……
Sesungguhnya tak pernah sang kekasih
mencari tanpa dicari kekasihnya.
Apabila kilatan cinta telah menyambar hati yang ini,
Ketahuilah ada cinta dalam hati yang lain.
Apabila cinta Allah bertambah besar di dalam hatimu,
Pastilah Allah menaruh cinta atasmu.
Tak ada bunyi tepuk tangan hanya dengan satu tangan,
tanpa tangan yang lain.
Kebesaran Illahi adalah takdir dan ketetapan yang membuat
kita cinta satu sama lain.
Karena takdir itu, setiap bagian dunia ini
Dipertemukan dengan jodohnya.
……
(Jalaludin Rumi)
(sepotong kidung Rumi yang kutemukan di lembaran undangan nikah temanku. semoga mampu menghadirkan kembali senyum di wajah para kekasih yang sedang menanti belahan jiwanya. )
perubahan itu pasti | berubah itu pilihan | pastikan pilihan, genapkan lingkaran | live the life to the fullest |
Juli 08, 2005
Juli 02, 2005
AKU MENANGIS
.. .. .. ..
"Te, ganti channel dong"
"lho, lapo? Iki berita, Rin..."
"Aku giris, Te. Sakno lho..."
"Walah, gak opo-opo. Ngene ae lho..."
.. .. .. ..
Penggalan percakapan di depan TV antara aku dan Rini. Berita di TV sedang menayangkan kecelakaan KA di Pasar Minggu. Kereta yang ringsek, kerumunan manusia, hujan deras, evakuasi korban, ceceran darah, serpihan daging....Air mata menitik di sudut mataku. Segera kuusap sebelum Rini menyadarinya. Maaf ya, Rin....
Mendadak aku terkenang sepenggal percakapan dengan teman kuliahku, Harry:
.. .. .. ..
"Ron, kau pernah nangis gak?"
"Aneh koen iku. Ya pernah lah..."
"Aku gak percoyo. Model koyo kamu nangis?"
"Sekarepmu. Sing jelas kalo aku nangis gak bakalan di depan orang lain. Opo maneh kamu, wek"
"Ya itu maksudku. Aku pengen liat kamu nangis..."
"Opo? Keep dreaming for the rest of your life..."
"Huahahahahahhaha...."
.. .. .. ..
Dan kata-kataku terbukti sampai kami lulus dan berpisah karena pekerjaan yang berbeda. Aku tak pernah menangis didepannya atau temanku yang lain.
Aku bisa menangis. Bahkan sering sekali. Seperti ini....
Aku menangis setiap kali papa dan mama marah kepadaku untuk kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja kulakukan.
Aku menangis ketika menjawab 'tidak' di depan Indra ketika seorang teman di SMP bertanya apakah aku menyukai Indra? Aku telah berjanji pada papa. Lagipula Rima, sahabat SMP-ku, masih menginginkan Indra kembali padanya.
Aku menangis ketika De bertekad pindah kelas dan lebih memilih jurusan sosial daripada di jurusan fisika bersamaku. Dunia mengelam dan semangatku menguap.
Aku menangis ketika papa marah padaku karena gelar juara itu tidak dapat kupertahankan di kelas 2 Fisika. Alasanku: teman-teman yang lain lebih pintar.
Aku menangis ketika harus berjuang sendiri melawan rasa rendah diri ketika harus mewakili sekolahku untuk mengikuti The First World Community Development Camp. Saingannya banyak, senior-senior dan jago-jago pramuka.
"Te, ganti channel dong"
"lho, lapo? Iki berita, Rin..."
"Aku giris, Te. Sakno lho..."
"Walah, gak opo-opo. Ngene ae lho..."
.. .. .. ..
Penggalan percakapan di depan TV antara aku dan Rini. Berita di TV sedang menayangkan kecelakaan KA di Pasar Minggu. Kereta yang ringsek, kerumunan manusia, hujan deras, evakuasi korban, ceceran darah, serpihan daging....Air mata menitik di sudut mataku. Segera kuusap sebelum Rini menyadarinya. Maaf ya, Rin....
Mendadak aku terkenang sepenggal percakapan dengan teman kuliahku, Harry:
.. .. .. ..
"Ron, kau pernah nangis gak?"
"Aneh koen iku. Ya pernah lah..."
"Aku gak percoyo. Model koyo kamu nangis?"
"Sekarepmu. Sing jelas kalo aku nangis gak bakalan di depan orang lain. Opo maneh kamu, wek"
"Ya itu maksudku. Aku pengen liat kamu nangis..."
"Opo? Keep dreaming for the rest of your life..."
"Huahahahahahhaha...."
.. .. .. ..
Dan kata-kataku terbukti sampai kami lulus dan berpisah karena pekerjaan yang berbeda. Aku tak pernah menangis didepannya atau temanku yang lain.
Aku bisa menangis. Bahkan sering sekali. Seperti ini....
Aku menangis setiap kali papa dan mama marah kepadaku untuk kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja kulakukan.
Aku menangis ketika menjawab 'tidak' di depan Indra ketika seorang teman di SMP bertanya apakah aku menyukai Indra? Aku telah berjanji pada papa. Lagipula Rima, sahabat SMP-ku, masih menginginkan Indra kembali padanya.
Aku menangis ketika De bertekad pindah kelas dan lebih memilih jurusan sosial daripada di jurusan fisika bersamaku. Dunia mengelam dan semangatku menguap.
Aku menangis ketika papa marah padaku karena gelar juara itu tidak dapat kupertahankan di kelas 2 Fisika. Alasanku: teman-teman yang lain lebih pintar.
Aku menangis ketika harus berjuang sendiri melawan rasa rendah diri ketika harus mewakili sekolahku untuk mengikuti The First World Community Development Camp. Saingannya banyak, senior-senior dan jago-jago pramuka.
Aku menangis ketika papa meninggal. Bahkan sampai sekarang pun ketika aku mengunjungi makamnya. Atau ketika aku teringat betapa inginnya aku mengatakan kalimat ini: Pa, Rona sayang papa.
Aku menangis setiap kali membaca surat tulisan tangan terakhir dari papa yang sedang belajar di Lyon.
Aku menangis ketika di suatu semester IPK-ku mencapai 3.8 dan papa tidak bisa melihatnya.
Aku menangis setiap kali mama atau adik-adikku bersedih.
Aku menangis ketika nenekku meninggal dan aku belum sempat memenuhi janjiku mengantar beliau berkeliling ke saudara-saudaranya.
Aku menangis ketika tugas telaahan stafku harus diulang dua kali karena aku tidak sependapat dan sedikit antipati pada salah satu bosku.
Aku menangis pada suatu malam ketika aku harus merelakan yang-tidak-boleh-disebut-namanya pergi dan memutuskan semua jalan untuk kembali demi kebaikan semua orang.
Aku menangis menyaksikan dan mengingat saudara-saudaraku teraniaya nun jauh di Bosnia, India, Palestina, Pakistan, belahan bumi manapun.
Aku menangis ketika tsunami menggulung saudara-saudaraku di Aceh dan aku hanya bisa berdoa.
Aku juga bisa menangis seperti ini:
Ketika sahabatku berduka dan menitikkan air mata didepanku.
Ketika sahabatku bahagia dan membaginya denganku.
Ketika kulihat penderitaan mereka yang kurang beruntung di jalanan. Dan akan semakin menyayat hati jika kutemui sosok tua di sana. Aku teringat mama dan nenekku.
Ketika aku makan enak dan bertanya-tanya apakah tetangga dan saudara-saudaraku bisa makan enak seperti aku.
Ketika aku nonton film Kuch-Kuch Hotta Hai dan segala macam film romantis lainnya. Termasuk kartun sekalipun.
Ketika aku membaca buku roman yang kisahnya menyayat hati.
Ketika aku menghadiri akad nikah saudara, teman atau sahabatku. Aku selalu bisa menangis ketika pengantin putri mencium tangan pengantin putra.
Ketika hatiku tiba-tiba dipenuhi rasa syukur atas semua hikmah dan nikmat-Nya. Pun ketika aku mengingat semua dosa dan kesalahan yang pernah kulakukan kepada-Nya atau orang-orang disekitarku.
Aku bisa menangis. Walaupun semua tangisan itu tanpa suara, sedu sedan atau air mata.
Tangisku yang bersuara dan berderai kutumpahkan dalam kesendirian. Dulu, selalu ada ruang yang kukunci atau pengasingan ke tempat jauh, sendiri. Sekarang, semuanya kutumpahkan dalam sujud-sujud panjangku pada-Nya. Mengapa? Karena aku tidak ingin dikasihani. Karena aku tidak ingin merepotkan orang lain dengan keluh-kesahku.
Jadi, ketika seorang teman yang baru kukenal mengatakan padaku bahwa aku pura-pura kuat padahal sesungguhnya aku lemah..............AKU MENANGIS.
Tangis kali ini pun tanpa suara, sedu-sedan atau air mata.
(Aku tak tahu cara berbagi tangis, sobat)
Juni 30, 2005
DI PERSIMPANGAN JALAN
Apa yang terbayang di benak kita jika disodorkan kata ‘trafficking’? Persimpangan jalan, traffic light, wajah lusuh nan dekil dari bayi, anak-anak, perempuan, kemiskinan, yang kadang kala berujung ke tindakan ‘kekerasan’ mulai dari eksploitasi air mata, pemaksaan, pemerasan, penodongan, de el el. Yang lain?
Buatku trafficking adalah spanduk besar di pinggir jalanan dan Dewi Hughes. Mengapa begitu? Karena pertama kukenal kata itu dari spanduk di jalan yang ternyata di-duta besar-i oleh Dewi Hughes. Sepengetahuanku trafficking dalam bahasa Dewi berkaitan dengan eksploitasi perempuan dan anak-anak di jalanan oleh pihak-pihak tertentu yang ujung-ujungnya adalah uang. Ada hukuman pidana bagi pelakunya.
Aku mungkin tak cukup pintar untuk memberi definisi pada istilah-istilah yang menurutku hanya berarti satu: cermin kemiskinan. Entah ia berupa trafficking, anak jalanan, gelandangan, premanisme atau apalah. Mengapa begitu? Karena buatku semua itu sama saja: duitku gak cukup buat makan, baju dan tempat berteduh.
Cermin ini kujumpai setiap hari di jalanan dalam bentuk bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua. Lengkap. Kadang cermin ini mengamen (betulan atau sekedar ngomong gak jelas), meminta-minta (sekedar menyorongkan tangan atau sambil menghiba), berpuisi, berjualan, bahkan mencopet. Kutemui mereka dalam bus, angkot, taksi, atau mobil kawan yang kutumpangi. Mereka lebih sering lagi berhadapan denganku karena aku pengguna setia kendaraan umum.
Pada awalnya aku selalu iba. Kubayangkan saja jika aku lapar, tak punya uang dan tak ada makanan untuk di makan. Jadi ringan saja aku pindahkan recehan ke tangan mereka. Kutambah dengan bonus senyuman karena aku ingat Allah memerintahkan kita memberi dengan cara sebaik-baiknya. Karena rutin setiap hari akhirnya ini menjadi kebiasaan. Tak ada lagi rasa iba atau kasihan. Semuanya menjadi otomatis. Kalau kau minta, kuberi. Kalau tidak, ya sudah.
Suatu pagi dalam perjalanan ke kantor, di persimpangan Siola, aku membaca tulisan di sebuah spanduk. Tentang trafficking. Sangat menyolok karena kutipan hukuman pidana yang mengancam. Pada awalnya aku tidak terlalu memikirkannya karena buatku itu hanya slogan-slogan ‘omdo’ yang seringkali dipampang di pinggir jalan.
Sampai beberapa minggu kemudian kusadari cermin-cermin ini tak ada lagi di jalanan. Kalaupun ada, selalu pada sore atau malam hari dan jarang sekali. Aku teringat pada spanduk itu. Adakah hubungannya? Mulailah aku mencari informasi tentang trafficking.
Sedikit informasi kudapat dari koran, majalah, berita TV atau di infotainment. Dari infotainment aku tahu bahwa Dewi Hughes diangkat menjadi dutanya (entah oleh siapa, aku lupa). Kutangkapjuga maksud dibalik ancaman pidana terhadap pelaku trafficking. Cita-citanya memang baik. Supaya tidak ada lagi eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak. Juga anjuran agar kita tidak memberi uang kepada mereka agar mereka tahu bahwa tidak ada uang di jalanan.
Kukunyah-kunyah informasi ini diotakku dan kuamini karena secara logika menurutku memang benar adanya. Akhirnya, tak ada lagi recehan yang kusebar dijalanan ketika beberapa saat kemudian jalanan mulai marak dengan kehadiran mereka. Kucoba mengabaikan segala macam usaha persuasi mulai dari suara memelas, menghiba atau mimik wajah menggenaskan dalam rangka meneguhkan niatku mensukseskan cita-cita anti trafficking. Dan usahaku sukses walau di dasar hati aku merasa ada yang kurang sreg.
Sampai kemudian milis moslem di kantorku ramai membahas tentang kemiskinan. Beberapa tulisan dan tanggapan hilir mudik di sana. Mulai dari yang halus sampai keras, yang ditulis dengan huruf kecil sampai huruf capital semua. Dan ada satu tulisan yang menarik hatiku. Dikutip dari tulisan seorang Muhammad Rosyid Supriyanto yang dipublikasikan entah di mana. Kucetak dan kubaca dalam perjalanan pulang di angkot. Judulnya: Solusi Islam atas Kemiskinan.
Aku mendapat gambaran ringkas yang lebih utuh tentang bagaimana Islam memandang kemiskinan. Betapa Allah telah mengatur dengan lengkap dan menyeluruh dalam syariat Islam bagaimana mengatasinya. Betapa beberapa teori ekonomi yang kupelajari di bangku kuliahan dibantah dalam Islam. Subhanallah.
Aku tertegun sendiri dan bertanya-tanya adakah yang kulakukan pada mereka yang kurang beruntung sudah benar adanya? Sudah sesuai syariat? Astaghfirullah…ternyata masih jauh dan banyak salahnya. Aku membayangkan seandainya saja solusi Islam dijalankan mungkin aku tak perlu lagi mengumpulkan recehan dan menyebarnya di jalanan karena tidak akan ada lagi cermin-cermin kemiskinan di sana.
Tapi apa dayaku. Kita terkungkung dalam sistem kapitalis. Undang-undang anti trafficking memang sebuah usaha tapi tidak menyeluruh. Hanya akan jadi slogan ‘omdo’ karena akar penyebab masalahnya belum dapat ditangani. Lalu?...
Tiba-tiba aku teringat pada temanku, Pak Muchtar. Suatu ketika aku pernah nebeng mobil beliau (waktu aku masih teguh anti trafficking). Sepanjang jalan dengan sabar dibagikannya recehan kepada mereka semua yang meminta dengan santun. Ketika kuajukan pertanyaan kepadanya: Mengapa? Dijawabnya dengan senyuman: Supaya saya selalu ingat untuk bersyukur kepada-Nya bahwa saya masih diberi kenikmatan untuk memberi.
Allah, ya rabb, ampuni aku. Apalah artinya segala teori dan logika jika aku kelaparan. Karena ketika perutku lapar, aku pasti akan mencari makanan. Jika tak ada makanan, aku harus membelinya. Jika tak ada uang, aku harus menahan laparku dan berusaha mencari uang. Tapi jika usaha tak menghasilkan uang, salahkah aku jika memintanya? Demi perutku yang melilit, sekarang.
Cermin itu berada di antara kita. Ditunjukkannya wajah kemiskinan agar kita berkaca kepadanya. Sekarang dan besok mungkin akan semakin banyak kita jumpai. Bagaimana harus bersikap jika sistim yang ada tak mampu mengatasi. Apa yang dapat kita lakukan untuk meringankannya. Aku teringat kata-kata Aa Gym: mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri dan mulai dari sekarang.
(Betapa banyak yang dapat kurenungkan dalam perjalanan di angkot antara Pasar Turi–Karangmenjangan jika aku tidak tertidur kelelahan)
Buatku trafficking adalah spanduk besar di pinggir jalanan dan Dewi Hughes. Mengapa begitu? Karena pertama kukenal kata itu dari spanduk di jalan yang ternyata di-duta besar-i oleh Dewi Hughes. Sepengetahuanku trafficking dalam bahasa Dewi berkaitan dengan eksploitasi perempuan dan anak-anak di jalanan oleh pihak-pihak tertentu yang ujung-ujungnya adalah uang. Ada hukuman pidana bagi pelakunya.
Aku mungkin tak cukup pintar untuk memberi definisi pada istilah-istilah yang menurutku hanya berarti satu: cermin kemiskinan. Entah ia berupa trafficking, anak jalanan, gelandangan, premanisme atau apalah. Mengapa begitu? Karena buatku semua itu sama saja: duitku gak cukup buat makan, baju dan tempat berteduh.
Cermin ini kujumpai setiap hari di jalanan dalam bentuk bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua. Lengkap. Kadang cermin ini mengamen (betulan atau sekedar ngomong gak jelas), meminta-minta (sekedar menyorongkan tangan atau sambil menghiba), berpuisi, berjualan, bahkan mencopet. Kutemui mereka dalam bus, angkot, taksi, atau mobil kawan yang kutumpangi. Mereka lebih sering lagi berhadapan denganku karena aku pengguna setia kendaraan umum.
Pada awalnya aku selalu iba. Kubayangkan saja jika aku lapar, tak punya uang dan tak ada makanan untuk di makan. Jadi ringan saja aku pindahkan recehan ke tangan mereka. Kutambah dengan bonus senyuman karena aku ingat Allah memerintahkan kita memberi dengan cara sebaik-baiknya. Karena rutin setiap hari akhirnya ini menjadi kebiasaan. Tak ada lagi rasa iba atau kasihan. Semuanya menjadi otomatis. Kalau kau minta, kuberi. Kalau tidak, ya sudah.
Suatu pagi dalam perjalanan ke kantor, di persimpangan Siola, aku membaca tulisan di sebuah spanduk. Tentang trafficking. Sangat menyolok karena kutipan hukuman pidana yang mengancam. Pada awalnya aku tidak terlalu memikirkannya karena buatku itu hanya slogan-slogan ‘omdo’ yang seringkali dipampang di pinggir jalan.
Sampai beberapa minggu kemudian kusadari cermin-cermin ini tak ada lagi di jalanan. Kalaupun ada, selalu pada sore atau malam hari dan jarang sekali. Aku teringat pada spanduk itu. Adakah hubungannya? Mulailah aku mencari informasi tentang trafficking.
Sedikit informasi kudapat dari koran, majalah, berita TV atau di infotainment. Dari infotainment aku tahu bahwa Dewi Hughes diangkat menjadi dutanya (entah oleh siapa, aku lupa). Kutangkapjuga maksud dibalik ancaman pidana terhadap pelaku trafficking. Cita-citanya memang baik. Supaya tidak ada lagi eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak. Juga anjuran agar kita tidak memberi uang kepada mereka agar mereka tahu bahwa tidak ada uang di jalanan.
Kukunyah-kunyah informasi ini diotakku dan kuamini karena secara logika menurutku memang benar adanya. Akhirnya, tak ada lagi recehan yang kusebar dijalanan ketika beberapa saat kemudian jalanan mulai marak dengan kehadiran mereka. Kucoba mengabaikan segala macam usaha persuasi mulai dari suara memelas, menghiba atau mimik wajah menggenaskan dalam rangka meneguhkan niatku mensukseskan cita-cita anti trafficking. Dan usahaku sukses walau di dasar hati aku merasa ada yang kurang sreg.
Sampai kemudian milis moslem di kantorku ramai membahas tentang kemiskinan. Beberapa tulisan dan tanggapan hilir mudik di sana. Mulai dari yang halus sampai keras, yang ditulis dengan huruf kecil sampai huruf capital semua. Dan ada satu tulisan yang menarik hatiku. Dikutip dari tulisan seorang Muhammad Rosyid Supriyanto yang dipublikasikan entah di mana. Kucetak dan kubaca dalam perjalanan pulang di angkot. Judulnya: Solusi Islam atas Kemiskinan.
Aku mendapat gambaran ringkas yang lebih utuh tentang bagaimana Islam memandang kemiskinan. Betapa Allah telah mengatur dengan lengkap dan menyeluruh dalam syariat Islam bagaimana mengatasinya. Betapa beberapa teori ekonomi yang kupelajari di bangku kuliahan dibantah dalam Islam. Subhanallah.
Aku tertegun sendiri dan bertanya-tanya adakah yang kulakukan pada mereka yang kurang beruntung sudah benar adanya? Sudah sesuai syariat? Astaghfirullah…ternyata masih jauh dan banyak salahnya. Aku membayangkan seandainya saja solusi Islam dijalankan mungkin aku tak perlu lagi mengumpulkan recehan dan menyebarnya di jalanan karena tidak akan ada lagi cermin-cermin kemiskinan di sana.
Tapi apa dayaku. Kita terkungkung dalam sistem kapitalis. Undang-undang anti trafficking memang sebuah usaha tapi tidak menyeluruh. Hanya akan jadi slogan ‘omdo’ karena akar penyebab masalahnya belum dapat ditangani. Lalu?...
Tiba-tiba aku teringat pada temanku, Pak Muchtar. Suatu ketika aku pernah nebeng mobil beliau (waktu aku masih teguh anti trafficking). Sepanjang jalan dengan sabar dibagikannya recehan kepada mereka semua yang meminta dengan santun. Ketika kuajukan pertanyaan kepadanya: Mengapa? Dijawabnya dengan senyuman: Supaya saya selalu ingat untuk bersyukur kepada-Nya bahwa saya masih diberi kenikmatan untuk memberi.
Allah, ya rabb, ampuni aku. Apalah artinya segala teori dan logika jika aku kelaparan. Karena ketika perutku lapar, aku pasti akan mencari makanan. Jika tak ada makanan, aku harus membelinya. Jika tak ada uang, aku harus menahan laparku dan berusaha mencari uang. Tapi jika usaha tak menghasilkan uang, salahkah aku jika memintanya? Demi perutku yang melilit, sekarang.
Cermin itu berada di antara kita. Ditunjukkannya wajah kemiskinan agar kita berkaca kepadanya. Sekarang dan besok mungkin akan semakin banyak kita jumpai. Bagaimana harus bersikap jika sistim yang ada tak mampu mengatasi. Apa yang dapat kita lakukan untuk meringankannya. Aku teringat kata-kata Aa Gym: mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri dan mulai dari sekarang.
(Betapa banyak yang dapat kurenungkan dalam perjalanan di angkot antara Pasar Turi–Karangmenjangan jika aku tidak tertidur kelelahan)
Juni 17, 2005
PERSONALITY
Aku mengenal personality-personality-an ini lewat Dimas, teman baruku yang dikenalin Maya. Kuawali dengan email yang alot banget kukirimkan hanya karena aku gak pede, takut, minder. Mengapa begitu? Sebagian karena aku sendiri emang dasarnya begitu, sebagian lagi karena yang bersangkutan ini kukategorikan orang pinter. Gimana gak pinter, lha wong labelnya dosen dan peneliti. Walah…
Karena sama-sama gak ngerti bleger masing-masing, ya akhirnya dipakainyalah analisa personality ini.
Lewat Dimas aku baru ngerti kalau ternyata watak manusia itu bisa digolongkan secara ilmiah yaitu padu padan antara sanguinis, koleris, melankolis dan plegmatis. Awal pertama aku ditebak melankolis plegmatis. Pikirku ini makanan apa lagi. Maya yang kutanya jadi keheranan dengan pertanyaanku. Uwie juga. Ternyata, akunya yang kuper. Lha wong makanan itu ternyata best seller dari dulu je. Bude Florence yang bikin bukunya. Pantes aku nggak ngerti lha wong di gramedia letaknya di area psikologi yang secara geografis jauh dari area sastra dan bacaan ringan (baca: komik :p).
Karena penasaran, hari Sabtu aku ke gramedia TP. Janji ketemu Harry kudobel janji ketemu Ipah, kudobel lagi dengan berburu bukunya Bude itu. Akhirnya kudapat juga bukunya walau untuk itu aku mesti berantem dulu dengan Harry karena aku males dia berencana bawa-bawa mantan bosnya juga. Heh…temenku satu ini kok ya gak hapal-hapal aturan mainku…Perlu di brain washing lagi kali ya…Hmmm.
Di rumah, sambil nunggu kamar mandi penuh, mulailah kubaca. Ada testnya, ya kukerjakan. Hasilnya? Aku didakwa sanguinis melankolis. Nah lo ternyata tebakan Dimas salah. Sanguinis melankolis. Artinya? Wah, serem ternyata. Pokoknya yang sanguinis itu ekstrovert dan melankolis itu introvert. Keduanya emosional tapi berlawanan. Artinya? Bahaya sekali. Kenapa begitu? Karena dalam satu tubuh emosi naik-turun gak keruan. Terus dibilang yang begini bisa jadi karena punya pengalaman masa kecil yang penuh penolakan sehingga salah satu topeng dipakai. Aku jadi ngenes. Nasib, nasib, lha kok watakku didakwa begini ya.
Kupikir-pikir terus perpaduan itu. Apanya yang salah ya…Dimana yang salah ya…Kok ya melas diriku ini. Nah, supaya gak bingung harus ada second opinion kan…Jadi kutanya ke yang lebih tahu. Kata Dimas aku pastinya sanguinis koleris, kebalikannya dia. Artinya? Ya baguslah…Kata Bude Florence itu perpaduan yang berpotensi menjadi pemimpin. Perpaduan yang menyukai kesenangan namun bisa mencapai tujuan. Bagus…bagus…Tapi jeleknya, perpaduan ini mungkin memproduksi orang yang diantaranya jadi sok tahu, tidak sabaran, tukang monopoli percakapan. Lho, kok agak ada benarnya ya.
Lepas dari kejelekannya yang diam-diam kuamini, aku jadi seneng banget. Wah ternyata aku berpotensi jadi pemimpin. Pemimpin yang bisa bersenang-senang lagi. Siapa yang gak senang, coba. Aku langsung membayangkan duduk-duduk di kursi empuk, banyak tamu, makan-makan enak, duit banyak. Tapi cepat-cepat kuhilangkan karena terbayang aku duduknya susah karena ekstra kegendutan. Lha wong enak terus hehehehe.
Setelah itu aku nyengir sendiri. Aku ini kurang ajar kali ya. Masalah ilmiah gini kok tak bikin guyonan. Aku gak terima hasil test karena mengecewakan, trus cari second opinion yang ternyata melegakan. Jadi inget kalau baca ramalan bintang aja. Kalau jelek gak terima, kalau bagus diterima. Kok enak ya…
Akhirnya dengan semangat meluruskan niat pada umumnya dan demi keilmiahan ilmu psikologi pada khususnya, aku mulai bertekad mempelajari perwatakan ini. Pertama supaya aku gak kurang ajar cuma mau enaknya tok. Kedua supaya aku lebih mudeng ama diriku sendiri dan orang lain. Ehm…:D
Untuk memulainya, weekend besok aku harus ngubek-ngubek gramedia terutama dibagian psikologi untuk cari referensi lain. Artinya: goodbye sastra, goodbye manga, kalau gak tergoda heheheh. Tapi yang paling penting, langkah pertama aku mesti baca ulang itu bukunya Bude. Lho? Lha iya, wong kemaren bacanya scanning kok hehehe.
Jadi, tunggu aku dunia personality-personality-an. I’m coming.....
(btw, ntar selesai tak pelajari, yang mau nguji siapa ya…hmmmm)
Karena sama-sama gak ngerti bleger masing-masing, ya akhirnya dipakainyalah analisa personality ini.
Lewat Dimas aku baru ngerti kalau ternyata watak manusia itu bisa digolongkan secara ilmiah yaitu padu padan antara sanguinis, koleris, melankolis dan plegmatis. Awal pertama aku ditebak melankolis plegmatis. Pikirku ini makanan apa lagi. Maya yang kutanya jadi keheranan dengan pertanyaanku. Uwie juga. Ternyata, akunya yang kuper. Lha wong makanan itu ternyata best seller dari dulu je. Bude Florence yang bikin bukunya. Pantes aku nggak ngerti lha wong di gramedia letaknya di area psikologi yang secara geografis jauh dari area sastra dan bacaan ringan (baca: komik :p).
Karena penasaran, hari Sabtu aku ke gramedia TP. Janji ketemu Harry kudobel janji ketemu Ipah, kudobel lagi dengan berburu bukunya Bude itu. Akhirnya kudapat juga bukunya walau untuk itu aku mesti berantem dulu dengan Harry karena aku males dia berencana bawa-bawa mantan bosnya juga. Heh…temenku satu ini kok ya gak hapal-hapal aturan mainku…Perlu di brain washing lagi kali ya…Hmmm.
Di rumah, sambil nunggu kamar mandi penuh, mulailah kubaca. Ada testnya, ya kukerjakan. Hasilnya? Aku didakwa sanguinis melankolis. Nah lo ternyata tebakan Dimas salah. Sanguinis melankolis. Artinya? Wah, serem ternyata. Pokoknya yang sanguinis itu ekstrovert dan melankolis itu introvert. Keduanya emosional tapi berlawanan. Artinya? Bahaya sekali. Kenapa begitu? Karena dalam satu tubuh emosi naik-turun gak keruan. Terus dibilang yang begini bisa jadi karena punya pengalaman masa kecil yang penuh penolakan sehingga salah satu topeng dipakai. Aku jadi ngenes. Nasib, nasib, lha kok watakku didakwa begini ya.
Kupikir-pikir terus perpaduan itu. Apanya yang salah ya…Dimana yang salah ya…Kok ya melas diriku ini. Nah, supaya gak bingung harus ada second opinion kan…Jadi kutanya ke yang lebih tahu. Kata Dimas aku pastinya sanguinis koleris, kebalikannya dia. Artinya? Ya baguslah…Kata Bude Florence itu perpaduan yang berpotensi menjadi pemimpin. Perpaduan yang menyukai kesenangan namun bisa mencapai tujuan. Bagus…bagus…Tapi jeleknya, perpaduan ini mungkin memproduksi orang yang diantaranya jadi sok tahu, tidak sabaran, tukang monopoli percakapan. Lho, kok agak ada benarnya ya.
Lepas dari kejelekannya yang diam-diam kuamini, aku jadi seneng banget. Wah ternyata aku berpotensi jadi pemimpin. Pemimpin yang bisa bersenang-senang lagi. Siapa yang gak senang, coba. Aku langsung membayangkan duduk-duduk di kursi empuk, banyak tamu, makan-makan enak, duit banyak. Tapi cepat-cepat kuhilangkan karena terbayang aku duduknya susah karena ekstra kegendutan. Lha wong enak terus hehehehe.
Setelah itu aku nyengir sendiri. Aku ini kurang ajar kali ya. Masalah ilmiah gini kok tak bikin guyonan. Aku gak terima hasil test karena mengecewakan, trus cari second opinion yang ternyata melegakan. Jadi inget kalau baca ramalan bintang aja. Kalau jelek gak terima, kalau bagus diterima. Kok enak ya…
Akhirnya dengan semangat meluruskan niat pada umumnya dan demi keilmiahan ilmu psikologi pada khususnya, aku mulai bertekad mempelajari perwatakan ini. Pertama supaya aku gak kurang ajar cuma mau enaknya tok. Kedua supaya aku lebih mudeng ama diriku sendiri dan orang lain. Ehm…:D
Untuk memulainya, weekend besok aku harus ngubek-ngubek gramedia terutama dibagian psikologi untuk cari referensi lain. Artinya: goodbye sastra, goodbye manga, kalau gak tergoda heheheh. Tapi yang paling penting, langkah pertama aku mesti baca ulang itu bukunya Bude. Lho? Lha iya, wong kemaren bacanya scanning kok hehehe.
Jadi, tunggu aku dunia personality-personality-an. I’m coming.....
(btw, ntar selesai tak pelajari, yang mau nguji siapa ya…hmmmm)
Langganan:
Postingan (Atom)