Pages

September 15, 2005

100 MILYAR MATAHARI…

Kemarin sore di ruanganku. Seorang bapak, teman kerjaku, mengeluarkan pernyataan pribadi sehubungan pelatihan ESQ yang kami ikuti minggu lalu. Menurutnya ada yang salah dalam pelatihan kemarin. Aku, yang mendengarkan sambil lalu, membenarkan pernyataan itu sembari menerangkan bahwa dalam buku Pak Ary memang ada beberapa kesalahan penulisan yang pernah disentil oleh Dikman dalam forum alumni.

Hoho, ternyata maksudnya bukan itu. Si Bapak mempermasalahkan kesalahan penggolongan Asma’ul Husna sebagai sifat-sifat Allah bukannya nama-nama Allah oleh sang instruktur. Aku yang ga mudeng hanya diam, nyengir sambil manggut-manggut aja. Takut salah ngomong karena aku sendiri belum paham masalah ini.

Sang Bapak bilang kalau kemaren dia dan temannya tidak nangis sama sekali. Nah lo, kok jadi ke nangis-nangis segala? Kenapa begitu? Karena intinya sang bapak gak sepaham dengan sang instruktur jadi nggak perlu nangis-nangis segala. Dengan berapi-api beliau menyesalkan sang instruktur yang menurutnya sangat memaksakan pahamnya ke para peserta dengan tidak memberi kesempatan untuk acara tanya-jawab. Aku bingung. Paham? Paham apaan? Setahuku sepanjang acara sama sekali gak ada yang menyimpang. Model yang digunakan juga hanya ‘mengonceki’ rukun iman dan rukun islam aja. Apa aku yang bodoh ya…wah, diam aja deh…mungkin ilmuku masih cetek jadi gak mudeng.

Tambah lama didengerin, omongan si Bapak jadi berasa emosional sekali menyudutkan sang instruktur. Bahkan akhirnya sang Bapak berkata bahwa seharusnya sang instruktur menyadari bahwa hidayah itu hak Allah, jadi sang instruktur tidak boleh memaksakan pahamnya dengan semena-mena.

Gubrak!! Asli aku bengong. Sepengetahuanku sang instruktur sudah meworo-woro dari awal bahwa kehadiran kami (termasuk dirinya sendiri) adalah karena kehendak Allah. Bahwa hidayah itu milik Allah semata. Bahwa kehadirannya hanyalah sekedar ‘mengingatkan’ kebenaran-Nya, yang dikemas sedemikian rupa secara ilmiah dan menggunakan multimedia canggih sehingga lebih mudah diterima.

Aku diam, menunduk dan dalam hati beristighfar. Rasanya nelangsa sekali.

Asma’ul Husna yang Bapak kritik itu diperdengarkan di hari ketiga. Hari pertama sang instruktur mengetengahkan bukti-bukti kebesaran dan kasih-sayang-Nya lewat ayat-ayat cinta-Nya. Hari kedua masih sama ditambah tentang kerasulan Muhammad SAW dan sedemikian besarnya cinta beliau kepada umatnya. Bapak, saya yakin kami semua yang tersuruk-suruk pada saat itu pastilah karena hati kami sedang sangat tersentuh. Dan menangis adalah satu reaksi spontan yang dapat kami lakukan. Bagaimana dengan Bapak?

Ah, Bapak maafkan aku. Maafkan jika tiba-tiba aku merasa ada nada keangkuhan dalam pernyataan-pernyataan Bapak. Mungkin ilmu bapak sudah tinggi dan lebih luas dariku ataupun sang instruktur. Sehingga bapak dapat menghakimi sang instruktur dan kami semua yang menangis waktu itu. Kami semua yang menangis karena mengingat kasih sayang-Nya. Tapi bukankah Bapak bilang bahwa hidayah itu milik Allah semata? Akan diberikan kepada SIAPA, DIMANA, KAPAN dan dengan CARA bagaimana, itu adalah hak Allah semata.


(Mengingat percakapan itu dan meredam segala rasa yang membuncah di dada. Merenungi kata-kata mas Gonot di kursi belakang mobil Pak Wachid sore itu: “Ron, ada 100 milyar matahari di luar sana”. Kataku: “Mungkin lebih banyak lagi”…Subhanallah)

September 12, 2005

ADIKKU, BUKAN SEPUPUKU

Apa kabarmu hari ini? Hari pertama kau sandang amanah baru sebagai suami dan menantu? Adakah semerbak bunga masih menyisakan harum dan semarak pesta semalam? Saat dengan tegas kau ucapkan ikrar itu dihadapan-Nya. Teriring doa, disaksikan berpasang mata yang menatap haru padamu…

Tahukah kau? Aku di sana menatapmu dengan segenap hati. Dengan doa yang teriring hanya untukmu. Aku di sana, menahan haru, menatap punggungmu yang kau tegakkan lurus ke calon ayah mertuamu. Aku tahu, segala rasa itu pastilah berkecamuk didadamu. Bahagia, takut, haru, bercampur menjadi satu. Andai dapat kutepuk punggungmu dan kugenggam tanganmu sekedar menentramkan hati. Andai dapat kubisikkan kalimat ini padamu: “Tenanglah, aku di sini bersamamu.” Apa dayaku…

Tahukah kau? Mungkin memang sebaiknya hanya kutatap punggungmu. Karena aku pastilah hanya akan membuatmu menangis. Kau yang terbiasa mencari mataku, meminta sekedar kekuatan. Maafkan, karena air mata ini tidak dapat kutahan lagi…

Maka segala penggalan cerita itu berkelebatan dibenakku. Masa kecil kita, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah…

Kau kecil yang terbiasa mengekor dibelakangku. Yang tiap liburan sekolah hanya mau menghabiskannya dirumah orang tuaku. Bermain, bercanda, bertengkar, berbaikan lagi.

Kau remaja yang memujaku, yang segalanya ingin seperti aku. Yang ingin belajar serius bahasa inggris ketika aku sedikit bisa mengejekmu dengan bahasa asing itu. Yang dengan semangat menyala menggeluti dunia kepanduan karena aku pernah dengan congkak memamerkan lencana-lencana itu padamu.

Kau dewasa yang tak jua dapat menghentikan kemanjaanmu. Pun ketika ia telah hadir di antara kita. Bidadarimu. Maka ingatkah betapa jengahnya aku didepannya ketika kau dengan segala ceritamu menunjukkan kasihmu lewat cubitan, pukulan, pelukan…

Maka maafkanlah aku ketika saat itu kupinta kau menghentikan segala unjuk sayang itu. Kau sepupuku, bukan adik kandungku. Maka kubuatlah jarak itu membentang di antara kita. Kau terluka. Maka kuterima segala protes dan ledakan amarahmu. Kau menantang siapapun yang membuatku memintamu menghentikannya. Duhai, beranikah kau menantang Tuhanmu…

Aku menyayangimu…sungguh. Sama seperti aku menyayangi semua adikku. Kita mungkin lahir tak sedarah. Tapi buatku, darah kita tak berbeda.

Maka maafkanlah kakakmu ini, ketika sore sebelum akad nikahmu…hanya bisa mengomelimu panjang-pendek dan bukannya memberimu kata-kata yang akan menegarkan langkahmu. Aku tahu kau menyayangiku…ketika kaupinta aku, bukan para sesepuh dan orang tuamu, untuk memilih jas yang akan kau pakai, ketika kau memintaku memilih dasi yang serasi dengan jas itu, ketika kau minta aku memasangkan dasimu, ketika kau minta aku menyematkan bunga korsase itu didadamu. Aku menyayangimu…pun ketika kau menghapus air mata selepas kau ucapkan ikrar itu.

Sejak janji itu kau ikrarkan, kau akan melangkah ke dunia dengan tanggung-jawab baru…dengan seorang bidadari mengiringi langkahmu. Tapi kapanpun itu, jika kau membutuhkanku…aku di sini.

Karena kau adikku, bukan sekedar sepupuku.
Half Purple and Blue Butterfly