Yap, judul garing di atas emang sengaja dipilih untuk tulisan kali ini dalam rangka mengenang segala kegaringan Cungul yang selalu sukses bikin aku ketawa. Sahabat yang biarpun hobi mencela dan memutar-balik fakta tapi peduli banget padaku walaupun nggak pernah mau ngaku hehehe... Biasanya kalimat seperti itu dinyanyikannya dengan cara diketik lewat message di YM (lho? hehe) buat temannya yang sedang merayakan ulang tahun.
Jadi? Ya begitulah, kemarin aku jadi korbannya karena tepat tanggal tersebut aku genap menghiasi (atau mencemari :p) dunia ini selama 30 tahun. Bayangkan, tiga puluh tahun. Angka yang fantastis mengingat selama ini banyak pro-kontra disekelilingku mencoba menebak pantesnya aku umur 18 atau 24 tahun ya…..huehehehe, please deh. Menyitir kata-kata Uwie: kemarin adalah saat yang dinanti dan dipertanyakan oleh para penghuni mobil sejuta umat karena: kemarin adalah hari ‘4 bulan lagi’ itu. Nggak nyangka si Uwie masih inget juga :p. But anyway, terima kasih sudah mengingatkan.
Kemarin adalah hari yang dinanti ketika usia bergulir ke angka ‘keramat’ buat gadis lajang di belahan dunia manapun :p. Bertanya-tanya what will happened ketika akhirnya waktu berdetik ke hari itu. Walaupun ngakunya nyantai tapi sebenernya aku mikir juga :D (Bukan, bukan berpikir sejauh itu kok walau kadang nyerempet juga hehehe :p). Yang jelas aku jadi mengevaluasi jejak langkah yang tertinggal di belakang.
Well, “empat bulan lagi” udah terjadi kemarin. Minta maaf buat semua pihak yang pernah berpengharapan bahwa dalam 4 bulan aku akan melangsing huehehehe. Terutama Pak Totok. Karena ternyata dalam 4 bulan aku cuma berhasil menurunkan 4 kilo aja :p. Yah lumayan daripada tidak turun. Lalu buat yang berharap aku akan menyebar undangan, maaf juga jadi pada kecewa karena ternyata yang menyebar undangan malah si Titi hehehe. Ok, serius. Tapi terus terang dalam dimensi bawah sadar or spiritual atau apalah namanya aku merasa ada yang berubah. Sebelah ‘kaki’ yang dulu setengah sadar menapak entah di mana (:p) Insya Allah sedang berusaha dikuatkan searah dengan sebelahnya. Aku menyadari bukan sejenis mereka yang ‘fast learner’ tapi Alhamdulillah walau harus jatuh-bangun, susah payah, terbata-bata, melangkah setapak demi setapak kaki ini mencari terus jalan cahaya. Mohon doanya saja, ya.
Tentang ulang tahun sendiri sebenarnya aku tidak suka merayakannya berlebihan. Sejak kecil memang seperti itu. Satu-satunya perayaan yang kuingat adalah waktu aku berusia 5 tahun. Selanjutnya hanya ucapan selamat dari mama, papa dan adik-adik ketika bangun tidur. Tidak lupa setumpuk nasihat tentunya. Tak ada kue, roti, balon atau kemeriahan sejenis. Jika mama sempat paling hanya membuatkan bubur beras gula jawa warna merah (sebenernya coklat :p) dan putih untuk dimakan sekeluarga. Kebiasaan inipun hanya sampai aku menginjakkan kaki di SMP. Sekarang, jika ditodong mentraktir makan-makan akan kulayani jika aku punya uang. Jika tak punya, paling juga berkelit dengan seribu satu alasan hehehe. Tapi tetep, tidak menolak traktiran mereka yang berulang-tahun dengan catatan aku diajak lho bukannya nodong :p
Ulang tahun buat aku adalah saat instropeksi diri. Inner journey ke dalam diri sendiri. Hidup dalam setahun terakhir apakah sudah dimaknai seharusnya. Ulang tahun berarti juga peringatan bahwa hidup akan segera berakhir untuk waktu yang menjadi rahasia-Nya. Apakah bekal sudah cukup? Satu rahasia besar dalam hidup. Ulang tahun juga berarti bersyukur kepada-Nya bahwa sampai detik ini aku dikelilingi keluarga, sahabat dan teman yang kusayang dan menyayangiku. Tak pernah bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiran mereka yang selalu ada di saat susah atau senang. Alhamdulillah, satu bukti lagi cinta Allah SWT kepadaku.
Aku tidak bermaksud ‘mengeramatkan’ angka 30 tapi tahun ini aku ingin nostalgia sedikit dengan kebiasaan mama membuat bubur pada hari ulang tahun di waktuku kecil. Sekedar jadi pengingat bahwa sejauh arah aku pergi dari keluarga, sesukses apapun diriku, berapapun umurku, buat mama aku akan selalu menjadi gadis kecilnya. Jadi tahun ini aku memesan sebakul besar bubur madura lengkap untuk dimakan bareng-bareng teman-teman di kantor. Dan hari ini bapak bosku tercinta, Pak Dadang, langsung jadi orang pertama yang semangat menciduk bubur-bubur itu (jadi ingat papa….). Aku senang sekali karena ruanganku jadi ramai. Buburnya manis sekali, semanis pembelinya huehehehe…
Dan surprise dari ibu kasirku yang tercinta, Ibu Bin (mungkin beserta peserta lain yang dirahasiakan), yang memberiku sekotak besar cake yang kuberi nama “White Forrest”. Horee…Aku seneng sekaligus terharu…ihiks…ihiks... Seumur-umur belum pernah terima hadiah ulang tahun sekotak cake besar begitu. Kalau memberi sih lumayan sering hehehe. Dan Pak Dadang lagi-lagi menjadi orang pertama yang memakan potongan cake itu. Aku jadi terharu karena bapak memakannya sekaligus didepanku dengan lahap dan mengabaikan kebiasaannya memilih makanan karena diet penyakit asam uratnya. Terima kasih bapak, terima kasih Ibu Bin, Ibu Mud, Pak Faisol, Pak Ichwan, Pak Nanto, Maya, Uwie, Athik, Arif, Badrus, Bang Oji, Adi, Wiwin, Bu Juwita, Mbak Hermin…semuanya saja…Rona sayang semuanya…Insya Allah tidak akan lupa…
Oh ya, ada satu pertanyaan yang dulu pernah ditanyakan oleh Pak Adi Amrin, trainer PPKU-ku, seperti ini: Rona, seandainya kamu meninggal dunia nanti, bagaimana kau ingin orang lain mengenangmu? Saat itu dengan setengah blank dan cengengesan kujawab asal saja :p Tapi seandainya pertanyaan itu diajukan kepadaku sekarang maka sepenuh hati jawabanku adalah : Love, Care and Tenderness. Tidak penting mereka mengenalku sebagai apa atau siapa. Yang kuinginkan, jika mereka mengenangku maka mereka akan teringat, merasakan di dalam hati, dan memberikannya kepada yang terkasih. Semoga…Amiin.
Jadi, what’s next? Satu hal pasti: jangan hanya bermimpi, tetapkan hati meraihnya. Thanks to De, untuk coretannya empat tahun lalu yang sampai sekarang masih terasa baru. Jujur, a gift yang berarti karena jarang ada yang memberi hadiah coretan hehehe. Kamu, salah satu sahabat pilihan, anugerah indah dalam hidup. Aku bangga, really. Maka kutulis ulang saja coretannya empat tahun lalu, tahun pertama aku belajar menghargai keringatku sendiri:
15 November 2001:
…
Satu lagi tahun dilewati. Satu lagi tahun hidup dikurangi.waktu terus berlari mengiring dan mengejar segenap mimpi. Akan semakin banyak mega, angin, guntur, pelangi, dan semilir angin. Semua silih berganti. Dengan sebuah kedewasaan, kecerdasan, kejujuran, kekuatan kemauan, kekhusyuan doa, semua bisa dicerna, dinikmati, sekali boleh ditangisi. Apapun. Semua akan memperkuat, memperindah, dan memperkaya kemanusiaan utuh seorang rona.
Selamat ulang tahun ya…
Sebuah perenungan layak digelar. Dalam rendah hati jadi diri sendiri. Terus memperbaiki tidak pernah berhenti. Terus memaknai ulang sambil tak pernah putus dalam menghitung dan menghayati setiap nikmat dalam hidup
Selamat ulang tahun…
Pancangkan mimpimu setinggi-tingginya. Jujurlah. Mau jadi apa kau, mau ke mana dirimu, apa yang kurang dalam kemanusiaanmu, apa yang harus dipoles dan diperkaya dalam keutuhanmu.
…
perubahan itu pasti | berubah itu pilihan | pastikan pilihan, genapkan lingkaran | live the life to the fullest |
November 17, 2005
Oktober 26, 2005
#A-N# CODE : SATU PINTAKU
.........
GHUNA GBYBATYNU FNZCNVXNA FRWHGN FNLNATXH HAGHXALN
XH GREHF OREWNAWV GNX XNA XUVNANGV
NLNU QRATNEYNU ORGNCN FRFHATTHUALN XH ZRAPVAGNVZH
XNA XH OHXGVXNA XH ZNZCH CRAHUV ZNHZH
.........(NQN ONAQ)
(for my "truly" first love)
GHUNA GBYBATYNU FNZCNVXNA FRWHGN FNLNATXH HAGHXALN
XH GREHF OREWNAWV GNX XNA XUVNANGV
NLNU QRATNEYNU ORGNCN FRFHATTHUALN XH ZRAPVAGNVZH
XNA XH OHXGVXNA XH ZNZCH CRAHUV ZNHZH
.........(NQN ONAQ)
(for my "truly" first love)
Oktober 25, 2005
CARA MEMBUNUH GERIMIS
Semalam, selepas maghrib, di atas sajadah, masih berkerudung mukena,
kuambil cermin dan kuajukan tanya: "Bagaimana cara membunuh gerimis?"
Sunyi...Tak ada jawab...
Cermin tak bergeming dan malam memeta jelas kesunyian…
"Bagaimana cara membunuh gerimis???" tanya bayang-bayang tiba-tiba. "Mengapa gerimis? Apa salah gerimis? Bukankah ia yang setia kau nanti dan kau akrabi disetiap rinainya? Kapanpun jua?... Mengapa gerimis???"
Aku diam. Menggoyang cermin. Berharap bayang-bayang pergi…
Sia-sia...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Membatin kujawab:
Karena rinainya terlalu deras, aku tak bisa membunuh hujan. Karena gerimis ada sebelum hujan jadi kucoba saja membunuh gerimis….Karena hujan sanggup membadai, sedang gerimis...
"Bukan hujan yang mampu membadai, tapi gerimis yang mengundang badai. Begitukah?" tanya bayang-bayang.
Aku diam...
"Kau lupa? Gerimis yang menghujan hanya menerima fitrahnya. Ia tak pernah meminta turun ke bumi menjadi gerimis atau hujan, memberi kesejukan atau mencipta badai..." kata bayang-bayang. "Ia seharusnya hanya turun dan menghilang dalam pelukan bumi."
Aku masih terdiam...
"Aku bertanya-tanya badai apa yang pernah kau alami? Begitu dahsyatnya hingga kau ingin membunuh gerimis?" tanya bayang-bayang.
Aku membisu...
"Jika kau takut amukan badai...Jika tak ingin hujan itu membadai, maka jangan biarkan ia lepas dari pelukan bumi..." lanjut bayang-bayang. "Atau jika kau tak mampu menahannya, mengapa tak kau tanya saja cara membunuh gerimis kepada matahari? Bukankah ia yang mengundang naik gerimis sebelum merintik?"
Sudahlah...
Kudekap cermin di dada, membunuh bayang-bayang. Terpekur diam dan bertanya-tanya: Mungkin memang seharusnya kutanya cara membunuh gerimis pada matahari...
(Aku tahu tanya itu tak kan pernah kutemukan jawabnya sekalipun kutanya pada matahari. Karena matahari, tak kan pernah mampu membunuh gerimis. Begitu pun aku...)
kuambil cermin dan kuajukan tanya: "Bagaimana cara membunuh gerimis?"
Sunyi...Tak ada jawab...
Cermin tak bergeming dan malam memeta jelas kesunyian…
"Bagaimana cara membunuh gerimis???" tanya bayang-bayang tiba-tiba. "Mengapa gerimis? Apa salah gerimis? Bukankah ia yang setia kau nanti dan kau akrabi disetiap rinainya? Kapanpun jua?... Mengapa gerimis???"
Aku diam. Menggoyang cermin. Berharap bayang-bayang pergi…
Sia-sia...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Membatin kujawab:
Karena rinainya terlalu deras, aku tak bisa membunuh hujan. Karena gerimis ada sebelum hujan jadi kucoba saja membunuh gerimis….Karena hujan sanggup membadai, sedang gerimis...
"Bukan hujan yang mampu membadai, tapi gerimis yang mengundang badai. Begitukah?" tanya bayang-bayang.
Aku diam...
"Kau lupa? Gerimis yang menghujan hanya menerima fitrahnya. Ia tak pernah meminta turun ke bumi menjadi gerimis atau hujan, memberi kesejukan atau mencipta badai..." kata bayang-bayang. "Ia seharusnya hanya turun dan menghilang dalam pelukan bumi."
Aku masih terdiam...
"Aku bertanya-tanya badai apa yang pernah kau alami? Begitu dahsyatnya hingga kau ingin membunuh gerimis?" tanya bayang-bayang.
Aku membisu...
"Jika kau takut amukan badai...Jika tak ingin hujan itu membadai, maka jangan biarkan ia lepas dari pelukan bumi..." lanjut bayang-bayang. "Atau jika kau tak mampu menahannya, mengapa tak kau tanya saja cara membunuh gerimis kepada matahari? Bukankah ia yang mengundang naik gerimis sebelum merintik?"
Sudahlah...
Kudekap cermin di dada, membunuh bayang-bayang. Terpekur diam dan bertanya-tanya: Mungkin memang seharusnya kutanya cara membunuh gerimis pada matahari...
(Aku tahu tanya itu tak kan pernah kutemukan jawabnya sekalipun kutanya pada matahari. Karena matahari, tak kan pernah mampu membunuh gerimis. Begitu pun aku...)
Oktober 04, 2005
SENYUMKU UNTUKMU, SENYUMMU UNTUKKU
Kemarin, tidak sengaja nonton iklan sinetron di TV. Judulnya: Keluarga Senyum. Jangan tanya bagus atau tidak karena aku belum pernah menonton sinetron ini. Tapi karenanya aku jadi merenungkan sesuatu. Senyum.
Senyum, sedekah paling murah yang bisa kita beri. Paling murah karena tentu saja tidak butuh modal material yang mengikuti. Cukup tarik ujung bibir ke atas maka terbentuklah sebuah senyuman. Tapi…itu saja tak cukup. Senyum yang nilainya sedekah aku rasa tentu saja harus berasal dari hati. Kalau aku jadi malaikat, males kan mencatat nilai amal untuk sebuah senyum yang dibibir dan dihatinya nggak sama. Hmm…
Sebenernya mudah menebar senyum (selain salam, tentunya) kalau kita mau. Murah, meriah, menenangkan. Apalagi kalau yang kita beri senyuman membalas dengan senyum pula. Alamak…damainya…Tapi jangan keterusan ke mana-mana. Takut nggak bisa jaga hati (terutama buat yang berlainan jenis) hehehe.
Buat aku, senyum itu kalau keluarnya dari hati efeknya menyembuhkan. Sungguh. Kalau lagi bete, sedih, galau, kesepian…tebar aja senyum ke teman-teman yang kita jumpai walau susah sungguh. Percaya atau tidak, atmosfirnya bisa berbeda. Kalau bahasa psikologinya (mungkin) senyum itu tanda kita “terbuka” dan welcome ama orang lain. Trus kebanyakan orang kan akhirnya membalas senyum kita (walau kadang juga tidak), yang ujung-ujungnya terjadilah komunikasi. Dengan berkomunikasi, setidaknya sebagian beban itu bisa dihilangkan. Terserah sih kalau kemudian komunikasi itu berbuah curhat. But, tetap hati-hati hehehe.
Senyum yang paling susah itu kalau kita memberikannya ke orang yang sukses membuat kita jengkel, bete, marah, pokoknya yang mengaduk-aduk emosi. Jangankan senyum. Bawaannya pasti pengen berantem saja kan…Tapi, berdasarkan pengalaman (ehm) ternyata ada efek positifnya lho. Bisa meredam emosi sehingga bisa berpikir dan memandang permasalahan lebih jernih. Coba saja. Ketika mau memulai tersenyum kepada yang bersangkutan, susah kan…karena emosi sedang bergolak. Karena itu kita mesti meng-cooling down emosi kita dulu sebelum bisa memberi senyuman. Tapi itu memang tergantung kemauan kita sih hehehe. Setidaknya kalau tidak sukses tersenyum, rendahkan saja nada suara. Mungkin bisa berhasil :p.
Nah, Insya Allah besok mulai puasa Ramadhan. Kita mesti berlomba-lomba meningkatkan amalan ibadah di bulan suci ini. Memang sih, puasa itu yang menentukan dan menghitung amalannya Allah SWT langsung. Mau diterima atau tidak, itu rahasia-Nya. Jadi mengapa nggak kita memperbanyak bersedekah dengan senyuman? Senyuman dari hati tentu saja. Kalau belum mampu memberi senyum, setidaknya buatlah orang tersenyum kepada kita. Siapa tahu dengan senyum kita or senyum orang lain ke kita, Allah akan tersenyum untuk kita. Setuju?
…
Ramadhan sebentar lagi…
Tralala..trilili…lili…
…
(tolong ya dinyanyiinnya sama persis ama lagu anak-anak yang menjelang lebaran itu :D :p)
Senyum, sedekah paling murah yang bisa kita beri. Paling murah karena tentu saja tidak butuh modal material yang mengikuti. Cukup tarik ujung bibir ke atas maka terbentuklah sebuah senyuman. Tapi…itu saja tak cukup. Senyum yang nilainya sedekah aku rasa tentu saja harus berasal dari hati. Kalau aku jadi malaikat, males kan mencatat nilai amal untuk sebuah senyum yang dibibir dan dihatinya nggak sama. Hmm…
Sebenernya mudah menebar senyum (selain salam, tentunya) kalau kita mau. Murah, meriah, menenangkan. Apalagi kalau yang kita beri senyuman membalas dengan senyum pula. Alamak…damainya…Tapi jangan keterusan ke mana-mana. Takut nggak bisa jaga hati (terutama buat yang berlainan jenis) hehehe.
Buat aku, senyum itu kalau keluarnya dari hati efeknya menyembuhkan. Sungguh. Kalau lagi bete, sedih, galau, kesepian…tebar aja senyum ke teman-teman yang kita jumpai walau susah sungguh. Percaya atau tidak, atmosfirnya bisa berbeda. Kalau bahasa psikologinya (mungkin) senyum itu tanda kita “terbuka” dan welcome ama orang lain. Trus kebanyakan orang kan akhirnya membalas senyum kita (walau kadang juga tidak), yang ujung-ujungnya terjadilah komunikasi. Dengan berkomunikasi, setidaknya sebagian beban itu bisa dihilangkan. Terserah sih kalau kemudian komunikasi itu berbuah curhat. But, tetap hati-hati hehehe.
Senyum yang paling susah itu kalau kita memberikannya ke orang yang sukses membuat kita jengkel, bete, marah, pokoknya yang mengaduk-aduk emosi. Jangankan senyum. Bawaannya pasti pengen berantem saja kan…Tapi, berdasarkan pengalaman (ehm) ternyata ada efek positifnya lho. Bisa meredam emosi sehingga bisa berpikir dan memandang permasalahan lebih jernih. Coba saja. Ketika mau memulai tersenyum kepada yang bersangkutan, susah kan…karena emosi sedang bergolak. Karena itu kita mesti meng-cooling down emosi kita dulu sebelum bisa memberi senyuman. Tapi itu memang tergantung kemauan kita sih hehehe. Setidaknya kalau tidak sukses tersenyum, rendahkan saja nada suara. Mungkin bisa berhasil :p.
Nah, Insya Allah besok mulai puasa Ramadhan. Kita mesti berlomba-lomba meningkatkan amalan ibadah di bulan suci ini. Memang sih, puasa itu yang menentukan dan menghitung amalannya Allah SWT langsung. Mau diterima atau tidak, itu rahasia-Nya. Jadi mengapa nggak kita memperbanyak bersedekah dengan senyuman? Senyuman dari hati tentu saja. Kalau belum mampu memberi senyum, setidaknya buatlah orang tersenyum kepada kita. Siapa tahu dengan senyum kita or senyum orang lain ke kita, Allah akan tersenyum untuk kita. Setuju?
…
Ramadhan sebentar lagi…
Tralala..trilili…lili…
…
(tolong ya dinyanyiinnya sama persis ama lagu anak-anak yang menjelang lebaran itu :D :p)
Langganan:
Postingan (Atom)