ini diangkat. Langsung kuberondong pertanyaan: “Assalamualaikum. Har…Har…kau kenapa? Kau dimana? Sekarang ama siapa? Kau gak popo tah? Istighfar Har…nyebut…jangan aneh-aneh gitu ah…”
Tidak ada jawaban. Yang ada malah dia tertawa ngakak nggak berhenti-henti. Aku jadi bengong. Lho?
“Kaget yo…Aku di kantor ini, lembur. Baca SMS-ku aja ya”.
HP-nya dimatikan. Aku bengong di antara tatapan heran pengunjung Mr. Clean.

Beberapa menit kemudian baru aku sadar. SMS yang panjang dan bertubi-tubi menyadarkanku. Aku dikerjain. Masalah yang dihadapinya ternyata tak separah yang kuduga. Masalah yang sama dari waktu ke waktu. Apalagi kalau bukan…:D

SMS pertama adalah shock terapi, pancingan atau apa saja lah yang selalu dengan sengaja dilakukannya jika dia dalam masalah dan butuh tempat curhat. Aku lupa kebiasaannya karena terus terang lama sekali aku tidak curhat-curhatan dengannya. Terakhir adalah kasus patah hati yang menghabiskan pulsanya 300 ribuan dalam rangka curhat padaku yang sedang pendidikan di Muara Karang. Itu dua tahun yang lalu. Aku memang jarang ketemu dia. Sebagian karena sengaja kubatasi, sebagian lagi karena aku malas ketemu dengannya (kejamnya daku :p). Kami hanya bertemu di resepsi pernikahan teman, tidak sengaja ketemu di jalan, atau janjian ketemuan rame-rame yang seringkali berujung batal.

Aku tidak bisa benar-benar marah pada Hary. Segala bentuk intervensi dalam upaya mencari perhatian yang dilakukannya hanya akan berbuah omelanku dan memaafkan diujung-ujungnya. Karena aku sendiri juga seringkali melakukan hal yang sewenang-wenang. Jika aku bosan, kubilang bosan. Jika aku marah, ya langsung aja marah. Jika aku malas ketemu atau bicara, ya kubilang aja apa adanya.

Kami memang dekat walaupun tidak seperti yang dibayangkan orang-orang. Aku, Maya, Mona dan Hary adalah empat sekawan jaman kuliah dulu. Maya dan Hary jika diumpamakan adalah Tom dan Jerry. Maya sebel dengan keceriwisan Hary. Sebaliknya Hary bete dengan kejudesan Maya. Hary mengagumi Mona. Berjilbab, cantik, smart, santun, tipe menantu idaman para ibu katanya. Dan aku? “Rona? Oh, Xena the warrior princess?” Gedubrak!!!

Walau begitu di kampus Hary setia menguntitku kemana-mana, kecuali ke kamar kecil tentunya. Pernah ada satu masa aku merasa terganggu dengan tingkah lakunya yang kuterjemahkan sebagai “memberi tanda pada daerah kekuasaan”. Aku pahami betul alasan dibalik tingkah lakunya yang tidak bisa kuceritakan. Tapi waktu itu kesabaranku benar-benar pada batasnya. Aku menjauh selama satu semester. Hasilnya? Aku tak tega hehehe. Wajah memelas dan pertanyaan-pertanyaan “Mengapa? Apa salahku?” berhasil meruntuhkan kesebalanku.

Akhirnya, ya begitulah. Kami berempat baikan lagi. Belajar bareng, makan bareng, jalan bareng, sampai lulus kuliah…hamper barengan. Tapi lulus kuliah tidak mematahkan semangatnya menggerecokiku. Buktinya telpon-telpon, sms, email-email, curhat-curhat dilakukannya tak peduli di belahan bumi sebelah mana aku berada. Aku tidak keberatan walau pada akhirnya, pada saat hijrahku, aku berterus-terang padanya akan membatasi segalanya. Walau awalnya manyun, akhirnya ia bisa menerima karena seperti katanya: “Gak ada yang bisa ngertiin aku seperti kamu”. Gedubrak!!! Waduh…

Sekarang aku yang kebingungan sendiri. Seandainya, seandainya nih, aku sudah tidak sendiri lagi nanti. Bagaimana aku harus menjelaskan tingkah lakunya yang slonong boy ke suamiku? Hiks…

(Kebayang gak sih, Neng?)

MEMBEBASKAN

untuk jiwa yang terjaga dalam doa:

rentangkan sayap dan terbanglah
kutitipkan doa pada setiap badai
dan angin sepoi…

agar pada setiap kepakan
kaumaknai kebebasan…


(mengeja kebebasan dengan membebaskan)

Agustus 05, 2005

EMPAT BULAN LAGI

“Empat bulan lagi ya, Ron…”
“Empat bulan lagi ya, mbak…”
“Empat bulan lagi ya…tak tunggu.”

Pernyataan ini beredar di kalangan tertentu di kantorku. Diawali dari komunitas yang rajin nebeng mobil Pak Totok setiap hari dari Surabaya – Gresik – Surabaya sampai akhirnya menyebar di antara ‘golongan muda’ di kantorku. Aku tidak pernah menyangka kalau jawaban sewotku ke Pak Totok diterima dengan begitu serius.

Jawaban sewot? Iya, jawaban sewot ke Pak Totok karena beliau rajin sekali menggodaku, mengolok-olok dan melempar joke-joke yang selalu ku-smash dengan cantik. Aku tidak tahu apa yang membuatku akhirnya mengeluarkan pernyataan itu. Mungkin karena waktu itu aku sedang gak mood melayani ledekannya atau karena waktu itu aku sedang ‘meradang’ karena sedang menjalani ‘metamorfosisku’. Entahlah.

Tapi dampaknya ternyata cukup heboh. Pak Totok menerimanya sebagai tantangan bahwa empat bulan lagi aku ‘melangsing’. Para gadis menerimanya sebagai isyarat bahwa akan ada ‘undangan’ yang kusebar. Entah apa yang ada di otak para jejaka karena dengan kurang ajarnya aku memang memberi imbuhan: “Kalau mau ngasih sesuatu gampang aja kok…buku atau bunga Lily putih saja sudah cukup”.

Jika diperhatikan, persepsi setiap orang memang berbeda-beda tapi semuanya mengharap kebaikan terjadi padaku. Karenanya aku menganggapnya sebagai doa. Bukti bahwa mereka semua perduli dan menyayangiku. Terima kasih.

Empat bulan lagi…aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang pasti empat bulan lagi adalah bulan November. Umurku akan bertambah satu tahun. Kontrak hidupku dengan-Nya berkurang satu tahun dan berakhir entah kapan. Itu rahasia-Nya.

Empat bulan lagi, Insya Allah, aku akan menggenapkan hidupku di dunia ini ke angka 30 tahun. Apapun yang telah, sedang dan akan terjadi aku berusaha dan berharap angka itu tidak sia-sia karena aku harus mempertanggungjawabkannya dihadapan-Nya, kelak. Amiin.

Juli 26, 2005

EPISODE RINDU

Dunia disekelilingku beratmosfir rindu. Aromanya kental mengambang di udara.

Aku maksudkan bukan musim bercinta. Karena kenyataannya memang hanya rindu saja yang menggantung di awang-awang. Belum, belum ada kuncup-kuncup bunga yang berkembang karenanya.

Sungguh, atmosfir rindu mengambang di udara. Aku sesak nafas karena haru yang membuncah setiap kutemui jejaknya. Menghangatkan jiwa. Mengapa? Karna kutemukan pada mereka yang tak terduga.

Rindu. Rindu yang sewajarnya ada karena fitrah manusia diciptakan-Nya. Rindu mencinta dan dicinta. Yang jadi tanya adalah bijakkah menyikapinya? Agar ia berbunga seperti kehendak-Nya, tak ternoda emosi semata.

(Ternyata bukan hanya aku yang merasa...Neng juga hehehe. Kok bisa kompakan semua ya. Ah, better late than never kan)

Juli 18, 2005

TUKANG KOMPUTER

Laki-laki, 32 tahun, sehat jasmani-rohani, (sepertinya) baik. Demikian data yang disodorkan ibu di suatu pagi. Dan aku hanya berkomentar: “Oohh…”

Hari berikutnya informasi dari ibu bertambah;
“Anak tunggal, Mbak. Ibunya teman lama Ibu. Keluarganya baik. Ibunya sendiri yang nanyain Mbak dan menawarkan rencana itu ke Ibu.” Dan komentarku lagi-lagi hanya :”Oohh…”

Tidak ada respon memuaskan, dan Ibu tidak menyerah. Acara telpon-telponan di pagi hari semakin gencar dilancarkan. Informasi sudah berkembang menjadi; “Masih tetangga Mbah lho, Mbak. Masih satu kampung. Sarjana komputer. Mulai merintis usaha sendiri. “
Dan komentarku masih juga cekak; “Oh, pengusaha. Gak punya calon? Masa siy?”

Ibu tetep keukeuh. Terakhir malah tanya-tanya kapan ngambil cuti buat pulang kampung. “Liat dulu anaknya”, kata Ibu. Aku yang awalnya adem-ayem jadi terusik juga. Ibu kok semangat sekali ya…ada apa?

Akhirnya kubuka diskusi kecil-kecilan dengan sahabatku. Informasi dikumpulkan dan dikaji lebih serius. Kesimpulan yang diperoleh: Laki-laki, 32 tahun, sarjana komputer, buka usaha sendiri, anak tunggal, tetangga Mbah, Ibunya teman lama Ibu, pendiam, (kata Ibu) baik.

Hanya itu? Ya, hanya itu. Dengan agak kejam kubilang: STD (dibaca standart). Gak ada istimewanya. Di luar sana banyak laki-laki bujangan dengan CV sama atau lebih bagus.

Sahabatku menambah informasi kalau selama ini banyak Ibu-Ibu yang mencoba mengenalkan anak gadisnya tapi tidak ada respon darinya. Aku mendelik, sewot. Belagu tuh orang. Tambah sewot lagi waktu sahabatku membela,”Mungkin baru mulai buka usaha makanya gak nyari istri dulu. Kan belum mapan.“
Bah, alasan…

Aku yang awalnya udah gak tertarik jadi gak respek blas. Sampai suatu ketika Ibu bilang,”Anaknya emang agak pendiem, santun, alim, rajin ibadah. Udah terkenal begitu di kampung.” Aku tetep cu….Eh, bagaimana? Alim, santun, rajin ibadah? Wah, ini yang bikin jadi gak STD hehehe.

Sekarang aku yang penasaran. Siapa namanya? Seperti apa orangnya? Hmm, harus ada cara untuk mengetahuinya. Kasih nomor HP lewat Ibu ke ibunya? Cuti untuk pulang kampung? Pura-pura nyamperin tokonya? Eitts, tunggu dulu. Gak mungkin. Bapak sudah mengultimatum tidak boleh ada gerakan menyerang duluan, langsung atau tidak langsung. Alamak…

Walhasil, sampai sekarang aku dan Ibu muter otak mencari cara terbaik dengan mengindahkan ultimatum Bapak agar ide perjodohan ini setidaknya berbuah hasil perkenalan dulu antara tukang komputer (julukanku untuknya) dan sahabatku.

Lho kok sahabatku? Lha iya, wong cerita ini memang tentang dia dan tukang komputer kok hehehe.

(Aku seneng dan deg-degan menunggu saat itu tiba. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk, kemudahan dan yang terbaik untuk sahabatku. Amiin)

Juli 13, 2005

MINA SAN, SAYOONARA, MATA JUU GATSU…

Semalam, setelah melewati pertimbangan ini-itu akhirnya dengan berat hati aku memutuskan terminal dari nihon-go o benkyoo di NICE Center. Curhatku ke Ulfa-sensei ditanggapi dengan keputusan: terminal 3 bulan, nunggu kelas 1 D naik ke kelas 2 A. Selama 3 bulan aku wajib memperkuat Minna 1-ku. Artinya : Sayoonara NICE Center, Tan Like-san, Ulfa-Sensei, Suharto-sensei, Kuroda-sensei, Bunda, Attira-san, Kezia-san, Arya-san, Damba-san, semua…

Sejak awal tahun ini aku udah mulai merasa keteteran. Kesibukan kerja ditambah diklat CFA yang menuntutku bolak-balik Surabaya-Jakarta setiap minggu selama tiga bulan membuatku pontang-panting membagi waktu antara belajar nihon-go dan teori-teori investasi itu. Mina 1-ku lewat begitu saja. Dan sekarang penyusunan anggaran 2006 menjadi puncak segala keruwetan.

Naisu Centa, sayonara…mata juu gatsu…

Tidak terasa setahun lebih aku resmi jadi anggota NICE Center. Banyak pengalaman yang aku dapatkan. Dari Obata sensei dan Takahashi sensei aku belajar bagaiman nihon-jin mengorganisasi kegiatan. Ketika tujuan bersama sudah ditetapkan, tidak peduli apapun posisimu, semua harus ‘berpikir’ dan ‘bekerja’ bersama. Pendapat, ide, kritik dan saran dari siapapun juga adalah ‘berharga’.

Mina-san, sayonara…mata juu gatsu…

Insya Allah aku akan kembali awal Oktober walau mungkin aku akan memasuki kelas yang berbeda dengan kelasku sekarang. Itu artinya, aku akan kehilangan:

Ulfa-sensei, dengan tawa yang ditahan setiap kali kami membuat keributan dan becandaan.

Attira-san, dengan gaya ABG-nya yang meriah dan lucu (harus kuakui, listening-nya jago banget padahal dia masih SMP…lho, apa hubungannya ya hehehe. Mungkin karena hobbynya nonton dorama dan anime).

Kezia-san dengan gaya sok dewasanya (padahal aku tahu pasti dia suka loncat-loncat kegirangan bareng Attira-san saat membahas manga dan anime-anime itu).

Arya-san dengan gaya sok pintarnya (terutama saat-saat hasil chukan-shiken dan kimatsu-shiken itu dibagi. Pasti Arya-san akan mencak-mencak dan berteriak “Rona-san, bagaimana bisa nilaimu lebih bagus dariku! Aku gak terima! Sensei pasti sentimen padaku”. Huahahahaha).

Damba-san (my bro..ihik). Aku akan merindukan saat kita saling mencela dan bekerja-sama ngerjain sensei. (Atau saat kau curhat tentang kuliah, hobby, cita-cita dan mimpi-mimpimu. Aku tunggu undangan ke Bon Cafe atau kunjungan kuliahmu di Jepang nanti hehehe).

Watashi no tomodachi, maafkan daku yang pernah salah menilai. Bersama kalian, sekali lagi aku memaknai kalimat don’t judge the book by its cover. Tiga bulan lagi Insya Allah aku kembali berjuang bersama kalian. Walau kita beda kelas, tapi setidaknya mimpi kita sama…

Mina-san, sayoonara, mata juu gatsu…

Juli 08, 2005

DARI RUMI UNTUK CINTA

……
Sesungguhnya tak pernah sang kekasih
mencari tanpa dicari kekasihnya.
Apabila kilatan cinta telah menyambar hati yang ini,
Ketahuilah ada cinta dalam hati yang lain.
Apabila cinta Allah bertambah besar di dalam hatimu,
Pastilah Allah menaruh cinta atasmu.
Tak ada bunyi tepuk tangan hanya dengan satu tangan,
tanpa tangan yang lain.
Kebesaran Illahi adalah takdir dan ketetapan yang membuat
kita cinta satu sama lain.
Karena takdir itu, setiap bagian dunia ini
Dipertemukan dengan jodohnya.
……

(Jalaludin Rumi)


(sepotong kidung Rumi yang kutemukan di lembaran undangan nikah temanku. semoga mampu menghadirkan kembali senyum di wajah para kekasih yang sedang menanti belahan jiwanya. )

Juli 02, 2005

AKU MENANGIS

.. .. .. ..
"Te, ganti channel dong"
"lho, lapo? Iki berita, Rin..."
"Aku giris, Te. Sakno lho..."
"Walah, gak opo-opo. Ngene ae lho..."
.. .. .. ..

Penggalan percakapan di depan TV antara aku dan Rini. Berita di TV sedang menayangkan kecelakaan KA di Pasar Minggu. Kereta yang ringsek, kerumunan manusia, hujan deras, evakuasi korban, ceceran darah, serpihan daging....Air mata menitik di sudut mataku. Segera kuusap sebelum Rini menyadarinya. Maaf ya, Rin....

Mendadak aku terkenang sepenggal percakapan dengan teman kuliahku, Harry:
.. .. .. ..
"Ron, kau pernah nangis gak?"
"Aneh koen iku. Ya pernah lah..."
"Aku gak percoyo. Model koyo kamu nangis?"
"Sekarepmu. Sing jelas kalo aku nangis gak bakalan di depan orang lain. Opo maneh kamu, wek"
"Ya itu maksudku. Aku pengen liat kamu nangis..."
"Opo? Keep dreaming for the rest of your life..."
"Huahahahahahhaha...."
.. .. .. ..
Dan kata-kataku terbukti sampai kami lulus dan berpisah karena pekerjaan yang berbeda. Aku tak pernah menangis didepannya atau temanku yang lain.

Aku bisa menangis. Bahkan sering sekali. Seperti ini....

Aku menangis setiap kali papa dan mama marah kepadaku untuk kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja kulakukan.

Aku menangis ketika menjawab 'tidak' di depan Indra ketika seorang teman di SMP bertanya apakah aku menyukai Indra? Aku telah berjanji pada papa. Lagipula Rima, sahabat SMP-ku, masih menginginkan Indra kembali padanya.

Aku menangis ketika De bertekad pindah kelas dan lebih memilih jurusan sosial daripada di jurusan fisika bersamaku. Dunia mengelam dan semangatku menguap.

Aku menangis ketika papa marah padaku karena gelar juara itu tidak dapat kupertahankan di kelas 2 Fisika. Alasanku: teman-teman yang lain lebih pintar.

Aku menangis ketika harus berjuang sendiri melawan rasa rendah diri ketika harus mewakili sekolahku untuk mengikuti The First World Community Development Camp. Saingannya banyak, senior-senior dan jago-jago pramuka.

Aku menangis ketika papa meninggal. Bahkan sampai sekarang pun ketika aku mengunjungi makamnya. Atau ketika aku teringat betapa inginnya aku mengatakan kalimat ini: Pa, Rona sayang papa.

Aku menangis setiap kali membaca surat tulisan tangan terakhir dari papa yang sedang belajar di Lyon.

Aku menangis ketika di suatu semester IPK-ku mencapai 3.8 dan papa tidak bisa melihatnya.

Aku menangis setiap kali mama atau adik-adikku bersedih.

Aku menangis ketika nenekku meninggal dan aku belum sempat memenuhi janjiku mengantar beliau berkeliling ke saudara-saudaranya.

Aku menangis ketika tugas telaahan stafku harus diulang dua kali karena aku tidak sependapat dan sedikit antipati pada salah satu bosku.

Aku menangis pada suatu malam ketika aku harus merelakan yang-tidak-boleh-disebut-namanya pergi dan memutuskan semua jalan untuk kembali demi kebaikan semua orang.

Aku menangis menyaksikan dan mengingat saudara-saudaraku teraniaya nun jauh di Bosnia, India, Palestina, Pakistan, belahan bumi manapun.

Aku menangis ketika tsunami menggulung saudara-saudaraku di Aceh dan aku hanya bisa berdoa.

Aku juga bisa menangis seperti ini:

Ketika sahabatku berduka dan menitikkan air mata didepanku.

Ketika sahabatku bahagia dan membaginya denganku.

Ketika kulihat penderitaan mereka yang kurang beruntung di jalanan. Dan akan semakin menyayat hati jika kutemui sosok tua di sana. Aku teringat mama dan nenekku.

Ketika aku makan enak dan bertanya-tanya apakah tetangga dan saudara-saudaraku bisa makan enak seperti aku.

Ketika aku nonton film Kuch-Kuch Hotta Hai dan segala macam film romantis lainnya. Termasuk kartun sekalipun.

Ketika aku membaca buku roman yang kisahnya menyayat hati.

Ketika aku menghadiri akad nikah saudara, teman atau sahabatku. Aku selalu bisa menangis ketika pengantin putri mencium tangan pengantin putra.

Ketika hatiku tiba-tiba dipenuhi rasa syukur atas semua hikmah dan nikmat-Nya. Pun ketika aku mengingat semua dosa dan kesalahan yang pernah kulakukan kepada-Nya atau orang-orang disekitarku.

Aku bisa menangis. Walaupun semua tangisan itu tanpa suara, sedu sedan atau air mata.

Tangisku yang bersuara dan berderai kutumpahkan dalam kesendirian. Dulu, selalu ada ruang yang kukunci atau pengasingan ke tempat jauh, sendiri. Sekarang, semuanya kutumpahkan dalam sujud-sujud panjangku pada-Nya. Mengapa? Karena aku tidak ingin dikasihani. Karena aku tidak ingin merepotkan orang lain dengan keluh-kesahku.

Jadi, ketika seorang teman yang baru kukenal mengatakan padaku bahwa aku pura-pura kuat padahal sesungguhnya aku lemah..............AKU MENANGIS.

Tangis kali ini pun tanpa suara, sedu-sedan atau air mata.


(Aku tak tahu cara berbagi tangis, sobat)

Juni 30, 2005

DI PERSIMPANGAN JALAN

Apa yang terbayang di benak kita jika disodorkan kata ‘trafficking’? Persimpangan jalan, traffic light, wajah lusuh nan dekil dari bayi, anak-anak, perempuan, kemiskinan, yang kadang kala berujung ke tindakan ‘kekerasan’ mulai dari eksploitasi air mata, pemaksaan, pemerasan, penodongan, de el el. Yang lain?

Buatku trafficking adalah spanduk besar di pinggir jalanan dan Dewi Hughes. Mengapa begitu? Karena pertama kukenal kata itu dari spanduk di jalan yang ternyata di-duta besar-i oleh Dewi Hughes. Sepengetahuanku trafficking dalam bahasa Dewi berkaitan dengan eksploitasi perempuan dan anak-anak di jalanan oleh pihak-pihak tertentu yang ujung-ujungnya adalah uang. Ada hukuman pidana bagi pelakunya.

Aku mungkin tak cukup pintar untuk memberi definisi pada istilah-istilah yang menurutku hanya berarti satu: cermin kemiskinan. Entah ia berupa trafficking, anak jalanan, gelandangan, premanisme atau apalah. Mengapa begitu? Karena buatku semua itu sama saja: duitku gak cukup buat makan, baju dan tempat berteduh.

Cermin ini kujumpai setiap hari di jalanan dalam bentuk bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua. Lengkap. Kadang cermin ini mengamen (betulan atau sekedar ngomong gak jelas), meminta-minta (sekedar menyorongkan tangan atau sambil menghiba), berpuisi, berjualan, bahkan mencopet. Kutemui mereka dalam bus, angkot, taksi, atau mobil kawan yang kutumpangi. Mereka lebih sering lagi berhadapan denganku karena aku pengguna setia kendaraan umum.


Pada awalnya aku selalu iba. Kubayangkan saja jika aku lapar, tak punya uang dan tak ada makanan untuk di makan. Jadi ringan saja aku pindahkan recehan ke tangan mereka. Kutambah dengan bonus senyuman karena aku ingat Allah memerintahkan kita memberi dengan cara sebaik-baiknya. Karena rutin setiap hari akhirnya ini menjadi kebiasaan. Tak ada lagi rasa iba atau kasihan. Semuanya menjadi otomatis. Kalau kau minta, kuberi. Kalau tidak, ya sudah.

Suatu pagi dalam perjalanan ke kantor, di persimpangan Siola, aku membaca tulisan di sebuah spanduk. Tentang trafficking. Sangat menyolok karena kutipan hukuman pidana yang mengancam. Pada awalnya aku tidak terlalu memikirkannya karena buatku itu hanya slogan-slogan ‘omdo’ yang seringkali dipampang di pinggir jalan.

Sampai beberapa minggu kemudian kusadari cermin-cermin ini tak ada lagi di jalanan. Kalaupun ada, selalu pada sore atau malam hari dan jarang sekali. Aku teringat pada spanduk itu. Adakah hubungannya? Mulailah aku mencari informasi tentang trafficking.

Sedikit informasi kudapat dari koran, majalah, berita TV atau di infotainment. Dari infotainment aku tahu bahwa Dewi Hughes diangkat menjadi dutanya (entah oleh siapa, aku lupa). Kutangkapjuga maksud dibalik ancaman pidana terhadap pelaku trafficking. Cita-citanya memang baik. Supaya tidak ada lagi eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak. Juga anjuran agar kita tidak memberi uang kepada mereka agar mereka tahu bahwa tidak ada uang di jalanan.

Kukunyah-kunyah informasi ini diotakku dan kuamini karena secara logika menurutku memang benar adanya. Akhirnya, tak ada lagi recehan yang kusebar dijalanan ketika beberapa saat kemudian jalanan mulai marak dengan kehadiran mereka. Kucoba mengabaikan segala macam usaha persuasi mulai dari suara memelas, menghiba atau mimik wajah menggenaskan dalam rangka meneguhkan niatku mensukseskan cita-cita anti trafficking. Dan usahaku sukses walau di dasar hati aku merasa ada yang kurang sreg.

Sampai kemudian milis moslem di kantorku ramai membahas tentang kemiskinan. Beberapa tulisan dan tanggapan hilir mudik di sana. Mulai dari yang halus sampai keras, yang ditulis dengan huruf kecil sampai huruf capital semua. Dan ada satu tulisan yang menarik hatiku. Dikutip dari tulisan seorang Muhammad Rosyid Supriyanto yang dipublikasikan entah di mana. Kucetak dan kubaca dalam perjalanan pulang di angkot. Judulnya: Solusi Islam atas Kemiskinan.

Aku mendapat gambaran ringkas yang lebih utuh tentang bagaimana Islam memandang kemiskinan. Betapa Allah telah mengatur dengan lengkap dan menyeluruh dalam syariat Islam bagaimana mengatasinya. Betapa beberapa teori ekonomi yang kupelajari di bangku kuliahan dibantah dalam Islam. Subhanallah.

Aku tertegun sendiri dan bertanya-tanya adakah yang kulakukan pada mereka yang kurang beruntung sudah benar adanya? Sudah sesuai syariat? Astaghfirullah…ternyata masih jauh dan banyak salahnya. Aku membayangkan seandainya saja solusi Islam dijalankan mungkin aku tak perlu lagi mengumpulkan recehan dan menyebarnya di jalanan karena tidak akan ada lagi cermin-cermin kemiskinan di sana.

Tapi apa dayaku. Kita terkungkung dalam sistem kapitalis. Undang-undang anti trafficking memang sebuah usaha tapi tidak menyeluruh. Hanya akan jadi slogan ‘omdo’ karena akar penyebab masalahnya belum dapat ditangani. Lalu?...

Tiba-tiba aku teringat pada temanku, Pak Muchtar. Suatu ketika aku pernah nebeng mobil beliau (waktu aku masih teguh anti trafficking). Sepanjang jalan dengan sabar dibagikannya recehan kepada mereka semua yang meminta dengan santun. Ketika kuajukan pertanyaan kepadanya: Mengapa? Dijawabnya dengan senyuman: Supaya saya selalu ingat untuk bersyukur kepada-Nya bahwa saya masih diberi kenikmatan untuk memberi.

Allah, ya rabb, ampuni aku. Apalah artinya segala teori dan logika jika aku kelaparan. Karena ketika perutku lapar, aku pasti akan mencari makanan. Jika tak ada makanan, aku harus membelinya. Jika tak ada uang, aku harus menahan laparku dan berusaha mencari uang. Tapi jika usaha tak menghasilkan uang, salahkah aku jika memintanya? Demi perutku yang melilit, sekarang.

Cermin itu berada di antara kita. Ditunjukkannya wajah kemiskinan agar kita berkaca kepadanya. Sekarang dan besok mungkin akan semakin banyak kita jumpai. Bagaimana harus bersikap jika sistim yang ada tak mampu mengatasi. Apa yang dapat kita lakukan untuk meringankannya. Aku teringat kata-kata Aa Gym: mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri dan mulai dari sekarang.


(Betapa banyak yang dapat kurenungkan dalam perjalanan di angkot antara Pasar Turi–Karangmenjangan jika aku tidak tertidur kelelahan)

Juni 17, 2005

PERSONALITY

Aku mengenal personality-personality-an ini lewat Dimas, teman baruku yang dikenalin Maya. Kuawali dengan email yang alot banget kukirimkan hanya karena aku gak pede, takut, minder. Mengapa begitu? Sebagian karena aku sendiri emang dasarnya begitu, sebagian lagi karena yang bersangkutan ini kukategorikan orang pinter. Gimana gak pinter, lha wong labelnya dosen dan peneliti. Walah…

Karena sama-sama gak ngerti bleger masing-masing, ya akhirnya dipakainyalah analisa personality ini.

Lewat Dimas aku baru ngerti kalau ternyata watak manusia itu bisa digolongkan secara ilmiah yaitu padu padan antara sanguinis, koleris, melankolis dan plegmatis. Awal pertama aku ditebak melankolis plegmatis. Pikirku ini makanan apa lagi. Maya yang kutanya jadi keheranan dengan pertanyaanku. Uwie juga. Ternyata, akunya yang kuper. Lha wong makanan itu ternyata best seller dari dulu je. Bude Florence yang bikin bukunya. Pantes aku nggak ngerti lha wong di gramedia letaknya di area psikologi yang secara geografis jauh dari area sastra dan bacaan ringan (baca: komik :p).

Karena penasaran, hari Sabtu aku ke gramedia TP. Janji ketemu Harry kudobel janji ketemu Ipah, kudobel lagi dengan berburu bukunya Bude itu. Akhirnya kudapat juga bukunya walau untuk itu aku mesti berantem dulu dengan Harry karena aku males dia berencana bawa-bawa mantan bosnya juga. Heh…temenku satu ini kok ya gak hapal-hapal aturan mainku…Perlu di brain washing lagi kali ya…Hmmm.

Di rumah, sambil nunggu kamar mandi penuh, mulailah kubaca. Ada testnya, ya kukerjakan. Hasilnya? Aku didakwa sanguinis melankolis. Nah lo ternyata tebakan Dimas salah. Sanguinis melankolis. Artinya? Wah, serem ternyata. Pokoknya yang sanguinis itu ekstrovert dan melankolis itu introvert. Keduanya emosional tapi berlawanan. Artinya? Bahaya sekali. Kenapa begitu? Karena dalam satu tubuh emosi naik-turun gak keruan. Terus dibilang yang begini bisa jadi karena punya pengalaman masa kecil yang penuh penolakan sehingga salah satu topeng dipakai. Aku jadi ngenes. Nasib, nasib, lha kok watakku didakwa begini ya.

Kupikir-pikir terus perpaduan itu. Apanya yang salah ya…Dimana yang salah ya…Kok ya melas diriku ini. Nah, supaya gak bingung harus ada second opinion kan…Jadi kutanya ke yang lebih tahu. Kata Dimas aku pastinya sanguinis koleris, kebalikannya dia. Artinya? Ya baguslah…Kata Bude Florence itu perpaduan yang berpotensi menjadi pemimpin. Perpaduan yang menyukai kesenangan namun bisa mencapai tujuan. Bagus…bagus…Tapi jeleknya, perpaduan ini mungkin memproduksi orang yang diantaranya jadi sok tahu, tidak sabaran, tukang monopoli percakapan. Lho, kok agak ada benarnya ya.

Lepas dari kejelekannya yang diam-diam kuamini, aku jadi seneng banget. Wah ternyata aku berpotensi jadi pemimpin. Pemimpin yang bisa bersenang-senang lagi. Siapa yang gak senang, coba. Aku langsung membayangkan duduk-duduk di kursi empuk, banyak tamu, makan-makan enak, duit banyak. Tapi cepat-cepat kuhilangkan karena terbayang aku duduknya susah karena ekstra kegendutan. Lha wong enak terus hehehehe.

Setelah itu aku nyengir sendiri. Aku ini kurang ajar kali ya. Masalah ilmiah gini kok tak bikin guyonan. Aku gak terima hasil test karena mengecewakan, trus cari second opinion yang ternyata melegakan. Jadi inget kalau baca ramalan bintang aja. Kalau jelek gak terima, kalau bagus diterima. Kok enak ya…

Akhirnya dengan semangat meluruskan niat pada umumnya dan demi keilmiahan ilmu psikologi pada khususnya, aku mulai bertekad mempelajari perwatakan ini. Pertama supaya aku gak kurang ajar cuma mau enaknya tok. Kedua supaya aku lebih mudeng ama diriku sendiri dan orang lain. Ehm…:D

Untuk memulainya, weekend besok aku harus ngubek-ngubek gramedia terutama dibagian psikologi untuk cari referensi lain. Artinya: goodbye sastra, goodbye manga, kalau gak tergoda heheheh. Tapi yang paling penting, langkah pertama aku mesti baca ulang itu bukunya Bude. Lho? Lha iya, wong kemaren bacanya scanning kok hehehe.

Jadi, tunggu aku dunia personality-personality-an. I’m coming.....

(btw, ntar selesai tak pelajari, yang mau nguji siapa ya…hmmmm)

April 18, 2005

NORAK? WHY NOT GITU LOH…

Lima kata yang dipilih Ucik untuk mendiskripsikan diriku adalah: lucu/ramah, tekun, judes (kalau lagi bete), royal (kalau gak mau dibilang boros) dan bawel. Lima kata pilihan dari puluhan kata sifat yang ditemukannya begitu pertanyaan itu kusodorkan. Entah pertimbangan apa yang dipakai tapi Ucik bilang itu belum cukup untuk mendiskripsikan diriku. Dia tidak bisa menemukan kata-kata yang pas. Dan jangan tanya apanya yang kurang karena pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa aku itu ‘aneh bin ajaib’. Alasan yang membuatnya betah berlama-lama disisiku. The one and only. Tak ada duanya di dunia. Ciee…ihi….

Sebelas tahun persahabatan kami telah menyediakan waktu yang panjang untuk saling mengenal. Sulit sekali jika harus mengekstraknya ke dalam 5 kata sifat. Terlalu besar kemungkinan biasnya. Jadi jika kata ‘aneh bin ajaib’ dianggapnya cukup mewakili, aku tinggal mengamini saja. Lagipula aku harus menghargai usahanya memeras otak yang memakan waktu 1,5 jam hehehehhe.

Mungkin aku memang ‘aneh’ di mata Ucik. Itu karena pada dasarnya kami adalah dua manusia yang sama sekali berbeda. Tidak hanya berbeda secara fisik tetapi kami memang beda segalanya. Selera kami, kecuali selera makan, benar-benar berbeda. Jika dianalogkan Ucik bisa dibandingkan dengan lilin dan nyalanya yang tenang. Sementara aku? Well, kembang api belum cukup menggambarkan. Petasan bumbung minimum 1 kg mungkin lebih cocok. So, kebayang kan bedanya.

Aku pikir mungkin Ucik tidak tega memakai kata ‘norak’ untuk menjelaskan ‘salah satu keanehanku’ di antara perbedaan kami. Walau kadang suka dikutipnya juga kalau sudah give up dengan sepak terjangku. Pada dasarnya aku tidak keberatan mengakui bahwa kadang-kadang aku memang norak dalam kadar tertentu. Itu jika yang dipakai adalah ukuran ‘kelaziman’ yang berlaku dilingkunganku, misalnya dalam fashion dan berekspresi. Buat catatan saja, usiaku hampir 30, single, berjilbab lebar, berukuran XXL, bergelut di finance yang seringkali menuntutku lebih berperan sebagai sekretaris, customer service, marketing, atau sejenis.

Selera ber’fashion’ku seringkali mengundang komentar atau kerenyitan di dahi teman-teman. Pakem berpakaian kupelesetkan sesuka hatiku. Pakem warna dan bentuk juga kutabrak sesuka hati. Daripada berblazer dan bercelana kantor yang formal dan rapi, aku lebih memilih rok dan blus longgar untuk di kantor. Aku lebih suka memilih warna-warna yang ‘terang’ dibanding warna-warna kalem yang elegan. Dan jangan tanya matching warna karena aku bisa mencampur warna biru, kuning, hijau, oranye dari mulai jilbab, baju, celana, sampai tas. Tabrak habis. Jangan tanya juga soal asesoris pelengkap seperti tas dan sepatu. Pokoknya full dan panen komentar.

Kata temanku, Siti, aku ‘ramai’ dan ‘ekspresif’. Mungkin itu kata lain dari cerewet (bawel kata Ucik) dan ‘gak bisa diam’. Loncat kesana kemari, berkicau disana sini. Belum lagi dengan volume suara yang ‘nyaring’ dan tidak bisa pelan plus mimik wajah yang ‘fleksibel’ sesuai jalan cerita. Centil. Pokoknya, beda jauh dengan ekspektasi orang jika mengenalku pertama kali. Jauhhhhh……:p

Ekspektasi itu bisa lebih berantakan lagi jika ada background musik yang mengiringi. Aku bisa lupa usia, suasana dan tempatku berpijak. Otomatis saja aku akan menyanyi tralala trilili plus bergoyang-goyang. Aku bilang otomatis karena memang itu sepaket dan tidak bisa dicegah. Seperti mengalir begitu saja didalam darahku. Walhasil, yang seringkali terjadi aku kemudian menyesalinya habis-habisan tetapi mengulanginya lagi di lain kesempatan hehehehe.

Umumnya orang menerimaku apa adanya (menurutku :p). Tapi beberapa orang menunjukkan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ketidaksetujuannya atas caraku berekspresi yang menurut mereka ‘norak’. Mungkin menurut mereka aku harusnya lebih bisa tenang dan menyesuaikan diri dengan usiakulah, status pendidikankulah, strata sosialkulah (?). Pernah suatu ketika aku memang lebih ‘tenang’. Itupun karena aku sedang dalam fase anti sosial. Tetapi aku jadi merasa jaim dan tidak menjadi diriku sendiri. Sehingga ya akhirnya beginilah. Back to basic.

Aku tidak melihat ada yang salah dengan caraku berekspresi. Apa salahnya menjadi diri sendiri. Yang jelas selama ini orang-orang jadi lebih welcome dan tidak sungkan-sungkan membicarakan apapun denganku. Aku bisa bicara bebas dengan siapapun. Aku belajar memahami orang lain karena mereka bisa lebih terbuka. Hal ini memudahkanku untuk belajar: ‘mendengar’, ‘berbicara’, menggali hubungan-hubungan dan berempati. Belajar memahami perbedaan dan menerima keunikan masing-masing individu. Dan yang terpenting, menjadi diriku sendiri.

Memang ada konsekuensi lain yang harus kutanggung. Amanah yang kupegang jadi menumpuk karena akhirnya banyak curhat-curhat yang kutampung. But it’s ok karena aku punya banyak teman yang amat pengertian jika aku mendadak diam pada tema tertentu (terutama Maya, thanks honey). Konsekuensi lainnya orang jadi ngerasa sok akrab padaku bahkan tanpa sadar cenderung kurang ajar. Pada orang-orang tataran ‘educational’ tertentu pasti menganggapku merugikan diri sendiri. Mungkin maksudnya gak intelek kali ya hehehe. But it’s ok karena selama ini aku bisa menjaga dan menyesuaikan diri. Mutiara itu dimanapun tempatnya tetap mutiara :D.

Yang jelas nih…aku jadi awet muda karena seringkali disangka lebih muda dari usiaku sesungguhnya (ehm). Lumayan, meleset 5 tahun lebih muda huahahahaha. Mungkin karena aku lebih banyak tawa dan ekspresif kali ya heheheh.

Jadi norak? Why not gitu loh……..

Maret 24, 2005

NOSTALGIA...

JADILAH ANGIN

jadilah angin, tuanku
biar tegak kepak sayap
saat letih mengurai asaku

jadilah angin, tuanku
bawa nada rancak serulingku
tentang cerita embun pagi
saat biru menyapa asaku

(Probolinggo, 11 Februari 1997)
------------------------------

KUAMBIL SATU

dan kuambil satu yang baik
kukenakan di bagian tubuhku
seperti mereka menyatu
dan mengisyaratkan diriku...

(Surabaya, 12 Oktober 1998)
----------------------------

TUAN DIMANA?

pagiku hilang, Tuan...

mungkin karna semalam
kuhisap candu banyak-banyak
tenggelam, dan
waktu terbangun :
............Tuan dimana?

(Surabaya, 16 Desember 1998)

Maret 23, 2005

WHAT’S MAKE U ALIVE?

Sebuah pertanyaan yang seringkali singgah setiap kali otakku mendadak ‘kosong’. Entah karena kelelahan fisik atau karena kebanyakan pikiran. Muncul begitu saja seperti hantu bertulisan tebal berhuruf capital melayang di ruang maya bermemori yang notabene berstatus ‘benakku’.

Saat ini: dengan kedua hidung buntu tersumbat karena flu, kepala pusing, tidak bisa tidur, dan room mate yang keasyikan nonton film TV, aku tidak heran jika pertanyaan itu datang lagi seperti hantu. “Buuuu…..”

Well,…aku muslim dan tahu pasti jawaban dari stupid question-ku ini. Kehendak-Nyalah yang membuat kita hidup. Tapi menarik sekali mengetahui respon orang lain atas pertanyaan ini. Mengapa? Karena kemudian kusadari pertanyaan ini secara instingtif akan kuajukan kepada mereka yang ingin kukenal lebih jauh. Iseng banget ya…

Jawaban yang kudapat bermacam-macam. Pada mereka yang nafas religinya begitu kental seringkali respon pertama yang kudapat adalah pandangan menyelidik. Mungkin mereka berpikir aku sedang mengigau, menguji atau malah kasihan. Yang menganggapku mengigau biasanya akan menjawab “kau nggak apa-apa tah?”. Mereka yang menganggapku menguji biasanya akan memberiku ceramah panjang lebar lengkap dengan kata-kata dan kalimat-kalimat berdalil yang kadang-kadang sayup-sayup dapat kumengerti. Bukan karena otakku kental tapi karena susunan kalimat mereka terasa aneh bin ajaib. Mungkin mereka memang pintar, supaya terlihat pintar, atau memang akunya yang lemot. Entahlah. Lalu mereka yang memandangku kasihan biasanya akan memperlakukanku dengan penuh perasaan, penuh kasih. Menjelaskan ini-itu dan berhati-hati agar aku yang tersesat ini tidak tenggelam semakin jauh dalam kegelapan…..huahahahaha.

Jawaban yang menarik kusimak dengan perhatian penuh justru kudapat ketika mereka ‘mengesampingkan’ jawaban religius. Mengapa menarik? Karena tanpa mereka sadari, diam-diam atau terang-terangan, jawaban akan selalu dimulai dengan tarikan napas penuh perasaan. Bukan karena pertanyaan itu butuh jawaban yang berat. Bukan. Justru karena pertanyaan ini membuat mereka berpikir dan menjenguk perasaan di balik sekat hati.

Kutemukan cinta dan kasih sayang. Bukan dari jawaban dan alasan yang diajukan. Karena bahasa tubuh yang berbicara takkan mampu menipu mata. Menarik menyimak mereka mengajukan berbagai subyek dan alasannya (positif atau negatif) yang buatku semua hanya berarti satu kata: aku cinta.

Menyenangkan mengetahui begitu banyak cinta yang berenergi. Menyenangkan mengajak orang menjenguk hati. Mengetahui bahwa cinta (dulu atau sekarang) begitu berarti. Tapi seringkali justru kemudian aku yang tercenung diam. Menjadi sedikit perih setiap kali menyimak jawaban dan alasan. Mengapa? Karena kemudian kusadari kepada mereka yang kuajukan pertanyaan ini, sesungguhnya aku mencari porsi cinta untuk diriku. Mencari kemungkinan eksistensiku menjadi sedikit energi untuk orang lain. Mengetahui apakah aku cukup berarti. Aku tak tahu ini penyakit atau apalah. Yang jelas pertanyaan ini mungkin akan terus kuajukan sampai kutemukan bagianku pada jawabannya. Poor me….but, what’s makes you alive?

(direnungkan dan diketik di jakarta, 17 Maret 2005, pasca diklat CFA yang sungguh melelahkan jasmani dan rohani ihiks)
Half Purple and Blue Butterfly