Pages

September 09, 2011

(Bukan) Puisi Galau

Lelaki angin,
yang terbiasa mengakrabi kesunyian...
Ceritakan padaku kisah-kisah negeri seberang: 
yang memberi peluhmu aroma matahari, tanah dan air, 
yang memberi senyummu oase sahara, 
yang memberi matamu palung samudra
Ceritakan dengan bahasamu yang lama kuakrabi: 
bahasa kesunyian

(02.08.2009)
---

Seorang sahabat tadi siang bilang sudah menamatkan tulisan-tulisanku tentangmu. Dia bilang isinya romantis, padahal menurutku itu galau semua. 

Aku teringat emoticon nyengir, ngakak dan ceng-cengan kita di jendela messenger akhir-akhir ini. Kamu masih seperti dulu. Teman diskusi yang bernas, menyenangkan dan apa adanya. Tukang jalan-jalan yang bebas, tak takut sendiri atau kesepian. Pejuang tangguh yang arif dalam kerendahhatian. Darimu, aku mencangkok bibit keberanian menjalani pilihan hidup dengan keyakinan.

Kamu bilang apa waktu itu? Puisi untukmu ini bagus? Aku masih ingat mati gaya-mu ketika kau tanya mengapa 'angin'? Maafkan telah membuatmu jengah. Seperti sahabatku itu bilang, aku ini memang mengidap penyakit lebay parah. Tapi saat itu kau memang seumpama udara untukku.

"Mohon dimaafkan segala salah yang telah ku perbuat", itu jawabmu ketika kuucapkan permohonan maaf lahir batin hari raya lalu. Apa yang telah kau perbuat? Apa yang telah kita perbuat? Apanya yang salah? Aku tak pernah menganggapmu kesalahan, pun tidak juga berbuat salah. Yang telah terjadi adalah bagian lakon hidup yang harus kita jalani. Semoga saja kita pandai memetik pelajaran darinya.

Ku-publish puisi ini sebagai point positif yang menghapus semua tulisan galauku tentangmu, ya. Kamu masih lelaki angin, hanya saja sekarang tak kunanti kisah-kisah negeri seberang darimu...Ck! Cerita hobby baru jalan-jalan ke mall sungguh tak menarik hatiku. Hahahaha...

September 07, 2011

Sesederhana Itu

Sepotong malam yang tak sempurna: tak ada purnama, sunyi semata. Seseorang larut dengan bibir terkatup di depan layar kaca, sibuk dengan mereka yang berebutan bola. Tiada basa-basi, miskin kata-kata. Hening yang sempurna.

Seorang lagi disebelahnya, mengukir senyum di dada. Merenda hening, menyempurnakan malam. Tak ada tanya, dimengerti saja. Bahagia itu ketika dia ikhlas menerima apa adanya, menikmati moment yang ada. Karena membekukan waktu pun, ia tak kuasa.

Bahagia, sesederhana itu.

September 05, 2011

Dua Helai Kouyou


Dua helai kouyou itu sudah lama terlupakan. Tersimpan rapi di halaman album perangko tua: kering dan menghitam. Sedari awal tak pernah kulihat merahnya. Kau, yang tak pernah kusangka ikut andil memetiknya...apa kabarmu di sana? Sebaris doa yang pernah kujanjikan, sudah lama tak kulangitkan. Maafkan, bahkan aku tak mutlak menguasai hatiku seutuhnya. Karena bagaimanapun hidup harus terus berjalan, kan?

Awalnya, kau tak pernah tahu aku menyukai dedaunan itu. Masa kita terlalu singkat. Aku tak pernah sempat bercerita mimpiku berjalan di bawah tunnel pepohonan itu: di suatu musim gugur, dihujani dedaunan kering yang luruh diayun angin, di negeri tempat sakura mekar sempurna. Pohon yang tak kita jumpai di sini, yang selalu berganti warna daun mengikuti musim yang berubah: hijau menjelma merah, merah muda, kuning, oranye atau emas. Mereka bilang itu pohon musim gugur.

Apa warna kouyou ini ketika kau petik? Merah, kuning atau emas? Aku takkan pernah tahu.

Waktu itu musim dingin yang hebat. Mana kutahu pohon itu kehilangan daunnya di musim ini. Apa yang ada dikepalamu ketika kau nekad memanjatnya demi dua helai daun di ranting nan tinggi? Sadarkah kau berapa besar taruhannya? Tak sebanding dengan harga yang harus kau bayar. Telah kusampaikan pada sahabatku itu. Seharusnya titipanku ini adalah rahasia. Ia putus asa karena salju dan tinggi pohon menyurutkan langkahnya. Dia dan dunia tak pernah tahu kisah kita.

Kuterima dua helai kouyou itu sambil terngangga. Tak pernah kusangka kisah yang menyertainya. Apakah itu pesan rahasia? Aku tak mau menelisiknya. Kita telah memilih jalan yang berbeda. Kuanggap saja itu pertanda, kau telah menerima kenaifanku untuk kebaikanmu dan berdamai dengan dirimu sendiri. Cukup begitu.

Dua helai kouyou itu seharusnya merah, seperti arti namanya. Tapi buatku, biarlah seperti yang kuterima. Kusimpan saja di antara perangko-perangko tua. Ia hanya akan menjadi sejarah, meski dihatiku pernah memerah sempurna.

 ...
setiap kali terpuruk dan berdarah, kuingat saja kisah kita. 
kujadikan mantera: aku pernah melewati yang terparah.

September 03, 2011

Ketika Libur (Terlalu) Panjang

Libur lebaran kali ini rasanya terlalu panjang buat saya. Tambah merana secara ingat bahwa liburan ini dihitung memotong cuti tahunan yang sudah banyak terpakai. Coba ya hari-hari kejepit itu ditetapkan jadi hari libur aja, jangan motong cuti gitu *siap-siap digetok pejabat berwenang*. Jadinya kan saya ndak perlu merana berkali-kali

Pertama, merana karena liburan tidak pergi kemana-mana dalam arti yang sesungguhnya. Itu konsekuensi pendatang yang tidak diakui punya kampung halaman, plus harus stand by karena menunggu keluarga  besar  pihak Bapak membawa angpao berkunjung ke rumah. Padahal, acara kunjungan itu hanya terjadi pada hari H lebaran, yang mana keluarga besar merayakannya pada hari Selasa kemarin. Jadi secara ostosmastis, saya yang lebaran hari Rabu-nya, cuma sibuk dari hari Minggu sampai Selasa kemaren. 

Kedua, sisa hari sampai dengan Minggu terpaksa tetap tinggal di rumah karena di kota ini  (Cibinong) dan sekitarnya, saya ndak punya teman untuk dikunjungi. Ada sih beberapa teman, tapi pastinya sibuk dengan agenda lebaran masing-masing. Ke rumah saudara? Saudara saya dari pihak Mama di Jawa Timur juga sibuk berkelana dari kota ke kota. Ke tempat wisata? Males, karena pasti ramai dan tidak nyaman. Ke Mall?  Takut tergoda sale-sale itu secara jatah THR sudah habis. 

Jadilah saya menghabiskan awal sisa liburan ini (dari hari Rabu) seperti robot saja: bangun pagi, setrika, nyuci, nyapu, ngepel, mandi, makan, tidur, mandi, makan, tidur lagi. Sampai Mama protes dan bilang: "urip kok isine mangan, turu, ngising, nguyuh". Hahahaha. Maaf ya, buat yang tidak paham bahasa Jawa. Saya ndak tega menerjemahkannya. Tapi intinya nyuruh saya berkegiatan daripada begitu-begitu saja.

Demi protes Mama itu, akhirnya saya membongkar buku-buku yang sengaja saya bawa di awal liburan tapi tidak tega menyentuh karena tebalnya segede-gede gaban. Ada empat buku yang saya bawa. Dua buku milik Tasaro gk tentang Muhammad, satu buku tentang Khadijah al-Kubro dan satu buku hadist Bukhari. Dua buku pertama saya tamatkan dalam waktu dua malam satu hari. Sekarang sedang melanjutkan yang Khadijah. Ngebut ya? Tentu saja. Mama yang awalnya mau protes lagi karena saya sudah melekan dua hari ini dan tidak nyambung kalau diajak ngomong, akhirnya pasrah saja ketika saya bilang: "lah daripada dibilang urip kok isine mangan, turu, ngising, nguyuh". Hahahaha. Maaf ya, Ma. 

Hehehe. Postingan ini memang ndak penting. Cuma curhatan saya yang sedang pegel di pinggang kebanyakan duduk atau tidur di satu posisi karena membaca buku-buku segede gaban itu. Saya memang merasa liburan ini terlalu panjang, tapi saya menikmatinya kok. Tahun depan, sesuai niatan saya sebelumnya, saya akan merancang lebaran dan liburan yang tidak begitu-begitu saja untuk kami bertiga. Insya Allah.

Oh ya, agak terlambat mengucapkannya tapi lebih baik dari pada tidak: Sudah saya ikhlaskan semua kata dan tindakan teman-teman yang kurang berkenan di hati saya. Mohon maafkan jika saya ada salah ya...Selamat Idul Fitri 1432 H. .
Half Purple and Blue Butterfly