"Mbak pasti belum menikah ya? Kalau perempuan udah kerja, punya duit gede sendiri, suka gitu deh. Pasti pilih-pilih." ... "Mbaknya pasti kurang genit. Yang genit gitu lho, Mbak. Pake bedak, lipstik, matanya diwarna-warnain, jilbabnya pake yang ada pita-pitanya ditumpuk-tumpuk, alisnya dirapihin, wajahnya dikinclongin ke dokter kaya Bu X. Trus sering jalan-jalan ke depan."
Aku ingin tahu apa ya reaksi kalian para gadis seandainya diberi saran seperti tadi dalam kondisi tiduran telungkup sambil dipijit urat-urat yang melintir di betis dan sibuk mengaduh kesakitan? Pelakunya adalah ibu tukang urut: setengah tua, bersemangat, kuat, sehat-segar-bugar, sedikit cerewet; yang baru pertama kali kalian temui? Mmm, kira-kira baru lima belas menit berkenalan dan perbincangan yang terjadi adalah seputar asal-usul, tempat kerja, status, dan ada-tidaknya pacar? Ingat, si ibu tukang urut ini adalah langganan ibu-ibu kompleks perumahan, sangat direkomendasikan, sibuk dan mobile sehingga untuk mendapatkan jasanya dibutuhkan keberuntungan tingkat tinggi. Dan, kalian tentu saja pada saat itu sedang sangat beruntung serta membutuhkan jasanya. Jadi, bagaimana?
Sekarang sih terpikirkan seandainya terjadi pada orang lain mungkin reaksinya adalah tersinggung dan marah. Tapi reaksiku saat itu adalah: shock, bengong dan tertawa mengiyakan. Pasrah: antara tidak percaya dengan pendengaran, kesakitan dan butuh. Lalu sekarang, menjadikannya lelucon di awal minggu ini sembari berpikir: first impression-ku menyedihkan ya? *hahahaha*
perubahan itu pasti | berubah itu pilihan | pastikan pilihan, genapkan lingkaran | live the life to the fullest |
Juni 06, 2011
Mei 28, 2011
Malaikat Berhati Baja
Aku memandangmu terlelap dini hari ini. Memandangi jejak waktu di punggung tangan dan wajah cantikmu yang tak beruntung kami warisi. Mengikuti irama nafasmu yang lembut mengayun. Menghitung helai hitam di rambutmu. Mencoba membekukan waktu.
Mama, Mimi punya sebutan untukmu: malaikat berhati baja. Kubaca dalam salah satu tulisannya. Tak sedikit teman-temannya yang ingin mengenal kita. Mereka bilang dia bangga sekali pada kita: padaku, Arief dan terutama kau, Ma. Kau wanita nomor satu untuknya. Kuat, tegar dan berhati sekokoh baja. Mimi bilang apalah jadinya kami ini tanpamu.
Cintamu yang tak bersyarat itu, bagaimana cara membalas semuanya? Langit mendengarmu selalu, Ma. Satu doamu tak dapat kusamai dengan seribu doaku untukmu.
Aku tak punya sebutan untukmu, Ma. Seandainya kuperas seluruh kata dalam semua bahasa di dunia ini pun, tak akan ada satupun yang mampu mewakilimu. Kau segalaku. Lebih dari akumulasi intisari kata dalam semua bahasa di dunia ini. Bukti cinta-Nya untukku.
Bermimpilah yang indah, Ma. Tentang kita, tentang bahagia. Esok hari ceritakan kepadaku mimpi-mimpi indahmu, agar aku tau arah yang kutuju.
(di kamar kontrakan; terjaga dan siaga dengan raket nyamuk full charged)
Mama, Mimi punya sebutan untukmu: malaikat berhati baja. Kubaca dalam salah satu tulisannya. Tak sedikit teman-temannya yang ingin mengenal kita. Mereka bilang dia bangga sekali pada kita: padaku, Arief dan terutama kau, Ma. Kau wanita nomor satu untuknya. Kuat, tegar dan berhati sekokoh baja. Mimi bilang apalah jadinya kami ini tanpamu.
Cintamu yang tak bersyarat itu, bagaimana cara membalas semuanya? Langit mendengarmu selalu, Ma. Satu doamu tak dapat kusamai dengan seribu doaku untukmu.
Aku tak punya sebutan untukmu, Ma. Seandainya kuperas seluruh kata dalam semua bahasa di dunia ini pun, tak akan ada satupun yang mampu mewakilimu. Kau segalaku. Lebih dari akumulasi intisari kata dalam semua bahasa di dunia ini. Bukti cinta-Nya untukku.
Bermimpilah yang indah, Ma. Tentang kita, tentang bahagia. Esok hari ceritakan kepadaku mimpi-mimpi indahmu, agar aku tau arah yang kutuju.
(di kamar kontrakan; terjaga dan siaga dengan raket nyamuk full charged)
Januari 23, 2011
Dalam Hujan, Aku Menunggu
Jumat, 21 Januari 2011. Pukul sepuluh pagi lebih sedikit. Trotoar jalan Gunung Sahari, dekat terminal Senen.
Hujan lebat sedari pagi menciptakan sungai kecil di pinggiran jalan. Payung putih yang kugenggam tak mampu menyelamatkan ujung rok dari percikan hujan. Dingin; sementara bis patas AC Senen - Cibinong yang kutunggu tak juga muncul. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu. Sendiri.
Hari ini aku cuti dari kantor. Dan seharusnya pagi ini aku di rumah: ngobrol dengan mama, tante Tin dan Arief, setelah kamis malam kami sibuk dengan acara seratus hari kepergian Mimi. Kabar tante Ji yang masuk ICU di Pasuruan memaksaku ke Gambir pagi-pagi. Mencari tiket kereta api Argo Anggrek jumat malam untuk tante Tin setelah usulan untuk terbang ditolak: "Tante belum pernah naik kereta eksekutif yang ke surabaya, Nduk. Kepingin".
Tiket sudah tersimpan rapi di tas kecil yang kudekap erat dekat dadaku. Payung putih kecil ini hanya mampu menjaga tubuh bagian atasku dari percikan hujan. Kakiku mulai kedinginan, tapi aku tak berani berteduh di warteg kecil dan sempit pinggiran jalan itu. Tak ada perempuan di sana kecuali ibu penjualnya, dan aku termakan pikiranku sendiri. Wajah lusuh dan tak bersahabat para pekerja dari terminal Senen cukup menciutkan nyaliku.
Untunglah bau harum pandan di adukan nasi putih ibu warteg cukup menghiburku. Campuran harum pandan dan segarnya hujan membawa ingatanku ke hari saat pertama kali aku pulang ke Cibinong lewat Jakarta, dari Surabaya. Tempat yang sama, dengan kondisi berbeda. Saat itu juga masih pagi, pada jam yang hampir sama. Dengan tas dan bawaan yang berat, aku menunggu satu jam lebih dibawah sinar matahari yang mulai terik. Menunggu bis yang sama: patas AC Senen-Cibinong.
Sepuluh tahun lebih telah berlalu dan aku masih menunggu bis yang sama, di tempat yang sama, sendiri. Ingin tertawa, tapi takut disangka gila saat berpikir: "Nasib menunggu bis ini bisa kan kau analogkan dengan menunggu belahan jiwamu itu? Tahun demi tahun berlalu dan Kau masih menunggu bis yang sama? setelah segala terik dan hujan badai itu Kau lewati? Sampai kapan Kau menunggunya datang dan menyelamatkanmu dari global warming?".
Satu cengiran pada diri sendiri, dan tukang bajaj yang parkir didepanku memandang heran. Dalam hati berkata:" Ya, Pak...Saya memang aneh. Suka ngomong ama diri sendiri...hahaha..."
Banyak kendaraan lalu lalang. Cukup banyak kendaraan pribadi, tetapi sebagian besar angkutan umum: angkutan kota, metromini, bajaj, bis dan lain-lain. Hampir satu jam berdiri dan sudah lewat empat kali bis patas Mayasari warna hijau jurusan Senen-Bekasi Timur. Bus-nya besar, sepertinya ber-AC, penampakan masih baru-baru: melintas kencang didepanku. Lelah menunggu, aku sempat berandai-andai: "Kalau saja bis Senen-Cibinong sebagus dan sebanyak itu. Hmm, kalau aku nekad naik bis itu kira-kira nyampe ke cibinong gak ya?". Pertanyaan bodoh yang tak perlu dijawab, tentu saja.
Aku sadar, sebagus apapun bis hijau itu takkan membawaku ke Cibinong. Kalau aku nekad naik, aku boleh manyun sesampainya di Bekasi Timur. Jadilah aku tetap menunggu bis Senen-Cibinong datang, dalam hujan lebat: basah, dingin, di bawah payung putih, di trotoar jalan Gunung Sahari, dekat terminal Senen.
"menerimamu serupa bis hijau itu, sungguh meringankan hatiku. kau tak mungkin merubah trayekmu, kan? kau juga tak mungkin mengijinkanku ikut. tak apa, nanti kalau kau lewat lagi, aku sudah tahu bagaimana seharusnya bersikap. kubantu kau membereskan jalanan, supaya kau cepat dan selamat sampai tujuan .... aku berharap bahagiamu, sungguh."
November 19, 2010
Menarikan Kata: Patah - Patah
"Aku tidak pernah merasa serindu ini pada seseorang. Rindu yang melenyapkan sebagian kekuatan. Meluruhkan kegembiraan pelan-pelan. Begitu dalam. Begitu tak berpengharapan. Tak teraih dan pedih. Aku belum pernah merasa sekosong ini. Terasa seperti ada yang melubangi diriku dan isinya berceceran sedikit demi sedikit kemudian menjadi hampa."... Sadness by ENNO (falling-eve.blogspot.com)
Enno kehilangan ibunya, awal November lalu. Seminggu saja sesudahnya, kelamnya duka sempurna ditarikannya. Bersama kata-kata.
Aku yang malam ini membacanya, terbata-bata. Tarian kata-kata Enno adalah tarian luka yang kupeluk erat sembari terbata mengeja waktu. Esok empat puluh hari kepergianmu, Mia. Dan aku masih tak sanggup menarikan kata, sekalipun patah - patah.
Langganan:
Postingan (Atom)