Pages

Oktober 26, 2005

#A-N# CODE : SATU PINTAKU

.........

GHUNA GBYBATYNU FNZCNVXNA FRWHGN FNLNATXH HAGHXALN
XH GREHF OREWNAWV GNX XNA XUVNANGV
NLNU QRATNEYNU ORGNCN FRFHATTHUALN XH ZRAPVAGNVZH
XNA XH OHXGVXNA XH ZNZCH CRAHUV ZNHZH

.........(NQN ONAQ)


(for my "truly" first love)

Oktober 25, 2005

CARA MEMBUNUH GERIMIS

Semalam, selepas maghrib, di atas sajadah, masih berkerudung mukena,
kuambil cermin dan kuajukan tanya: "Bagaimana cara membunuh gerimis?"

Sunyi...Tak ada jawab...
Cermin tak bergeming dan malam memeta jelas kesunyian…

"Bagaimana cara membunuh gerimis???" tanya bayang-bayang tiba-tiba. "Mengapa gerimis? Apa salah gerimis? Bukankah ia yang setia kau nanti dan kau akrabi disetiap rinainya? Kapanpun jua?... Mengapa gerimis???"

Aku diam. Menggoyang cermin. Berharap bayang-bayang pergi…
Sia-sia...

Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...

Membatin kujawab:
Karena rinainya terlalu deras, aku tak bisa membunuh hujan. Karena gerimis ada sebelum hujan jadi kucoba saja membunuh gerimis….Karena hujan sanggup membadai, sedang gerimis...

"Bukan hujan yang mampu membadai, tapi gerimis yang mengundang badai. Begitukah?" tanya bayang-bayang.

Aku diam...

"Kau lupa? Gerimis yang menghujan hanya menerima fitrahnya. Ia tak pernah meminta turun ke bumi menjadi gerimis atau hujan, memberi kesejukan atau mencipta badai..." kata bayang-bayang. "Ia seharusnya hanya turun dan menghilang dalam pelukan bumi."

Aku masih terdiam...

"Aku bertanya-tanya badai apa yang pernah kau alami? Begitu dahsyatnya hingga kau ingin membunuh gerimis?" tanya bayang-bayang.

Aku membisu...

"Jika kau takut amukan badai...Jika tak ingin hujan itu membadai, maka jangan biarkan ia lepas dari pelukan bumi..." lanjut bayang-bayang. "Atau jika kau tak mampu menahannya, mengapa tak kau tanya saja cara membunuh gerimis kepada matahari? Bukankah ia yang mengundang naik gerimis sebelum merintik?"

Sudahlah...

Kudekap cermin di dada, membunuh bayang-bayang. Terpekur diam dan bertanya-tanya: Mungkin memang seharusnya kutanya cara membunuh gerimis pada matahari...


(Aku tahu tanya itu tak kan pernah kutemukan jawabnya sekalipun kutanya pada matahari. Karena matahari, tak kan pernah mampu membunuh gerimis. Begitu pun aku...)

Oktober 04, 2005

SENYUMKU UNTUKMU, SENYUMMU UNTUKKU

Kemarin, tidak sengaja nonton iklan sinetron di TV. Judulnya: Keluarga Senyum. Jangan tanya bagus atau tidak karena aku belum pernah menonton sinetron ini. Tapi karenanya aku jadi merenungkan sesuatu. Senyum.

Senyum, sedekah paling murah yang bisa kita beri. Paling murah karena tentu saja tidak butuh modal material yang mengikuti. Cukup tarik ujung bibir ke atas maka terbentuklah sebuah senyuman. Tapi…itu saja tak cukup. Senyum yang nilainya sedekah aku rasa tentu saja harus berasal dari hati. Kalau aku jadi malaikat, males kan mencatat nilai amal untuk sebuah senyum yang dibibir dan dihatinya nggak sama. Hmm…

Sebenernya mudah menebar senyum (selain salam, tentunya) kalau kita mau. Murah, meriah, menenangkan. Apalagi kalau yang kita beri senyuman membalas dengan senyum pula. Alamak…damainya…Tapi jangan keterusan ke mana-mana. Takut nggak bisa jaga hati (terutama buat yang berlainan jenis) hehehe.

Buat aku, senyum itu kalau keluarnya dari hati efeknya menyembuhkan. Sungguh. Kalau lagi bete, sedih, galau, kesepian…tebar aja senyum ke teman-teman yang kita jumpai walau susah sungguh. Percaya atau tidak, atmosfirnya bisa berbeda. Kalau bahasa psikologinya (mungkin) senyum itu tanda kita “terbuka” dan welcome ama orang lain. Trus kebanyakan orang kan akhirnya membalas senyum kita (walau kadang juga tidak), yang ujung-ujungnya terjadilah komunikasi. Dengan berkomunikasi, setidaknya sebagian beban itu bisa dihilangkan. Terserah sih kalau kemudian komunikasi itu berbuah curhat. But, tetap hati-hati hehehe.

Senyum yang paling susah itu kalau kita memberikannya ke orang yang sukses membuat kita jengkel, bete, marah, pokoknya yang mengaduk-aduk emosi. Jangankan senyum. Bawaannya pasti pengen berantem saja kan…Tapi, berdasarkan pengalaman (ehm) ternyata ada efek positifnya lho. Bisa meredam emosi sehingga bisa berpikir dan memandang permasalahan lebih jernih. Coba saja. Ketika mau memulai tersenyum kepada yang bersangkutan, susah kan…karena emosi sedang bergolak. Karena itu kita mesti meng-cooling down emosi kita dulu sebelum bisa memberi senyuman. Tapi itu memang tergantung kemauan kita sih hehehe. Setidaknya kalau tidak sukses tersenyum, rendahkan saja nada suara. Mungkin bisa berhasil :p.

Nah, Insya Allah besok mulai puasa Ramadhan. Kita mesti berlomba-lomba meningkatkan amalan ibadah di bulan suci ini. Memang sih, puasa itu yang menentukan dan menghitung amalannya Allah SWT langsung. Mau diterima atau tidak, itu rahasia-Nya. Jadi mengapa nggak kita memperbanyak bersedekah dengan senyuman? Senyuman dari hati tentu saja. Kalau belum mampu memberi senyum, setidaknya buatlah orang tersenyum kepada kita. Siapa tahu dengan senyum kita or senyum orang lain ke kita, Allah akan tersenyum untuk kita. Setuju?


Ramadhan sebentar lagi…
Tralala..trilili…lili…

(tolong ya dinyanyiinnya sama persis ama lagu anak-anak yang menjelang lebaran itu :D :p)

September 15, 2005

100 MILYAR MATAHARI…

Kemarin sore di ruanganku. Seorang bapak, teman kerjaku, mengeluarkan pernyataan pribadi sehubungan pelatihan ESQ yang kami ikuti minggu lalu. Menurutnya ada yang salah dalam pelatihan kemarin. Aku, yang mendengarkan sambil lalu, membenarkan pernyataan itu sembari menerangkan bahwa dalam buku Pak Ary memang ada beberapa kesalahan penulisan yang pernah disentil oleh Dikman dalam forum alumni.

Hoho, ternyata maksudnya bukan itu. Si Bapak mempermasalahkan kesalahan penggolongan Asma’ul Husna sebagai sifat-sifat Allah bukannya nama-nama Allah oleh sang instruktur. Aku yang ga mudeng hanya diam, nyengir sambil manggut-manggut aja. Takut salah ngomong karena aku sendiri belum paham masalah ini.

Sang Bapak bilang kalau kemaren dia dan temannya tidak nangis sama sekali. Nah lo, kok jadi ke nangis-nangis segala? Kenapa begitu? Karena intinya sang bapak gak sepaham dengan sang instruktur jadi nggak perlu nangis-nangis segala. Dengan berapi-api beliau menyesalkan sang instruktur yang menurutnya sangat memaksakan pahamnya ke para peserta dengan tidak memberi kesempatan untuk acara tanya-jawab. Aku bingung. Paham? Paham apaan? Setahuku sepanjang acara sama sekali gak ada yang menyimpang. Model yang digunakan juga hanya ‘mengonceki’ rukun iman dan rukun islam aja. Apa aku yang bodoh ya…wah, diam aja deh…mungkin ilmuku masih cetek jadi gak mudeng.

Tambah lama didengerin, omongan si Bapak jadi berasa emosional sekali menyudutkan sang instruktur. Bahkan akhirnya sang Bapak berkata bahwa seharusnya sang instruktur menyadari bahwa hidayah itu hak Allah, jadi sang instruktur tidak boleh memaksakan pahamnya dengan semena-mena.

Gubrak!! Asli aku bengong. Sepengetahuanku sang instruktur sudah meworo-woro dari awal bahwa kehadiran kami (termasuk dirinya sendiri) adalah karena kehendak Allah. Bahwa hidayah itu milik Allah semata. Bahwa kehadirannya hanyalah sekedar ‘mengingatkan’ kebenaran-Nya, yang dikemas sedemikian rupa secara ilmiah dan menggunakan multimedia canggih sehingga lebih mudah diterima.

Aku diam, menunduk dan dalam hati beristighfar. Rasanya nelangsa sekali.

Asma’ul Husna yang Bapak kritik itu diperdengarkan di hari ketiga. Hari pertama sang instruktur mengetengahkan bukti-bukti kebesaran dan kasih-sayang-Nya lewat ayat-ayat cinta-Nya. Hari kedua masih sama ditambah tentang kerasulan Muhammad SAW dan sedemikian besarnya cinta beliau kepada umatnya. Bapak, saya yakin kami semua yang tersuruk-suruk pada saat itu pastilah karena hati kami sedang sangat tersentuh. Dan menangis adalah satu reaksi spontan yang dapat kami lakukan. Bagaimana dengan Bapak?

Ah, Bapak maafkan aku. Maafkan jika tiba-tiba aku merasa ada nada keangkuhan dalam pernyataan-pernyataan Bapak. Mungkin ilmu bapak sudah tinggi dan lebih luas dariku ataupun sang instruktur. Sehingga bapak dapat menghakimi sang instruktur dan kami semua yang menangis waktu itu. Kami semua yang menangis karena mengingat kasih sayang-Nya. Tapi bukankah Bapak bilang bahwa hidayah itu milik Allah semata? Akan diberikan kepada SIAPA, DIMANA, KAPAN dan dengan CARA bagaimana, itu adalah hak Allah semata.


(Mengingat percakapan itu dan meredam segala rasa yang membuncah di dada. Merenungi kata-kata mas Gonot di kursi belakang mobil Pak Wachid sore itu: “Ron, ada 100 milyar matahari di luar sana”. Kataku: “Mungkin lebih banyak lagi”…Subhanallah)
Half Purple and Blue Butterfly