Pages

Juli 02, 2005

AKU MENANGIS

.. .. .. ..
"Te, ganti channel dong"
"lho, lapo? Iki berita, Rin..."
"Aku giris, Te. Sakno lho..."
"Walah, gak opo-opo. Ngene ae lho..."
.. .. .. ..

Penggalan percakapan di depan TV antara aku dan Rini. Berita di TV sedang menayangkan kecelakaan KA di Pasar Minggu. Kereta yang ringsek, kerumunan manusia, hujan deras, evakuasi korban, ceceran darah, serpihan daging....Air mata menitik di sudut mataku. Segera kuusap sebelum Rini menyadarinya. Maaf ya, Rin....

Mendadak aku terkenang sepenggal percakapan dengan teman kuliahku, Harry:
.. .. .. ..
"Ron, kau pernah nangis gak?"
"Aneh koen iku. Ya pernah lah..."
"Aku gak percoyo. Model koyo kamu nangis?"
"Sekarepmu. Sing jelas kalo aku nangis gak bakalan di depan orang lain. Opo maneh kamu, wek"
"Ya itu maksudku. Aku pengen liat kamu nangis..."
"Opo? Keep dreaming for the rest of your life..."
"Huahahahahahhaha...."
.. .. .. ..
Dan kata-kataku terbukti sampai kami lulus dan berpisah karena pekerjaan yang berbeda. Aku tak pernah menangis didepannya atau temanku yang lain.

Aku bisa menangis. Bahkan sering sekali. Seperti ini....

Aku menangis setiap kali papa dan mama marah kepadaku untuk kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja kulakukan.

Aku menangis ketika menjawab 'tidak' di depan Indra ketika seorang teman di SMP bertanya apakah aku menyukai Indra? Aku telah berjanji pada papa. Lagipula Rima, sahabat SMP-ku, masih menginginkan Indra kembali padanya.

Aku menangis ketika De bertekad pindah kelas dan lebih memilih jurusan sosial daripada di jurusan fisika bersamaku. Dunia mengelam dan semangatku menguap.

Aku menangis ketika papa marah padaku karena gelar juara itu tidak dapat kupertahankan di kelas 2 Fisika. Alasanku: teman-teman yang lain lebih pintar.

Aku menangis ketika harus berjuang sendiri melawan rasa rendah diri ketika harus mewakili sekolahku untuk mengikuti The First World Community Development Camp. Saingannya banyak, senior-senior dan jago-jago pramuka.

Aku menangis ketika papa meninggal. Bahkan sampai sekarang pun ketika aku mengunjungi makamnya. Atau ketika aku teringat betapa inginnya aku mengatakan kalimat ini: Pa, Rona sayang papa.

Aku menangis setiap kali membaca surat tulisan tangan terakhir dari papa yang sedang belajar di Lyon.

Aku menangis ketika di suatu semester IPK-ku mencapai 3.8 dan papa tidak bisa melihatnya.

Aku menangis setiap kali mama atau adik-adikku bersedih.

Aku menangis ketika nenekku meninggal dan aku belum sempat memenuhi janjiku mengantar beliau berkeliling ke saudara-saudaranya.

Aku menangis ketika tugas telaahan stafku harus diulang dua kali karena aku tidak sependapat dan sedikit antipati pada salah satu bosku.

Aku menangis pada suatu malam ketika aku harus merelakan yang-tidak-boleh-disebut-namanya pergi dan memutuskan semua jalan untuk kembali demi kebaikan semua orang.

Aku menangis menyaksikan dan mengingat saudara-saudaraku teraniaya nun jauh di Bosnia, India, Palestina, Pakistan, belahan bumi manapun.

Aku menangis ketika tsunami menggulung saudara-saudaraku di Aceh dan aku hanya bisa berdoa.

Aku juga bisa menangis seperti ini:

Ketika sahabatku berduka dan menitikkan air mata didepanku.

Ketika sahabatku bahagia dan membaginya denganku.

Ketika kulihat penderitaan mereka yang kurang beruntung di jalanan. Dan akan semakin menyayat hati jika kutemui sosok tua di sana. Aku teringat mama dan nenekku.

Ketika aku makan enak dan bertanya-tanya apakah tetangga dan saudara-saudaraku bisa makan enak seperti aku.

Ketika aku nonton film Kuch-Kuch Hotta Hai dan segala macam film romantis lainnya. Termasuk kartun sekalipun.

Ketika aku membaca buku roman yang kisahnya menyayat hati.

Ketika aku menghadiri akad nikah saudara, teman atau sahabatku. Aku selalu bisa menangis ketika pengantin putri mencium tangan pengantin putra.

Ketika hatiku tiba-tiba dipenuhi rasa syukur atas semua hikmah dan nikmat-Nya. Pun ketika aku mengingat semua dosa dan kesalahan yang pernah kulakukan kepada-Nya atau orang-orang disekitarku.

Aku bisa menangis. Walaupun semua tangisan itu tanpa suara, sedu sedan atau air mata.

Tangisku yang bersuara dan berderai kutumpahkan dalam kesendirian. Dulu, selalu ada ruang yang kukunci atau pengasingan ke tempat jauh, sendiri. Sekarang, semuanya kutumpahkan dalam sujud-sujud panjangku pada-Nya. Mengapa? Karena aku tidak ingin dikasihani. Karena aku tidak ingin merepotkan orang lain dengan keluh-kesahku.

Jadi, ketika seorang teman yang baru kukenal mengatakan padaku bahwa aku pura-pura kuat padahal sesungguhnya aku lemah..............AKU MENANGIS.

Tangis kali ini pun tanpa suara, sedu-sedan atau air mata.


(Aku tak tahu cara berbagi tangis, sobat)

3 komentar:

May mengatakan...

everybody hurts, sometimes
everybody cry...sometimes
don't cry just to know u're 'alive'
tentang teman baru yang membuat segalanya menjadi simple yet complicated, maapkan aku ya neng..

Anonim mengatakan...

Pren, kirain cm diriku aja yg dijuluki "manusia tanpa air mata" ma orang2, ternyata kamupun spt itu. Makanya, waktu baca tulisan tanganmu ini, aku spt membaca diriku sendiri. Aku berusaha menyimpan air mata bkn krn malu, tp krn gak mo terlihat lemah. Jujur aja, dari semula aku dah menduga kmu orangnya spt itu. Orang yg selalu ceria biasanya hatinya rapuh, tp dia berusaha terlihat tegar.. Bener gak ?? (he he he, ini kata bola kristalku lho :p).. Semangat !!

dian mengatakan...

dulu aku selalu sembunyikan air mataku. sampe seorang teman bilang, apa salahnya dengan menangis? apa salahnya dengan mengeluarkan air mata? air mata tidak menunjukkan bahwa kita lemah, tapi menunjukkan bahwa kita manusia dan ada hati yang sedang tersentuh disitu, hingga memancing air matanya.
skarang aku berhenti menyembunyikan air mata. kalo aku mo nangis, aku nangis aja. bahkan waktu aku selesaikan Torey Hayden di kereta malam Jogja - Surabaya, aku biarkan bahuku terguncang2 karena sesenggukan.
apa salahnya dengan mengeluarkan air mata? :)

Half Purple and Blue Butterfly