Pages

April 18, 2005

NORAK? WHY NOT GITU LOH…

Lima kata yang dipilih Ucik untuk mendiskripsikan diriku adalah: lucu/ramah, tekun, judes (kalau lagi bete), royal (kalau gak mau dibilang boros) dan bawel. Lima kata pilihan dari puluhan kata sifat yang ditemukannya begitu pertanyaan itu kusodorkan. Entah pertimbangan apa yang dipakai tapi Ucik bilang itu belum cukup untuk mendiskripsikan diriku. Dia tidak bisa menemukan kata-kata yang pas. Dan jangan tanya apanya yang kurang karena pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa aku itu ‘aneh bin ajaib’. Alasan yang membuatnya betah berlama-lama disisiku. The one and only. Tak ada duanya di dunia. Ciee…ihi….

Sebelas tahun persahabatan kami telah menyediakan waktu yang panjang untuk saling mengenal. Sulit sekali jika harus mengekstraknya ke dalam 5 kata sifat. Terlalu besar kemungkinan biasnya. Jadi jika kata ‘aneh bin ajaib’ dianggapnya cukup mewakili, aku tinggal mengamini saja. Lagipula aku harus menghargai usahanya memeras otak yang memakan waktu 1,5 jam hehehehhe.

Mungkin aku memang ‘aneh’ di mata Ucik. Itu karena pada dasarnya kami adalah dua manusia yang sama sekali berbeda. Tidak hanya berbeda secara fisik tetapi kami memang beda segalanya. Selera kami, kecuali selera makan, benar-benar berbeda. Jika dianalogkan Ucik bisa dibandingkan dengan lilin dan nyalanya yang tenang. Sementara aku? Well, kembang api belum cukup menggambarkan. Petasan bumbung minimum 1 kg mungkin lebih cocok. So, kebayang kan bedanya.

Aku pikir mungkin Ucik tidak tega memakai kata ‘norak’ untuk menjelaskan ‘salah satu keanehanku’ di antara perbedaan kami. Walau kadang suka dikutipnya juga kalau sudah give up dengan sepak terjangku. Pada dasarnya aku tidak keberatan mengakui bahwa kadang-kadang aku memang norak dalam kadar tertentu. Itu jika yang dipakai adalah ukuran ‘kelaziman’ yang berlaku dilingkunganku, misalnya dalam fashion dan berekspresi. Buat catatan saja, usiaku hampir 30, single, berjilbab lebar, berukuran XXL, bergelut di finance yang seringkali menuntutku lebih berperan sebagai sekretaris, customer service, marketing, atau sejenis.

Selera ber’fashion’ku seringkali mengundang komentar atau kerenyitan di dahi teman-teman. Pakem berpakaian kupelesetkan sesuka hatiku. Pakem warna dan bentuk juga kutabrak sesuka hati. Daripada berblazer dan bercelana kantor yang formal dan rapi, aku lebih memilih rok dan blus longgar untuk di kantor. Aku lebih suka memilih warna-warna yang ‘terang’ dibanding warna-warna kalem yang elegan. Dan jangan tanya matching warna karena aku bisa mencampur warna biru, kuning, hijau, oranye dari mulai jilbab, baju, celana, sampai tas. Tabrak habis. Jangan tanya juga soal asesoris pelengkap seperti tas dan sepatu. Pokoknya full dan panen komentar.

Kata temanku, Siti, aku ‘ramai’ dan ‘ekspresif’. Mungkin itu kata lain dari cerewet (bawel kata Ucik) dan ‘gak bisa diam’. Loncat kesana kemari, berkicau disana sini. Belum lagi dengan volume suara yang ‘nyaring’ dan tidak bisa pelan plus mimik wajah yang ‘fleksibel’ sesuai jalan cerita. Centil. Pokoknya, beda jauh dengan ekspektasi orang jika mengenalku pertama kali. Jauhhhhh……:p

Ekspektasi itu bisa lebih berantakan lagi jika ada background musik yang mengiringi. Aku bisa lupa usia, suasana dan tempatku berpijak. Otomatis saja aku akan menyanyi tralala trilili plus bergoyang-goyang. Aku bilang otomatis karena memang itu sepaket dan tidak bisa dicegah. Seperti mengalir begitu saja didalam darahku. Walhasil, yang seringkali terjadi aku kemudian menyesalinya habis-habisan tetapi mengulanginya lagi di lain kesempatan hehehehe.

Umumnya orang menerimaku apa adanya (menurutku :p). Tapi beberapa orang menunjukkan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ketidaksetujuannya atas caraku berekspresi yang menurut mereka ‘norak’. Mungkin menurut mereka aku harusnya lebih bisa tenang dan menyesuaikan diri dengan usiakulah, status pendidikankulah, strata sosialkulah (?). Pernah suatu ketika aku memang lebih ‘tenang’. Itupun karena aku sedang dalam fase anti sosial. Tetapi aku jadi merasa jaim dan tidak menjadi diriku sendiri. Sehingga ya akhirnya beginilah. Back to basic.

Aku tidak melihat ada yang salah dengan caraku berekspresi. Apa salahnya menjadi diri sendiri. Yang jelas selama ini orang-orang jadi lebih welcome dan tidak sungkan-sungkan membicarakan apapun denganku. Aku bisa bicara bebas dengan siapapun. Aku belajar memahami orang lain karena mereka bisa lebih terbuka. Hal ini memudahkanku untuk belajar: ‘mendengar’, ‘berbicara’, menggali hubungan-hubungan dan berempati. Belajar memahami perbedaan dan menerima keunikan masing-masing individu. Dan yang terpenting, menjadi diriku sendiri.

Memang ada konsekuensi lain yang harus kutanggung. Amanah yang kupegang jadi menumpuk karena akhirnya banyak curhat-curhat yang kutampung. But it’s ok karena aku punya banyak teman yang amat pengertian jika aku mendadak diam pada tema tertentu (terutama Maya, thanks honey). Konsekuensi lainnya orang jadi ngerasa sok akrab padaku bahkan tanpa sadar cenderung kurang ajar. Pada orang-orang tataran ‘educational’ tertentu pasti menganggapku merugikan diri sendiri. Mungkin maksudnya gak intelek kali ya hehehe. But it’s ok karena selama ini aku bisa menjaga dan menyesuaikan diri. Mutiara itu dimanapun tempatnya tetap mutiara :D.

Yang jelas nih…aku jadi awet muda karena seringkali disangka lebih muda dari usiaku sesungguhnya (ehm). Lumayan, meleset 5 tahun lebih muda huahahahaha. Mungkin karena aku lebih banyak tawa dan ekspresif kali ya heheheh.

Jadi norak? Why not gitu loh……..

Maret 24, 2005

NOSTALGIA...

JADILAH ANGIN

jadilah angin, tuanku
biar tegak kepak sayap
saat letih mengurai asaku

jadilah angin, tuanku
bawa nada rancak serulingku
tentang cerita embun pagi
saat biru menyapa asaku

(Probolinggo, 11 Februari 1997)
------------------------------

KUAMBIL SATU

dan kuambil satu yang baik
kukenakan di bagian tubuhku
seperti mereka menyatu
dan mengisyaratkan diriku...

(Surabaya, 12 Oktober 1998)
----------------------------

TUAN DIMANA?

pagiku hilang, Tuan...

mungkin karna semalam
kuhisap candu banyak-banyak
tenggelam, dan
waktu terbangun :
............Tuan dimana?

(Surabaya, 16 Desember 1998)

Maret 23, 2005

WHAT’S MAKE U ALIVE?

Sebuah pertanyaan yang seringkali singgah setiap kali otakku mendadak ‘kosong’. Entah karena kelelahan fisik atau karena kebanyakan pikiran. Muncul begitu saja seperti hantu bertulisan tebal berhuruf capital melayang di ruang maya bermemori yang notabene berstatus ‘benakku’.

Saat ini: dengan kedua hidung buntu tersumbat karena flu, kepala pusing, tidak bisa tidur, dan room mate yang keasyikan nonton film TV, aku tidak heran jika pertanyaan itu datang lagi seperti hantu. “Buuuu…..”

Well,…aku muslim dan tahu pasti jawaban dari stupid question-ku ini. Kehendak-Nyalah yang membuat kita hidup. Tapi menarik sekali mengetahui respon orang lain atas pertanyaan ini. Mengapa? Karena kemudian kusadari pertanyaan ini secara instingtif akan kuajukan kepada mereka yang ingin kukenal lebih jauh. Iseng banget ya…

Jawaban yang kudapat bermacam-macam. Pada mereka yang nafas religinya begitu kental seringkali respon pertama yang kudapat adalah pandangan menyelidik. Mungkin mereka berpikir aku sedang mengigau, menguji atau malah kasihan. Yang menganggapku mengigau biasanya akan menjawab “kau nggak apa-apa tah?”. Mereka yang menganggapku menguji biasanya akan memberiku ceramah panjang lebar lengkap dengan kata-kata dan kalimat-kalimat berdalil yang kadang-kadang sayup-sayup dapat kumengerti. Bukan karena otakku kental tapi karena susunan kalimat mereka terasa aneh bin ajaib. Mungkin mereka memang pintar, supaya terlihat pintar, atau memang akunya yang lemot. Entahlah. Lalu mereka yang memandangku kasihan biasanya akan memperlakukanku dengan penuh perasaan, penuh kasih. Menjelaskan ini-itu dan berhati-hati agar aku yang tersesat ini tidak tenggelam semakin jauh dalam kegelapan…..huahahahaha.

Jawaban yang menarik kusimak dengan perhatian penuh justru kudapat ketika mereka ‘mengesampingkan’ jawaban religius. Mengapa menarik? Karena tanpa mereka sadari, diam-diam atau terang-terangan, jawaban akan selalu dimulai dengan tarikan napas penuh perasaan. Bukan karena pertanyaan itu butuh jawaban yang berat. Bukan. Justru karena pertanyaan ini membuat mereka berpikir dan menjenguk perasaan di balik sekat hati.

Kutemukan cinta dan kasih sayang. Bukan dari jawaban dan alasan yang diajukan. Karena bahasa tubuh yang berbicara takkan mampu menipu mata. Menarik menyimak mereka mengajukan berbagai subyek dan alasannya (positif atau negatif) yang buatku semua hanya berarti satu kata: aku cinta.

Menyenangkan mengetahui begitu banyak cinta yang berenergi. Menyenangkan mengajak orang menjenguk hati. Mengetahui bahwa cinta (dulu atau sekarang) begitu berarti. Tapi seringkali justru kemudian aku yang tercenung diam. Menjadi sedikit perih setiap kali menyimak jawaban dan alasan. Mengapa? Karena kemudian kusadari kepada mereka yang kuajukan pertanyaan ini, sesungguhnya aku mencari porsi cinta untuk diriku. Mencari kemungkinan eksistensiku menjadi sedikit energi untuk orang lain. Mengetahui apakah aku cukup berarti. Aku tak tahu ini penyakit atau apalah. Yang jelas pertanyaan ini mungkin akan terus kuajukan sampai kutemukan bagianku pada jawabannya. Poor me….but, what’s makes you alive?

(direnungkan dan diketik di jakarta, 17 Maret 2005, pasca diklat CFA yang sungguh melelahkan jasmani dan rohani ihiks)
Half Purple and Blue Butterfly