Pages

Maret 05, 2015

Mutasi; Move On

Memulai menulis lagi setelah vakum cukup lama, ternyata berat juga ya. Lebih banyak bengong di depan monitor dengan jemari menempel di keyboard. Mengetik satu-dua kata untuk kemudian dihapus lagi. Rasanya itu mirip duduk terlalu lama kemudian berdiri tiba-tiba. Lutut terasa bengkak dan sakit, jalanpun tertatih-tatih. Kalo yang ini, akhir-akhir ini sering saya alami karena faktur 'U' : usia hehehe.

Siang tadi Brekele menyapa lewat BBM, menanyakan gosip kepindahan Mbak Primadona Unit Muara Tawar ke Kantor Pusat. Gaya Brekele masih tetep seperti dulu: nyebelin! Dengan pede mengkuatirkan kalau-kalau Mbak Primadona bakal kangenin si Brekele terus. Kuatir juga kalau Mbak Primadona (bakal depresi) karena nggak bisa godain Brekele lagi. Dia juga mengeluh kenapa Kantor Pusat tega memutasi temen-temen yang cakep-cakep keluar Unit Muara Tawar. Saya BBM-an sambil ngakak-ngakak terutama ketika dia keukeuh anak perempuan kedua-nya yang baru lahir pasti secakep ayahnya. Brekele memang susah dicari tandingan (nyebelin-)nya hehehe.

Saya harus mengakui bahwa saya kadang kangen si Brekele; kangen celetukan dan wajah tengilnya...terutama ketika tiba-tiba dia iseng BBM ga jelas di siang atau malam hari. Saya rasa dia juga pasti kangen saya. Saya jamin jika dikonfirmasi langsung pasti akan ditolaknya mentah-mentah hehehe. Sebenernya saya juga kangen semua temen-temen di Unit Muara Tawar. Karena itu saya menghindar menatap lama-lama foto-foto kebersamaan Kami. Dada saya suka mendadak sesak. Saya takut emosional. 

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Saya menumpuk banyak kenangan di unit kerja lama; Muara Tawar; terutama karena saya terhubung dengan teman-teman secara emosional dan personal. Saya menjadi bagian kisah hidup teman-teman sedari masih bujang sampai dengan beranak-pinak. Mengikuti segala dinamika yang membuat kami bertumbuh dan bertambah usia.

Mutasi ke Kantor Pusat di Surabaya pada September tahun lalu membawa dilema: antara sedih karena harus meninggalkan unit yang telah menempa saya selama tujuh tahun, berpisah dengan teman-teman kerja dan teman main, jauh dari Mama di Cibinong, jauh dari Trusmi Cirebon,...juga senang karena akhirnya saya kembali bekerja murni di lingkungan disiplin ilmu semasa kuliah, kembali ke Jawa Timur yang mana berarti relatif dekat dengan Lumajang kota asal suami saya.

Ya, sejak setahun lalu status saya sudah tidak single lagi. Alhamdulillah, saya sudah dipertemukan kembali dengan teman sebangku semasa SMP yang akhirnya menjadi suami. Dua hari lagi akan menjadi 1st anniversary pernikahan Kami. Sejauh ini belum ada tanda-tanda kehadiran baby, tapi Kami tetap berpikiran positif dan mensyukuri apapun yang telah diberikan-Nya. Kami menikmati hidup dan segala prosesnya. 

Ngomong-ngomong, si Naninuneno sedang memasuki usia kandungan ke 37 minggu. HPL anak pertama ini diperkirakan di akhir Maret tahun ini. Jadi, mas Mantan Sinfo saat ini sedang jadi suami siaga. Saya bayangkan kebahagiaan mereka yang sudah menunggu buah hati selama lebih dari 8 tahun ini. Ahhh, Saya jadi sedikit sedih juga karena tidak bisa mengikuti perkembangan kehamilannya...mungkin juga nggak bisa langsung melihat si putri kecil setelah dilahirkan. Hiks... Dari jauh saya doakan semoga proses melahirkan lancar dan selamat, ibu dan bayi sehat lahir batin. Aamiin.

Terlepas dari melankolisme karena kepindahan tempat kerja, saya mensyukuri dan menikmati pekerjaan di Kantor Pusat ini. Suasana kerja di subdit ini menyenangkan walaupun awalnya Saya gagap dengan pola pikir korporat karena terbiasa di unit. Teman-teman kerja baru yang sebenernya beberapa sudah kenal sejak lama, saling support meskipun berbeda tugas. Bahkan saya berkumpul lagi di lantai yang sama di bawah Direktur yang sama dengan teman-teman akuntansi satu angkatan yaitu Niken, Erni dan Dyah Maya. Kolaborasi kerja teman seangkatan beda subdit ini seharusnya komunikatif dan lancar karena kami dulu teman sekamar jaman training awal pengangkatan. Setidaknya, masing-masing sudah saling mengenal karakter satu sama lain. Sebagai orang yang merasa dulu jaman kuliah salah ambil jurusan tapi bertahan sampai lulus, saya berharap sungguh mendapat banyak ilmu baru karena ketiga teman saya itu ahli di bidang masing-masing. Aamiin. 

Eits, ternyata saya sudah menulis cukup panjang ya. Senangnya ^_^.

Hujan sudah lama berhenti di luar. Jam kerja sudah berakhir 15 menit yang lalu. Saya harus segera pulang sebelum hujan turun lagi. Kasihan kalau suami kelamaan menunggu di luar. Saya juga harus segera pulang karena ada kewajiban baru menanti: memasak. Lain kali saya ceritakan kewajiban yang rasanya jadi passion baru saya ini ^_^.

Februari 25, 2015

Tujuh Ratus Enam Belas Hari

Hari ini, terhitung tujuh ratus enam belas hari saya vakum menulis. Dua tahun lebih. Banyak hal terjadi dalam hidup saya. Blogwalking masih kadang dilakukan, hanya saja mood menulis menguap entah kemana. Semoga tulisan iseng ini menandai kembalinya mood berkicau saya hehehe. Aamiin....

Maret 11, 2013

HAPPY FOR YOU

Undangan pernikahan: sahabat lama - mbak eks OJT - sobat kantor. Marathon. Tiap weekend sejak pertengahan Februari. Wira-wiri: Bekasi-Surabaya-Bekasi-Semarang-Bekasi-Blitar. Bingung kostum dan perabotan lenongnya. Bingung memutuskan menginap atau tidak. Bingung pakai moda angkutan apa. Bingung cari tiket murah. Bingung mana yang dikasih kado atau uang saja. Pura-pura amnesia tiap liat isi dompet. Lelah fisik. Kurang istirahat. Lelah batin kalau ada yang tanya: "Kapan nyusul?" Hadehhhh, tolong doakan saja yang terbaik yak hehehe...

 Tapiiiii, above all...I'm :

Happy for you, my friends! ^^

Ciyus! ^^

Jodoh emang tak dinyana. Sahabat sejak SMU: berputar melingkar mengikuti garis takdir masing-masing, untuk kemudian dipertemukan kembali dalam ikatan suci...Subhanallah ^^


Mbak Eks OJT, inget selalu khutbah nikahnye yeee. Ini perintah dari atasan, lho. Masuk penilaian kinerja! hehehe


Mantennya jaimmmm abis! Terlalu menghayati peran atau saya yang tak tahu malu yak? wkwkwk...


Januari 02, 2013

# Day 3; Melayang di Tiu Kelep

Hari ketiga di Lombok, kami lebih siap dari kemarin-kemarin. Baju ganti dan cemilan oleh-oleh tante Probolinggo sudah disiapkan dalam tas terpisah. Berbekal pengalaman beda selera lidah di hari lalu dan jarak yang akan kami tempuh hari ini, sarapan dijadwalkan satu jam lebih awal dari waktu janjian dengan pak Nursin, sang driver. Kami harus mencukupkan energi sampai dengan makan siang nanti.

Hari ini kami khususkan hanya bermain ke air terjun Singang Gila dan Tiu Kelep di Senaru, Lombok Utara. Jarak Senaru dari Mataram adalah sekitar 90 km jika memilih jalur Senggigi atau 60 km jika lewat jalur hutan Pusuk. Desa Senaru adalah salah satu entry point pendakian ke gunung Rinjani dan danau Segara Anak selain dari desa Sembalun. Mengapa saya pilih air terjun ini dan bukannya beberapa air terjun lain yang lebih dekat dengan Mataram seperti Benang Setokel atau Benang Kelambu? Alasannya sok romantis aja: karena mama pernah membacanya dalam salah satu buku panduan wisatanya. See?

Karena memilih jalur melewati hutan Pusuk, perjalanan kami diperkirakan sekitar dua setengah jam. Pemandangan jalur ini adalah kombinasi antara perbukitan dan pantai. Pohon nira dan penjual air nira mendominasi pemandangan menuju ke hutan Pusuk. Melewati Pusuk pass, sepanjang jalan di hutan, banyak monyet liar tapi jinak yang bisa diajak berfoto. Cukup banyak wisatawan yang berhenti untuk berfoto. Saya memilih melewatinya demi menghindari ejekan si bungsu *hehehe*.

Lepas dari Pusuk, kami menyusuri pantai cantik bagian utara Lombok sebelum kembali mendaki perbukitan ke arah kaki gunung Rinjani. Semakin mendekati tujuan, pohon jambu monyet berbuah lebat memanggil-manggil sepanjang jalan. Keinginan berhenti dan mencicipi buahnya juga saya tahan demi menghindari lagi ejekan si bungsu *hehehe*.

Sebelum tengah hari kami sampai di desa Senaru. Turun dari mobil, menuju pos informasi koperasi setempat untuk nego harga guide lokal. Harga guide Rp 30.000,- per orang ke Singang Gila dan Rp 60.000,- per orang jika disambung ke Tiu Kelep. Petunjuk arah ke kedua air terjun tersebut sebenarnya cukup jelas. Hanya saja karena informasi jalur dari Singang Gila ke Tiu Kelep adalah trekking melintasi hutan, maka saya memilih menggunakan guide.

Sebelum masuk ke kawasan air terjun, kami membayar tiket masuk Rp 5.000,- per orang. Jalan ke arah air terjun pertama, Singang Gila, adalah tangga mengular turun naik menyusuri sisi bukit sejumlah kira-kira 300an lebih anak tangga. Keputusan menggunakan guide dirasa tepat karena saya, si bungsu dan guide berbagi tugas membawa tas dan bergantian membantu mama menapaki anak tangga.

Perjalanan yang normalnya ditempuh 15 menit, kami tempuh dalam waktu 30 menit. Karena kurang olah-raga dan faktor U, nafas saya ngos-ngosan mendaki ratusan anak tangga. Apalagi mama tentunya. Setiap menemui tanjakan tangga, kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Suara air dari kejauhan dan sedikit pemandangan air terjun di sela dedaunan menjadi penyemangat kami. Benar saja, ngos-ngosan itu terbayar lunas sesampainya di Singang Gila.Cantik.

Saya tidak tahu berapa meter tepatnya air terjun ini karena puncaknya tidak terlihat, tertutupi rimbun pepohonan di atasnya. Tidak terlihat tinggi karena setidaknya air melewati tiga undakan sebelum sampai di bawah. Hal ini juga yang saya rasa membuat berdiri di bawah cucurannya lebih kondusif daripada di Tiu Kelep.


Selepas beristirahat, bermain air dan foto sejenak; dengan menimbang medan yang sudah dilalui dan beratnya medan ke Tiu Kelep, kami akhirnya sepakat meninggalkan mama dan barang bawaan di Singang Gila. Mama menunggu di satu-satunya warung tenda yang ada di sana. Untungnya selain warung, tersedia fasilitas toilet, musholla dan tempat duduk untuk pengunjung. Kami tidak khawatir karena mama langsung akrab dengan ibu pemilik warung dan anak-anaknya *tepok jidat*. Berempat dengan Made, kawan baru yang ditemui di sana, kami melanjutkan perjalanan.

Setelah mulai bergerak ke Tiu Kelep, kami bersyukur meninggalkan mama di Singang Gila. Medan yang kami tempuh sekitar 45 menit sungguh tidak memungkinkan untuk mama. Saya dibuat jauh lebih ngos-ngosan. Jalan yang kami lalui melewati tangga beton tinggi dan curam yang terhubung ke jembatan irigasi berlubang dengan air yang deras tanpa pegangan yang memadai. Horor buat saya. Lalu menyusuri tepian sungai irigasi tinggalan jaman Belanda sebelum akhirnya menembus jalan setapak hutan, melompati pohon-pohon besar yang tumbang melintangi jalan, turun-naik jalanan licin dan tanah rapuh, menyeberangi sungai deras dan berbatu, turun-naik batu-batuan, sebelum akhirnya bertemu Tiu Kelep.
tinggi, curam, tanpa pegangan...horor

air mengalir deras di dalam jembatan berlubang ini...jembatan melayang setinggi 10 meter tanpa pegangan memadai

naik, turun, awas licin dan longsor
tak ada jalan setapak kecuali naik turun batu-batu

tiu kelep dibalik batu ini

Horor dan lelah yang saya rasakan terbayar lunas begitu tiba di Tiu Kelep. Dengan ketinggian 60 m dikelilingi tebing setengah lingkaran penuh pepohonan, saya tidak mungkin lagi mendekat dengan membawa kamera tidak anti air ini. Air yang konon berasal dari gunung Rinjani ini, jatuh menciptakan gerimis bahkan sebelum kita mendekatinya. Karena itulah, air terjun ini dinamakan air terbang (tiu = air, kelep = terbang).
sepotong kecil surga di bumi, yang nyaris menumpahkan air mata haru saya kalau tak ingat malu

Tak banyak wisatawan yang datang hari itu. Sepengamatan saya turis domestik hanya kami dan tiga orang Hindu yang bersembahyang di sana ketika kami datang. Selebihnya turis asing dengan guide masing-masing. Kami, kecuali guide, segera menceburkan diri di tepian air terjun. Tidak berani ke tengah karena dari guide diinformasikan ada pusaran air di tengah air terjun walaupun kedalamannya hanya sekitar 1-1.5 meter.

Saya betah di sana, perasaan saya melayang, damai. Saya bersyukur diberi-Nya kesempatan mencicipi potongan surga ini. Saya mengambil wudhu, nekad meminum air yang katanya berkhasiat awet muda, berendam tengadah menghadap langit, tafakur dan duduk diam menyerap atmosfir sekitar. Seandainya tempat itu mudah dikunjungi dari Jakarta...

Setengah jam di sana, kami segera bergegas kembali ke Singang Gila untuk menjemput mama. Perut yang mulai keroncongan sudah tidak dapat ditawar lagi. Setelah berganti pakaian, kami mencari warung seadanya. Syukurlah, di dekat pos masuk utama terdapat warung makan yang menyediakan menu sesuai lidah manis kami *hehehehe*.

Saya pengen balik lagi, suatu saat nanti. Mungkin jika jodoh, saya pengen sampai ke danau Segara Anak yang kata pak Nursin punya banyak cerita aneh dan misterius. Ngomong-ngomong soal misteri, saya teringat percakapan dengan guide sebelum kami berpisah:
"Mas, beneran di Tiu Kelep tadi ndak ada ikan yang hidup didalamnya?"
"Tidak ada, mbak..."
"Lah tapi beneran, mas...tadi saya lihat ikan"
"Ikan?"
"Iya, waktu saya mau nyemplungin kaki di tengah itu. Segede telapak tangan ini, hitam, berenang dari batu ke batu"
"Tidak ada, mbak"
"Suer, mas"
"..."
"Mas?"
"Mbak beruntung..."
"..."


Half Purple and Blue Butterfly