Pages

Maret 11, 2013

HAPPY FOR YOU

Undangan pernikahan: sahabat lama - mbak eks OJT - sobat kantor. Marathon. Tiap weekend sejak pertengahan Februari. Wira-wiri: Bekasi-Surabaya-Bekasi-Semarang-Bekasi-Blitar. Bingung kostum dan perabotan lenongnya. Bingung memutuskan menginap atau tidak. Bingung pakai moda angkutan apa. Bingung cari tiket murah. Bingung mana yang dikasih kado atau uang saja. Pura-pura amnesia tiap liat isi dompet. Lelah fisik. Kurang istirahat. Lelah batin kalau ada yang tanya: "Kapan nyusul?" Hadehhhh, tolong doakan saja yang terbaik yak hehehe...

 Tapiiiii, above all...I'm :

Happy for you, my friends! ^^

Ciyus! ^^

Jodoh emang tak dinyana. Sahabat sejak SMU: berputar melingkar mengikuti garis takdir masing-masing, untuk kemudian dipertemukan kembali dalam ikatan suci...Subhanallah ^^


Mbak Eks OJT, inget selalu khutbah nikahnye yeee. Ini perintah dari atasan, lho. Masuk penilaian kinerja! hehehe


Mantennya jaimmmm abis! Terlalu menghayati peran atau saya yang tak tahu malu yak? wkwkwk...


Januari 02, 2013

# Day 3; Melayang di Tiu Kelep

Hari ketiga di Lombok, kami lebih siap dari kemarin-kemarin. Baju ganti dan cemilan oleh-oleh tante Probolinggo sudah disiapkan dalam tas terpisah. Berbekal pengalaman beda selera lidah di hari lalu dan jarak yang akan kami tempuh hari ini, sarapan dijadwalkan satu jam lebih awal dari waktu janjian dengan pak Nursin, sang driver. Kami harus mencukupkan energi sampai dengan makan siang nanti.

Hari ini kami khususkan hanya bermain ke air terjun Singang Gila dan Tiu Kelep di Senaru, Lombok Utara. Jarak Senaru dari Mataram adalah sekitar 90 km jika memilih jalur Senggigi atau 60 km jika lewat jalur hutan Pusuk. Desa Senaru adalah salah satu entry point pendakian ke gunung Rinjani dan danau Segara Anak selain dari desa Sembalun. Mengapa saya pilih air terjun ini dan bukannya beberapa air terjun lain yang lebih dekat dengan Mataram seperti Benang Setokel atau Benang Kelambu? Alasannya sok romantis aja: karena mama pernah membacanya dalam salah satu buku panduan wisatanya. See?

Karena memilih jalur melewati hutan Pusuk, perjalanan kami diperkirakan sekitar dua setengah jam. Pemandangan jalur ini adalah kombinasi antara perbukitan dan pantai. Pohon nira dan penjual air nira mendominasi pemandangan menuju ke hutan Pusuk. Melewati Pusuk pass, sepanjang jalan di hutan, banyak monyet liar tapi jinak yang bisa diajak berfoto. Cukup banyak wisatawan yang berhenti untuk berfoto. Saya memilih melewatinya demi menghindari ejekan si bungsu *hehehe*.

Lepas dari Pusuk, kami menyusuri pantai cantik bagian utara Lombok sebelum kembali mendaki perbukitan ke arah kaki gunung Rinjani. Semakin mendekati tujuan, pohon jambu monyet berbuah lebat memanggil-manggil sepanjang jalan. Keinginan berhenti dan mencicipi buahnya juga saya tahan demi menghindari lagi ejekan si bungsu *hehehe*.

Sebelum tengah hari kami sampai di desa Senaru. Turun dari mobil, menuju pos informasi koperasi setempat untuk nego harga guide lokal. Harga guide Rp 30.000,- per orang ke Singang Gila dan Rp 60.000,- per orang jika disambung ke Tiu Kelep. Petunjuk arah ke kedua air terjun tersebut sebenarnya cukup jelas. Hanya saja karena informasi jalur dari Singang Gila ke Tiu Kelep adalah trekking melintasi hutan, maka saya memilih menggunakan guide.

Sebelum masuk ke kawasan air terjun, kami membayar tiket masuk Rp 5.000,- per orang. Jalan ke arah air terjun pertama, Singang Gila, adalah tangga mengular turun naik menyusuri sisi bukit sejumlah kira-kira 300an lebih anak tangga. Keputusan menggunakan guide dirasa tepat karena saya, si bungsu dan guide berbagi tugas membawa tas dan bergantian membantu mama menapaki anak tangga.

Perjalanan yang normalnya ditempuh 15 menit, kami tempuh dalam waktu 30 menit. Karena kurang olah-raga dan faktor U, nafas saya ngos-ngosan mendaki ratusan anak tangga. Apalagi mama tentunya. Setiap menemui tanjakan tangga, kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Suara air dari kejauhan dan sedikit pemandangan air terjun di sela dedaunan menjadi penyemangat kami. Benar saja, ngos-ngosan itu terbayar lunas sesampainya di Singang Gila.Cantik.

Saya tidak tahu berapa meter tepatnya air terjun ini karena puncaknya tidak terlihat, tertutupi rimbun pepohonan di atasnya. Tidak terlihat tinggi karena setidaknya air melewati tiga undakan sebelum sampai di bawah. Hal ini juga yang saya rasa membuat berdiri di bawah cucurannya lebih kondusif daripada di Tiu Kelep.


Selepas beristirahat, bermain air dan foto sejenak; dengan menimbang medan yang sudah dilalui dan beratnya medan ke Tiu Kelep, kami akhirnya sepakat meninggalkan mama dan barang bawaan di Singang Gila. Mama menunggu di satu-satunya warung tenda yang ada di sana. Untungnya selain warung, tersedia fasilitas toilet, musholla dan tempat duduk untuk pengunjung. Kami tidak khawatir karena mama langsung akrab dengan ibu pemilik warung dan anak-anaknya *tepok jidat*. Berempat dengan Made, kawan baru yang ditemui di sana, kami melanjutkan perjalanan.

Setelah mulai bergerak ke Tiu Kelep, kami bersyukur meninggalkan mama di Singang Gila. Medan yang kami tempuh sekitar 45 menit sungguh tidak memungkinkan untuk mama. Saya dibuat jauh lebih ngos-ngosan. Jalan yang kami lalui melewati tangga beton tinggi dan curam yang terhubung ke jembatan irigasi berlubang dengan air yang deras tanpa pegangan yang memadai. Horor buat saya. Lalu menyusuri tepian sungai irigasi tinggalan jaman Belanda sebelum akhirnya menembus jalan setapak hutan, melompati pohon-pohon besar yang tumbang melintangi jalan, turun-naik jalanan licin dan tanah rapuh, menyeberangi sungai deras dan berbatu, turun-naik batu-batuan, sebelum akhirnya bertemu Tiu Kelep.
tinggi, curam, tanpa pegangan...horor

air mengalir deras di dalam jembatan berlubang ini...jembatan melayang setinggi 10 meter tanpa pegangan memadai

naik, turun, awas licin dan longsor
tak ada jalan setapak kecuali naik turun batu-batu

tiu kelep dibalik batu ini

Horor dan lelah yang saya rasakan terbayar lunas begitu tiba di Tiu Kelep. Dengan ketinggian 60 m dikelilingi tebing setengah lingkaran penuh pepohonan, saya tidak mungkin lagi mendekat dengan membawa kamera tidak anti air ini. Air yang konon berasal dari gunung Rinjani ini, jatuh menciptakan gerimis bahkan sebelum kita mendekatinya. Karena itulah, air terjun ini dinamakan air terbang (tiu = air, kelep = terbang).
sepotong kecil surga di bumi, yang nyaris menumpahkan air mata haru saya kalau tak ingat malu

Tak banyak wisatawan yang datang hari itu. Sepengamatan saya turis domestik hanya kami dan tiga orang Hindu yang bersembahyang di sana ketika kami datang. Selebihnya turis asing dengan guide masing-masing. Kami, kecuali guide, segera menceburkan diri di tepian air terjun. Tidak berani ke tengah karena dari guide diinformasikan ada pusaran air di tengah air terjun walaupun kedalamannya hanya sekitar 1-1.5 meter.

Saya betah di sana, perasaan saya melayang, damai. Saya bersyukur diberi-Nya kesempatan mencicipi potongan surga ini. Saya mengambil wudhu, nekad meminum air yang katanya berkhasiat awet muda, berendam tengadah menghadap langit, tafakur dan duduk diam menyerap atmosfir sekitar. Seandainya tempat itu mudah dikunjungi dari Jakarta...

Setengah jam di sana, kami segera bergegas kembali ke Singang Gila untuk menjemput mama. Perut yang mulai keroncongan sudah tidak dapat ditawar lagi. Setelah berganti pakaian, kami mencari warung seadanya. Syukurlah, di dekat pos masuk utama terdapat warung makan yang menyediakan menu sesuai lidah manis kami *hehehehe*.

Saya pengen balik lagi, suatu saat nanti. Mungkin jika jodoh, saya pengen sampai ke danau Segara Anak yang kata pak Nursin punya banyak cerita aneh dan misterius. Ngomong-ngomong soal misteri, saya teringat percakapan dengan guide sebelum kami berpisah:
"Mas, beneran di Tiu Kelep tadi ndak ada ikan yang hidup didalamnya?"
"Tidak ada, mbak..."
"Lah tapi beneran, mas...tadi saya lihat ikan"
"Ikan?"
"Iya, waktu saya mau nyemplungin kaki di tengah itu. Segede telapak tangan ini, hitam, berenang dari batu ke batu"
"Tidak ada, mbak"
"Suer, mas"
"..."
"Mas?"
"Mbak beruntung..."
"..."


Desember 31, 2012

# Day 2; Seputaran Mataram: Selatan ke Utara

Orang bijak bilang, perencanaan yang baik sama dengan menyelesaikan separuh pelaksanaan. Saya mengenal omongan bijak ini sedari dulu, tapi baru menghayatinya benar-benar selepas bakda Subuh hari kedua di Lombok. Disebabkan belum punya rencana kegiatan selama di Lombok, jadilah saya melek melototin buku panduan wisata Lombok selepas sholat sampai pukul delapan. Mama dan si Bungsu menyerahkan sepenuhnya ke saya, mereka melanjutkan tidur cantiknya...hiks.

Si Bungsu benar, pilihan main di sini kalau tidak pantai ya ke gunung. Dengan mama bersama kami, saya harus benar-benar memastikan jumlah dan tujuan kami tidak melelahkannya. Tiga diva Gili yang terkenal itu tak ingin saya sentuh, karena gathering kantor nantinya pasti akan ke sana. Saya melewatkan pura-pura dan taman air cantik karena sedang haid. Tiga jam pening, bolak-balik buku panduan sampai lecek, akhirnya saya menyerah. Tak ada gambaran sama sekali harus kemana tiga hari ini. Akhirnya saya putuskan, hari kedua kami akan keliling sekitar Mataram saja dari selatan ke utara: Museum NTB, desa tenun Sukarare, mutiara di Sekarbela, sunset di Senggigi. Pukul 7 malam, kami sudah harus kembali ke hotel untuk beristirahat. Ittinerary hari selanjutnya dipikirkan sambil jalan saja.

Selepas sarapan yang tergesa-gesa, pukul 9 kami bertemu dengan pak Nursin, driver mobil sewaan, di lobby hotel. Perkenalan dan basa basi dilanjutkan diskusi tujuan hari ini. Pak Nursin menyarankan mengubah urutan menjadi: desa Sukarare, museum, Sekarbela, Senggigi, sunset di Malimbu dengan menambahkan saran mencoret museum jika waktu tidak memungkinkan. Saya mengangguk, mama dan si bungsu pasrah saja. 

Kami beruntung mendapatkan pak Nursin sebagai driver. Sikapnya sopan dan terbuka. Empat puluh lima menit perjalanan dari Mataram ke Sukarare diisi dengan cerita-cerita dari Pak Nursin selayaknya guide handal: asal-muasal kata Lombok, sejarah singkat, persamaan bahasa setempat dengan bahasa Jawa, sedikit kelakar, gosip lokal terkini, kuliner, sampai tempat tujuan favorit dan yang tak biasa di Lombok. Setelah berdiskusi dengannya kami memutuskan untuk mengunjungi air terjun Singang Gila dan Tiu Kelep di hari ketiga dan bermain air di Gili Nanggu di hari keempat. Jadi liburan kami cukup lengkap: kota dan budaya di hari kedua, kaki gunung di hari ketiga, pantai di hari keempat. Hari pertama dan kelima: packing dan istirahat. Siiip.

Di desa Sukarare, yang mana artinya desa suka-duka, penjualan kain tenun dipusatkan pada satu koperasi milik bersama. Segala macam kain tenun tangan dipajang di toko koperasi, mulai dari berbahan benang kapas sampai benang songket warna-warni. Kebanyakan masih berupa lembaran kain atau sarung. Beberapa penenun bergiliran 'dipajang' di depan koperasi, selebihnya mengerjakan tenunannya di teras rumah masing-masing. Ada guide lokal yang bisa mengantarkan wisatawan berkeliling desa sambil berjalan kaki dengan tarif sukarela.
Menenun dgn tangan, seutas demi seutas benang, butuh konsistensi dan ketekunan
Lama waktu menenun tergantung tingkat kesulitan motif: semakin rumit semakin lama
Desa Sukarare benar-benar masih tradisional, setidaknya itu kesan kami setelah berkeliling desa di antar oleh guide lokal. Kebanyakan bangunan rumah masih berdinding anyaman tikar bambu dan beratap daun kelapa. Tidak ada pagar antar rumah selain pagar tanaman. Air bersih diperoleh dari menimba dengan ember plastik di sumur bersama dan memasak masih menggunakan kayu. Pekerjaan utama warga adalah bertani. Menenun adalah pekerjaan wanita yang turun temurun. Seorang gadis di desa ini tidak boleh menikah sebelum bisa menenun sendiri. Laki-laki dilarang menenun karena dipercaya tidak akan mempunyai keturunan. Sampai suatu saat akhirnya lelaki diijinkan menenun hanya untuk motif tertentu.
motif subahnale, dari kata Subhanallah...motif paling rumit, adi karya desa ini...cuantik
Selepas desa Sukarare, kami menghapus tujuan museum dan bergegas menuju ke Sekarbela untuk berburu mutiara. Sebelum sampai di tujuan, di tengah jalan mampir-mampir ke toko-toko mutiara sekitar Cakranegara, Mataram, sebelum berakhir di satu toko yang sangat direkomendasikan oleh driver kami. Tempatnya memang sungguh meyakinkan, begitu juga dengan mutiara yang dijual: laut, payau, tawar. Kami hanya sempat melihat saja tanpa membeli karena keder dengan bandrol harganya. Kami memang tak cocok dengan mutiara *nyengir, menghibur diri*.

Untuk makan siang saya sedikit memaksa mencari nasi balap Puyung yang awalnya kondang di kalangan orang-orang yang akan menyeberang dengan kapal di pelabuhan. Dari bahasa tubuh sebenarnya pak Nursin tidak merekomendasikan, tapi saya ngotot untuk obat penasaran. Nasi ditaburi gorengan kedelai, ayam goreng suwir dan ayam suwir pedas itu tergolong pedas dan asin untuk lidah saya yang cenderung manis ini. Tapi kekecewaan saya sedikit terobati dengan pemandangan 'adem' si keriting penjual nasi; makhluk bening pertama yang saya temukan sejak menginjak kaki di Lombok *heheheheh, tetep*.
disebut nasi balap krn penjualnya balapan dengan pembeli yang naik kapal, Puyung karena penjualnya kebanyakan dari daerah tersebut
Siang menjelang sore kami sampai di Senggigi, yang menurut saya mirip-mirip Kuta-Bali hanya lebih hijau sedikit. Pantainya panjang, ada yang berpasir putih, ada yang hitam, sepi dan sedang surut. Tak banyak yang berenang atau bermain air, hanya beberapa turis asing yang asyik berjemur di bagian pantai milik hotel atau resort. Kata Pak Nursin, jika kami tiba seminggu sebelumnya, tepat pada hari raya ketupat, bisa dipastikan kami akan susah bergerak di antara lautan manusia. 

Kami lama menghabiskan waktu di sini sambil menunggu matahari setengah terbenam. Duduk di atas tikar sewaan, minum kelapa muda, ngobrol ngalor ngidul, sebelum akhirnya beranjak mengejar sunset di bukit Malimbu sambil harap-harap cemas karena mendung yang menggantung di sekitar Senggigi.

Setengah jam, waktu yang diperlukan untuk mencapai bukit Malimbu dari Senggigi. Bukit ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Hanya sebuah tikungan lebar pada sebuah tanjakan bukit cukup tinggi dengan pagar besi dibangun menyusuri tepiannya. Tangga dua berundak dibangun mengikuti pagar, yang difungsikan juga untuk tempat duduk-duduk sembari menunggu matahari terbenam. Yang istimewa adalah panorama ke arah lautan yang disuguhkannya. Dari puncak tikungan itu, sebelah kanan gugusan tiga diva Gili yang tersohor, sebelah kiri berkelok-kelok garis pantai yang menyambung ke Senggigi, sedangkan tepat di depannya jika beruntung kita bisa menyaksikan matahari terbenam di balik gunung Agung nun jauh di Bali.  

Setelah menunggu setengah jam, ngobrol lagi ngalor ngidul sembari duduk-duduk di tangga tepi pagar, menggoda monyet jinak yang banyak berkeliaran di tebing di bawah pagar, harap-harap cemas menatap gulungan awan hitam di atas gunung Agung, akhirnya kami beruntung sempat menyaksikan sedikit saat-saat matahari tenggelam perlahan di balik gunung Agung.


Sebelum matahari benar-benar tenggelam di balik gunung Agung, kami meluncur turun ke arah kota Mataram, kembali ke hotel. Wira-wiri dari selatan ke utara hari ini cukup melelahkan fisik. Harus memulihkan tenaga sebelum besok kami akan menempuh perjalanan cukup jauh ke arah kaki gunung Rinjani. Dalam perjalanan pulang, pak Nursin sempat bercerita:

"Mbak, yang ngasih nama Malimbu itu bule lho"
"Heh? Kok bisa bule, pak? Apa karena dia yang punya bukit itu?"
"Bukan, asli turis asing yang main ke situ. Dia kan belajar bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Jadi pas waktu ke situ, ada ibu-ibu tua penduduk setempat yang jualan kelapa muda. Selesai liat sunset, dia pamit ke ibu-ibu itu: Bu, malim Bu..."
"Heh?"
"Maksudnya sih: Bu, mari Bu, saya pergi dulu...tapi diucapkannya Bu, malim Bu. Si ibu nggak ngerti maksud si bule, cerita dia ke orang desanya...jadilah bukit itu sekarang bukit Malimbu"
"heh? beneran pak?"
"hehehehehe"

Saya tak tahu kebenaran cerita itu karena pak Nursin hanya ketawa-ketawa saja ketika ditanya tentang kebenarannya. Kalau ada yang penasaran, sok silahkan cari si ibu tersebut untuk kebenarannya...ntar saya dikabari, ya *hehehehe*.

Oktober 07, 2012

# Day 1; Welcome to Gumi Sasak

Sebagian orang menyebutnya, Gumi (Bumi) Selaparang, merujuk salah satu kerajaan besar yang pernah berjaya di tanah itu. Saya lebih suka menyebutnya Gumi Sasak, merujuk mayoritas suku yang mendiami kepulauan itu: Lombok. Pulau Lombok sebenarnya tidak ada kaitannya dengan 'lombok' atau cabe dalam bahasa Jawa. Lombok, seperti kata driver kami-Pak Nursin, berasal dari kata 'lomboq' yang dalam bahasa Sasak berarti: lurus. Entah lurus terkait dengan 'jalan lurus' karena Lombok juga terkenal sebagai pulau seribu masjid, atau untuk mengenang perjalanan panjang pengungsian sebagian rakyat kerajaan Mataram yang berakhir di pulau ini. 
...

Pukul 13.35 WITA. Panas dan gersang, itu kesan pertama saya begitu menginjak gumi ini di bandara Praya. Saya yang terbiasa dengan panas gerahnya pinggir pantai Gresik dan Bekasi Utara, tentu saja tak berdampak signifikan. Tapi si bungsu dan mama yang pada dasarnya jenis mahkluk penghuni daerah relatif sejuk macam Malang dan Cibinong, jelas tersiksa. Tak ada sisa-sisa cengengesan dan cekikikan mereka ketika merespon guncangan angin nan aduhai di atas pesawat. Respon yang sungguh campuran antara kuatir, takut dan berusaha sok berani, mengingat kami berada di bangku terakhir pesawat Wings Air flight JT 1866 berkapasitas kursi 80 penumpang dari Surabaya - Lombok. Pesawat 'imut' yang sempat membuat kami melongo, kucek-kucek mata, saling pandang dan lalu ngikik pasrah sambil banyak berdoa semoga selamat sampai tujuan.

di dalam pesawat, diguncang angin...masih bisa cengengesan

setelah turun dari pesawat, mringis tiada henti...panasss  hehehe

Kepanasan juga yang membuat kami melupakan foto-foto narsis di dalam bandara yang terhitung masih baru ini. Setelah buru-buru turun dari pesawat ke arah gedung bandara dan selepas mampir ke toilet; sambil menunggu bagasi turun, kami cuma bengong menyaksikan rombongan yang asyik jeprat-jepret di papan besar ucapan selamat datang di Lombok. Kesalahan pertama.

Kesalahan kedua terkait dengan taksi. Berdasarkan informasi dari hasil surfing di internet dan bacaan terkait wisata di Lombok, saya diyakinkan bahwa taksi Blue Bird tersedia tak jauh dari bandara: keluar gedung,  jalan sekitar 100 meteran ke arah gerbang luar, dan sampailah anda di pangkalan nongkrong taksi tersebut. Ya, saya memang pelanggan sangat setia merek taksi tersebut. Jadi, tentu saja dengan pede saya tak memesan karcis resmi taksi bandara yang notabene dekat tempat pengambilan bagasi. Hasil konfirmasi ke mbak petugas bandara pun menyakinkan pula. Dengan logat yang masih terasa asing di telinga, dia menunjuk ke arah pintu keluar bandara. Sip.

Urusan bagasi beres, berdua dengan si bungsu, saya keluar bandara sambil mendorong troli berat berisi 2 koper sedang, 1 backpack ukuran besar dan 2 kardus makanan oleh-oleh dari tante Probolinggo yang terpaksa wajib dibawa. Antri di belakang rombongan lain yang rata-rata sudah dijemput kendaraan, sampailah kami di depan bandara. Setelah melewati antrian taksi resmi bandara, kami celingukan mencari jalan ke arah gerbang luar. Saya bengong. Sejauh mata memandang, jalanan keluar bandara berliku-liku, dan tak ada tanda keberadaan gerbang masuk. Dan tentu saja tak ada tanda-tanda keberadaan taksi biru itu. Konfirmasi ke petugas taksi resmi, saya mendapatkan jawaban bahwa tak ada pangkalan taksi yang saya maksud. Taksi resmi bandara tiketnya hanya dapat diperoleh dari area dalam bandara. Saya langsung tepok jidat! 

Sebenarnya tersedia bis Damri ke Mataram; tapi mengingat banyaknya bawaan dan di pemberhentian terakhir pun saya masih harus mencari taksi ke hotel yang sudah dibooking, opsi bis jelas tidak saya pilih. Akhirnya, dengan meninggalkan si bungsu dan mama yang lagi-lagi mringis kepanasan dan gerah; saya masuk lagi ke dalam bandara: jalan berputar ke arah pintu keberangkatan, melewati pemeriksaan petugas tiket depan, pemeriksaan x-ray, jalan melewati antrian check-in, balik ke arah kedatangan penumpang di samping area pengambilan bagasi, hanya untuk beli tiket taksi! Sesuatu sekali kan, ya...

Empat puluh lima menit perjalanan ke Mataram kami jalani dalam diam. Panas dan gerah menyurutkan semangat si bungsu dan mama. Lima menit setelah keluar dari gerbang bandara yang ternyata jauh dari gedungnya, saya jatuh tertidur di kursi depan. Kemungkinan besar dipengaruhi efek sejuk dari keringat yang mendingin terkena semburan dingin AC selepas ngos-ngosan jalan kesana-kemari. Walhasil, niat awal jepret-jepret sepanjang jalan pun terlewatkan. 

Setelah terkaget-kaget dengan 'ukuran' pesawat dan urusan taksi yang tidak sesuai ekspektasi, saya agak kuatir dengan hotel yang telah saya pesan. Hotel Lombok Garden yang saya pesan terhitung hotel lama yang katanya sebagian sudah direnovasi. Mengingat kami maunya sekamar bertiga, maka saya memilih kamar bungalow yang menghadap taman. Saya kuatir, bungalow yang saya pesan termasuk dalam bagian yang belum direnovasi sehingga mengurangi kenyamanan mama. 

Untunglah kekuatiran itu tidak terbukti. Bungalow kami sangat nyaman walaupun memang terlihat belum mengalami renovasi seperti bagian hotel yang di depan kolam renang: luas (bahkan masih sangat longar setelah diisi 1 bed ukuran king size, 1 ekstra bed, 1 set sofa dan 3 lemari ekstra besar), kulkas kecil, fasilitas buat-minumanmu-sendiri, hair dryer, bath-up air panas-dingin, TV kabel ukuran besar, dan terdapat teras kecil di luar. Ada plusnya pula: gazebo tepat di depan bungalow. Intinya, saya tidak sayang membayar harga Rp 550.000,- per hari.

Selepas Ashar, walaupun masih lelah dan mengantuk karena perjalanan Probolinggo-Surabaya-Lombok, saya dan mama memutuskan menengok kolam renang hotel dan mencari letak restaurant tempat sarapan esok hari sembari menagih welcome drink. Saya juga harus mencari sewa mobil untuk tiga hari ke depan. Saat berjalan-jalan itulah kami tahu bahwa hotel Lombok Garden itu terhubung dengan hotel Lombok Raya, yang berarti akses ke Mall Mataram sangatlah dekat. Jadi, begitulah. Jauh-jauh ke luar Jawa pun, akhirnya mencari Mall juga; karena oh karena kami harus membeli keperluan harian mama: susu anlene kotak siap minum dan buah-buahan. Whew...

kamar depan kolam renang idaman, sayangnya tidak boleh ekstra bed
   
wajah tamu hotel yang ogah rugi: nagih welcome drink walau ngantuk dan lelah

Hari pertama di Lombok kami lewati dengan tidur lebih awal. Besoknya harus bangun pagi-pagi sekali karena walaupun mobil sewaan akhirnya didapatkan dengan susah payah dan penuh keberuntungan, kami harus menyusun jadwal tujuan jalan-jalan tiga hari ke depan. What? Hhehe, ya begitulah...sembari menanti dijemput driver sewaan pada pukul 9 pagi keesokan hari, kami tidur dengan nyenyak tanpa tahu tujuan liburan di Lombok tiga hari ke depan. Heeeee...
Half Purple and Blue Butterfly