Pages

Juli 18, 2005

TUKANG KOMPUTER

Laki-laki, 32 tahun, sehat jasmani-rohani, (sepertinya) baik. Demikian data yang disodorkan ibu di suatu pagi. Dan aku hanya berkomentar: “Oohh…”

Hari berikutnya informasi dari ibu bertambah;
“Anak tunggal, Mbak. Ibunya teman lama Ibu. Keluarganya baik. Ibunya sendiri yang nanyain Mbak dan menawarkan rencana itu ke Ibu.” Dan komentarku lagi-lagi hanya :”Oohh…”

Tidak ada respon memuaskan, dan Ibu tidak menyerah. Acara telpon-telponan di pagi hari semakin gencar dilancarkan. Informasi sudah berkembang menjadi; “Masih tetangga Mbah lho, Mbak. Masih satu kampung. Sarjana komputer. Mulai merintis usaha sendiri. “
Dan komentarku masih juga cekak; “Oh, pengusaha. Gak punya calon? Masa siy?”

Ibu tetep keukeuh. Terakhir malah tanya-tanya kapan ngambil cuti buat pulang kampung. “Liat dulu anaknya”, kata Ibu. Aku yang awalnya adem-ayem jadi terusik juga. Ibu kok semangat sekali ya…ada apa?

Akhirnya kubuka diskusi kecil-kecilan dengan sahabatku. Informasi dikumpulkan dan dikaji lebih serius. Kesimpulan yang diperoleh: Laki-laki, 32 tahun, sarjana komputer, buka usaha sendiri, anak tunggal, tetangga Mbah, Ibunya teman lama Ibu, pendiam, (kata Ibu) baik.

Hanya itu? Ya, hanya itu. Dengan agak kejam kubilang: STD (dibaca standart). Gak ada istimewanya. Di luar sana banyak laki-laki bujangan dengan CV sama atau lebih bagus.

Sahabatku menambah informasi kalau selama ini banyak Ibu-Ibu yang mencoba mengenalkan anak gadisnya tapi tidak ada respon darinya. Aku mendelik, sewot. Belagu tuh orang. Tambah sewot lagi waktu sahabatku membela,”Mungkin baru mulai buka usaha makanya gak nyari istri dulu. Kan belum mapan.“
Bah, alasan…

Aku yang awalnya udah gak tertarik jadi gak respek blas. Sampai suatu ketika Ibu bilang,”Anaknya emang agak pendiem, santun, alim, rajin ibadah. Udah terkenal begitu di kampung.” Aku tetep cu….Eh, bagaimana? Alim, santun, rajin ibadah? Wah, ini yang bikin jadi gak STD hehehe.

Sekarang aku yang penasaran. Siapa namanya? Seperti apa orangnya? Hmm, harus ada cara untuk mengetahuinya. Kasih nomor HP lewat Ibu ke ibunya? Cuti untuk pulang kampung? Pura-pura nyamperin tokonya? Eitts, tunggu dulu. Gak mungkin. Bapak sudah mengultimatum tidak boleh ada gerakan menyerang duluan, langsung atau tidak langsung. Alamak…

Walhasil, sampai sekarang aku dan Ibu muter otak mencari cara terbaik dengan mengindahkan ultimatum Bapak agar ide perjodohan ini setidaknya berbuah hasil perkenalan dulu antara tukang komputer (julukanku untuknya) dan sahabatku.

Lho kok sahabatku? Lha iya, wong cerita ini memang tentang dia dan tukang komputer kok hehehe.

(Aku seneng dan deg-degan menunggu saat itu tiba. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk, kemudahan dan yang terbaik untuk sahabatku. Amiin)

2 komentar:

May mengatakan...

enak ya punya mamih yg berinisiatip ngejodohin anaknya, kayak mamihnya mbak Ucik gitu :)) Kalo mamih2 kita sih..mana mungkiinnn..kalo mamihku sih lebih karena ga mo 'disalahin' if anything unexpected should happened (like my first intention of becoming dijodohin..) hehehe rupanya mamihku secerdas diriku :D

dian mengatakan...

hahaha.... astaga ron.... sempet terpikir dan berharap, ini tentangmu. tapi kok kampung ya? sejak kapan jakarta jadi kampung. ternyata bener kecurigaanku. sama sekali bukan tentangmu :)) siapapun deh. kalo itu membawa kebaikan. moga2 mudah dan lancar :) moga2 segera nular ke kamu ya ron.... :-*

Half Purple and Blue Butterfly