Pages

Oktober 09, 2007

DI JAKARTA: TIGA BULAN BERLALU

Jakarta, awal Oktober ini, setiap sore atau malam adalah gerimis. Kadang hanya merintik, kadang menderas. Terkadang berpertanda, kadang diam-diam, mendadak, menyentak, berahasia…

Aku tak sering menjadi melankolis karenanya. Sebagian besar. Adalah tetap pilihan kita di saat hujan: menjadi melankolis atau tidak. Walau seringkali, hujan: suara dan bebauan yang dibawanya, menggiring atmosfir ke arah sana.

Oh, sudahlah…sore ini aku memang menjadi melankolis. Memilih menjadi melankolis. Hujan hanyalah pendukung suasana.
Termasuk kondisi tubuh yang sedang tidak fit karena kecapaian.

Tiga bulan berlalu sejak kepindahanku ke Jakarta. Tiga bulan yang secara keseluruhan boleh kubilang baik-baik saja. Walau kadang merasa betapa sendiri, sepi dan terasing. Oh, no…aku tak hendak mengeluh. Ini sebuah proses adapatasi yang harus kulalui. Sambil sesekali bertanya-tanya bagaimana lingkungan di sini akan memberiku warna.

Mungkin teman-teman kantor di Gresik (bahkan di Bekasi, sekarang) akan bertanya-tanya: bukankah seharusnya segala sepi itu tak perlu? Karena aku lebih dekat dengan keluarga? Well, baiklah. Jarak tempuh kost-ku dan rumah orang tua memang lebih dekat. Kewajiban tak tertulis, tanpa perintah, untuk pulang setiap akhir minggu adalah mudah. Tapi mengapa kost? Itu adalah harga untuk sebuah gengsi, harga diri, atau apalah namanya, yang sudah terlanjur terbentuk diotakku. Sekali aku keluar dari rumah, berarti aku telah siap membangun sebuah ‘rumah’ sendiri. Rumah lahir dan batin.

Bukan, bukan rumah, jarak atau kemacetan di Jakarta yang menyudutkanku dalam sepi. Aku masih punya banyak keceriaan yang sama, tawa yang sama, optimis yang sama, toleransi yang sama, kebaikan dan kelembutan hati (ehm) yang sama. Mungkin juga keluguan (atau kenaifan?) yang sama.

Sepi itu mungkin ada lebih karena sedih. Aku menghabiskan tiga belas tahun hidupku di antara orang-orang: kost, kampung dan kantor, yang kasih sayang adalah peduli walau seringkali tak diucapkan atau diingkari dengan kata-kata. Walau dalam kadar tertentu mungkin memasuki batas mengganggu *hehehe...*.

Aku tak (atau belum?) menemukannya di Jakarta. Setidaknya di luar kantor. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri, tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu. Oh, ayolah…aku mengerti tuntutan dan tekanan hidup di kota besar. Tak bisakah melambat atau berhenti sejenak untuk menikmati kemanusiaan kita? Bukankah nilai yang kita pegang sebagai orang timur kebanyakan adalah sama?

Entah di mana salahnya, aku seringkali jadi merasa terasing ketika segala hal yang seharusnya biasa dilakukan jadi terasa luar biasa atau mengganggu untuk orang lain. Salam yang tak dijawab, senyum yang tak dibalas, pengertian yang berujung celaan. Yah, semacam kau menggeser tempat dudukmu di dekat pintu di angkot untuk seorang bapak, ibu atau mbak-mbak dengan bawaan berat yang berujung lirikan tajam penumpang disebelahmu. Atau pandangan yang terasa meremehkan ketika tempat duduk di bis kau berikan kepada seorang paruh baya atau ibu-ibu hamil. Atau tatapan mata curiga ketika kau membereskan perlengkapan mandi teman kost-mu yang berantakan dan tersebar di lorong. Dan sejenis lainnya.

Mungkin seharusnya dari awal aku tak berharap banyak. Bukankah sejak awal Mimi, adikku, lewat surat yang ditinggalkannya di meja kost-ku sedikit mengingatkan: “…Mbak, laptopmu tak kunci di lemari. Kuncinya plus kunci kamarmu tak titipin ke Mbak Atin. Jangan naruh barang sembarangan di kost. Ati-ati, di Jakarta banyak orang yang ndak bisa dipercaya.”…

Aku, mungkin memang terlalu naif.

Aku memilih menjadi melankolis sore ini karena mbak Prapti, asisten di tempat kost, pamit pulang ke desa malam ini juga. Si mbak adalah salah satu dari empat asisten yang jarang kutemui kecuali malam hari ketika mereka menyusun baju bersih di locker, mematikan lampu selasar depan kamar, ketika aku mengulurkan majalah, tabloid atau koran yang telah kubaca. Kadang juga kusapa sekedarnya di sabtu pagi atau minggu sore ketika aku mencuci baju di lantai teratas. Semalam mbak Prapti mengulungkan selembar surat yang ditulis di balik kertas bekas fancy sticker: dari tiga temannya yang telah mudik dan tidak kembali ke Jakarta. Entah mengapa mengingatnya membuat dada menyesak. Sebagian karena sedih, kehilangan, dan sebagian lagi karena harapan.

Dimulai dengan: dear, mbak Rona, dan sebuah tulisan arab gundul berbunyi Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatu, surat itu berisi:

“Mbak sebelum dan sesudahnya kami berterima kasih …. Dan kami juga mau minta maaf jika selama ini kami telah berbuat kesalahan sama Mbak. Semoga rizkynya Mbak Rona lancar dan cepat mendapatkan calon yang baik dan yang bisa menjadi imam dalam keluarga. Amiiin. Kami: Rina,Iis, Lulux.”

Aku mendapat doa sebanyak itu hanya karna sapa sederhana tanpa perlu banyak kata. Seringkali hanya sebuah anggukan dan senyuman. Tulus. Well, what can I say? Jakarta… aku tidak akan pernah menyerah.

Juli 12, 2007

MARATHON...

Bulan Juni-Juli ini emang bener-bener deh. Marathon beneran. Mulai dari bikin anggaran tahunan, reuni keluarga di yogya, ampe orientasi pindah kerjaan baru di Muara Tawar. Semua sambung-menyambung menjadi satu dari awal Juni ampe ntar akhir Juli. Pfiuhhh.....

Penyusunan anggaran tahunan harusnya tidak terasa ngoyo secara dah rutin dilakukan per tahun. Tetapi jadi masalah ketika waktu penyusunan cuma dikasih 3 minggu doang! Mana organisasi lagi pada dirombak-rombak! Mana para DM baru juga ribet ama masalah-masalah lain! Mana bos gede maunya yang nyusun draft itu para DM! Wis, kacau...seandainya bos gede ga terlanjur disposisi, mungkin lebih gampang kita-kita aja yang nyusun. Nembak, maksudnya *kelakuan :p*

Pada akhirnya acara tembak menembak tetep kulakukan karena para DM *kecuali teknik* bikin draftnya rata-rata kacau or malah gak bikin! Wes, mimpi-mimpi muliaku dilupakan saja dulu secara date line, reuni yogya dan orientasi menunggu *heheh, kelakuan*!

Yap, acara berikutnya adalah reuni keluarga besar mbah buyut di Yogya! Untung aku dah survey hotel sebulan sebelum hari H. Kalau tidak....bakalan nggak dapet karena barengan ama liburan sekolah! Pfiuhhh...

Acara reuni kulakoni diantara 2 minggu orientasi kerjaan baru di Muara Tawar! Yap, Muara Tawar! SK pindahku resmi diteken tengah Juni. Karena dari semula ga ada tanda-tanda itu SK bakal turun ke aku, akhirnya ya kerjaan anggaran kuterima juga. Coba kalau dia terbitnya awal-awal...kan aku ga usah ngoyo gini *huhuhu*. But, sudahlah...here i am...di MTW.

Muara Tawar...hohoho...penuh dengan darah muda! *slllrrrp!...hiya, hehehe* Iseng kutanyakan ama si Tris, emang beneran di MTW rata-rata usia seluruh pegawai adalah 34 tahun! Bow, bayangin aja di sebuah BUMN yang pegawainya rata-rata dah senior, ternyata ada unit yang seger-seger gini. Wis, sing kuat iman ae Ron...hehehe.

Maret 20, 2007

MENU LUNCH LONG WEEKEND...

Aku diet dah sebulan lebih...lumayan dah turun 5 kiloaan *:p*. Ikutan weight management program *ciee...:p*. Makan cuma boleh sehari sekali. Gpp sih, soalnya boleh makan apa saja. Secara dari Senin ampe Jumat musti makan siang di kantor yang ostosmastis dengan menu seadanya....maka weekend selalu jadi ajang buat cari-cari makan enak.

Long weekend kemaren aku dah siap merancang menu buat 3 hari : sabtu, minggu dan senin. Sabtu, aku janjian ama si Ulil di Galaxy buat graus-graus baked potato with chili and cheese. Menu yang kupilih: garden salad, baked potato with brocolli and cheese plus chilli beef soup. Uenak je...kenyang, biar ga makan nasi sama sekali secara potato-nya guede banget *hehehe*.

Menu minggu kupilih makan bareng si Ucik *lagi....* di the Bee's. Pilihan kali ini dibuka dengan appetizer green salad, main course-nya mohanjok rice box plus aneka dim sum. Uakeh banget. Kuenyang...penuh dengan sayur dan buah-buahan secara minumnya pake truitillo...campuran antara tomat, wortel dan entah buah apa lagi *:p*.

Hari senin, karena banyak kerjaan rumahan yang harus diselesaikan, jadilah aku ama si Ucik masak sendiri...Menu yang dipilih yang simple aja masaknya. Nasi merah plus Tom Yam Goong. Yummy sekali...uenak...

Selasa, pas pake baju seragam kantor buat upacara....baru deh terasa sedikit menyesak...*huehehe*. Gitu jadinya kalau kalap *:p*

Maret 07, 2007

KUTUKANKU

Aku merasa dikutuk karena dua hal : pecinta keindahan dan berjiwa muda. Kaitkan keduanya dengan usia, status lajang, kelebihan hormon dan nilai kewajaran yang berlaku. Hasilnya? Hanya Tuhan dan aku yang tahu sejauh mana kewarasanku berusaha menempati porsinya *hehehe*.
Half Purple and Blue Butterfly