Pages

Juni 12, 2011

I Believe

Ada satu lagu yang selalu kudengarkan setiap kali merasa melow, sedih atau dunia mendadak kelabu dan menyempit: Somewhere Over the Rainbow. Suka versi yang dinyanyikan Connie Talbot daripada yang dinyanyikan Judie Garland. Lebih suka lagi kalau Dira Sugandhi menyanyikannya langsung didepanku. Hahaha....sungguh khayalan tingkat tinggi.

Entah magnet apa yang ada di lagu ini. Setiap kali mendengarnya, serasa diri ini terlempar ke dunia lain. Serasa berada duduk di atas chimneys top sebuah rumah pedesaan, memandang pemandangan nan kecil dan jauh di depan, angin semilir, burung-burung berkicau, daun berguguran...hanya ada aku, sunyi dan suara alam. Teduh, menenangkan, feeling blessed.

Tapi sesiangan ini, bukan lagu itu yang kudengar berulang-ulang. Ada satu lagu lama milik Frankie Laine yang pertama dipopulerkan tahun 50-an berjudul I believe. Berkali-kali dinyanyikan ulang oleh penyanyi ternama seperti Elvis Presley, Tom Jones, Engelbert Humperdick. Aku lebih suka yang dinyanyikan Connie Talbot (lagi). Mungkin karena suara beningnya yang polos dan indah itu, selain lagunya sendiri juga syarat makna.

Seandainya saja suaraku seindah Connie, seandainya saja mungkin, siang ini aku ingin menyanyikannya untuk:  Danan, dengan segudang harapan apapun kesedihan yang singgah segera berlalu....

I believe for every drop of rain that falls
a flower grows
I believe that somewhere in the darkest night
a candle glows
I believe for everyone who goes astray
someone will come
to show the way

I believe, I believe

I believe above the storm the smallest prayer
will still be heard
I believe that someone in the great somewhere
hears every word
Everytime i hear a new born baby cry,
or touch a leaf or see the sky
then i know why, i believe

(mereka bilang ini lagu gospel, buatku apalah artinya...hanya merasai saja maknanya)

Juni 09, 2011

Itu Sama Dengan Menyuruh Avril Lavigne ke Laut Saja!

Menulis itu mudah. Itu kata beberapa orang yang setahuku hobby dan passion-nya memang menulis. Mereka yang sebagian besar dikarunia bakat dan minat lebih di bidang ini. Untukku, menulis itu sulit. Bukan sangat sulit sih; tapi membutuhkan waktu, kemauan dan energi lebih.

Proses mencari ide, menuliskannya, mereview ulang dan lain-lain sampai dengan sebuah tulisan dianggap 'jadi', tentunya membutuhkan waktu. Menjadi sulit untuk ketika waktu yang paling pas untuk proses itu seringkali mengorbankan waktu istirahat setelah seharian bekerja berkutat dengan angka. Akhirnya, seringkali proses menulis sebuah ide adalah pilihan setelah menimbang antara kebutuhan istirahat dan seberapa kuat kemauan untuk menuliskannya saat itu juga. Jika kelelahan fisik dan pikiran mengalahkan kemauan, mangkraklah ide itu untuk sementara. Atau malah hilang jika ternyata tak ada lain 'waktu'. Jika ternyata kemauan yang menang, maka harus mempersiapkan energi lebih setidaknya untuk tetap fokus sampai ide itu menjadi sebuah tulisan dan besoknya tetap semangat bekerja.

Karena itulah sebuah tulisan yang kuanggap 'jadi' adalah berharga. Di sana ada stempel diri, pengorbanan yang dibayar dan kepuasan beraktualisasi. Terserah orang lain menganggapnya bagus atau tidak. Jadi ketika dunia per-blog-an yang kuiikuti sekarang ini diriuhkan dengan kasus copycat, copypaste dan plagiarisme; aku turut nelangsa. Heran dan gemas karena hari gini masih ada orang yang tidak menghargai proses dan usaha orang lain; juga tidak malu mengaku-aku stempel diri orang lain sebagai miliknya? Padahal setiap orang kan unik, punya ciri sendiri-sendiri. Seperti sidik jari saja. Tak ada yang akan menjadi sama persis. Usaha menjadikannya sama persis hanya akan merugikan diri sendiri: menyalahi hukum alam! Teramat mahal dan tidak worth it.

Seperti fashion juga, kan? Setiap orang punya cara dan selera berfashionnya masing-masing. Dua orang dengan pakaian yang sama, tidak ada yang akan benar-benar menjadi sama. Selalu ada kecenderungan untuk tampil menarik dan berbeda dengan orang lain; misalnya dengan membubuhkan aksesoris tertentu yang menjadikannya tidak sama persis. Karena itulah, untuk beberapa orang, memiliki identitas dalam ber-fashion menjadi serius dan mahal.

Jadi, suatu ketika Avril Lavigne marah besar kepada para fans yang "mengikuti" gaya berpakaiannya, kukira itu sangat wajar. Selain karena kita unik dan berkecenderungan ingin menjadi berbeda, siapa yang bisa memahami berapa besar dan berat usaha membangun identitasnya sehingga menjadi setenar itu. Apalagi jika kemudian para fans Avril "mencontek" habis sampai sama persis dan berubah "menjadi" seperti dirinya....yah, kalau menurutku sih itu sama saja dengan mencuri baju Avril Lavigne di depan matanya, memaksanya telanjang, menyuruhnya ke laut dan menganggapnya tak ada. Itu kriminal!

Itu tidak keren, tidak gaul, memuakkan dan menyedihkan. Sungguh.

Juni 06, 2011

Kurang Genit

"Mbak pasti belum menikah ya? Kalau perempuan udah kerja, punya duit gede sendiri, suka gitu deh. Pasti pilih-pilih." ... "Mbaknya pasti kurang genit. Yang genit gitu lho, Mbak. Pake bedak, lipstik, matanya diwarna-warnain, jilbabnya pake yang ada pita-pitanya ditumpuk-tumpuk, alisnya dirapihin, wajahnya dikinclongin ke dokter kaya Bu X. Trus sering jalan-jalan ke depan."


Aku ingin tahu apa ya reaksi kalian para gadis seandainya diberi saran seperti tadi dalam kondisi tiduran telungkup sambil dipijit urat-urat yang melintir di betis dan sibuk mengaduh kesakitan? Pelakunya adalah ibu tukang urut: setengah tua, bersemangat, kuat, sehat-segar-bugar, sedikit cerewet; yang baru pertama kali kalian temui? Mmm, kira-kira baru lima belas menit berkenalan dan perbincangan yang terjadi adalah seputar asal-usul, tempat kerja, status, dan ada-tidaknya pacar? Ingat, si ibu tukang urut ini adalah langganan ibu-ibu kompleks perumahan, sangat direkomendasikan, sibuk dan mobile sehingga untuk mendapatkan jasanya dibutuhkan keberuntungan tingkat tinggi. Dan, kalian tentu saja pada saat itu sedang sangat beruntung serta membutuhkan jasanya. Jadi, bagaimana?

Sekarang sih terpikirkan seandainya terjadi pada orang lain mungkin reaksinya adalah tersinggung dan marah. Tapi reaksiku saat itu adalah: shock, bengong dan tertawa mengiyakan. Pasrah: antara tidak percaya dengan pendengaran, kesakitan dan butuh. Lalu sekarang, menjadikannya lelucon di awal minggu ini sembari berpikir: first impression-ku menyedihkan ya? *hahahaha*






Mei 28, 2011

Malaikat Berhati Baja

Aku memandangmu terlelap dini hari ini. Memandangi jejak waktu di punggung tangan dan wajah cantikmu yang tak beruntung kami warisi. Mengikuti irama nafasmu yang lembut mengayun. Menghitung helai hitam di rambutmu. Mencoba membekukan waktu.

Mama, Mimi punya sebutan untukmu: malaikat berhati baja. Kubaca dalam salah satu tulisannya. Tak sedikit teman-temannya yang ingin mengenal kita. Mereka bilang dia bangga sekali pada kita: padaku, Arief dan terutama kau, Ma. Kau wanita nomor satu  untuknya. Kuat, tegar dan berhati sekokoh baja. Mimi bilang apalah jadinya kami ini tanpamu.

Cintamu yang tak bersyarat itu, bagaimana cara membalas semuanya? Langit mendengarmu selalu, Ma. Satu doamu tak dapat kusamai dengan seribu doaku untukmu.

Aku tak punya sebutan untukmu, Ma. Seandainya kuperas seluruh kata dalam semua bahasa di dunia ini pun, tak akan ada satupun yang mampu mewakilimu. Kau segalaku. Lebih dari akumulasi intisari kata dalam semua bahasa di dunia ini. Bukti cinta-Nya untukku.

Bermimpilah yang indah, Ma. Tentang kita, tentang bahagia. Esok hari ceritakan kepadaku mimpi-mimpi indahmu, agar aku tau arah yang kutuju.

(di kamar kontrakan; terjaga dan siaga dengan raket nyamuk full charged)
Half Purple and Blue Butterfly