Pages

November 25, 2007

JAZZ’S SEASON I

Ceritanya nih, kemaren malam aku nonton JakJazz 2007 di Istora Senayan. Minggu lalunya, nonton Jazz Goes To Campus (JGTC) 2007 di FE UI Depok. Jadi, boleh dong kubilang bulan ini adalah musimnya Jazz, setidaknya untukku *hehe*.

Aku bukan penggemar fanatik jazz secara kupingku ini tak pernah keberatan dengan segala aliran musik sepanjang masuk kriteria: enak didengar *dengan syarat dan ketentuan berlaku*. Jadi, mengapa jazz? Musik yang menurut Ratna cuman bisa bikin dia tidur dengan sukses? Well, banyak alasannya.

Pertama, JGTC. Keinginan buat nonton muncul pas baca iklan di sebuah majalah sambil nunggu asinan di Kafe Betawi, SenCi *bener ga sih nulisnya*. Yang ada diotakku: “wah, acaranya kaya yang di Hall ITS kali ya”. Kenyataannya: “Lho, kalo jazz ga ada orkestranya toh”. Yah, maap saja saudara-saudara. Karena belum berpengalaman nonton acara jazz, plus sekalinya nonton musik serius adalah nonton Twillight Orchestra, jadi ya ndak salah toh kalau berpendapat jazz dimainkan dengan orchestra *dasar bego! huehehehe*.

Terlepas dari kesalahan persepsi tadi, alasan sebenernya ngebela-belain ke JGTC adalah pengen nonton Tompi secara live. Yap, aku adalah penggemar suara cempreng nan unik milik Teuku satu ini. Sejak kapan? Hmm… sejak di suatu malam yang sepi ketika acara TV lain amat sangat membosankan, Tuhan menakdirkanku iseng mengganti channel TV ke TVRI: tayangan ulang Tompi pas main di Java Jazz *2005 or 2006,ya? lupa*. Improvisasinya: unik dan keren abis. Pfuiih…jadilah sekarang aku kolektor dua albumnya *hehe*.

Sayangnya, di JGTC kemaren aku ngerasa sedikit kecewa. Selain karena cuma nyanyi 3 lagu, aku ngerasa Tompi nggak all out. Interaksi ama audien juga kurang, nggak seperti waktu nonton di TV. Terbersit juga pikiran buruk: mungkinkah karena acara dibuat oleh mahasiswa? Karena tiketnya murah? Well, info terkini dari si Mimi mungkin disebabkan Depok yang macet secara malam itu juga abis nyanyi Pak Dokter ini musti jaga di RSCM sampai jam dua pagi. Well….who knows?

Tapi untungnya kekecewaan itu lumayan terobati dengan keberhasilan mengiming-imingi Aa Gatot *huehehe…semoga ga kualat :p*. Trus, terobati juga dengan lautan pemandangan indah para daun muda. Mahasiswa, gitu loh…..*huehehe…tetep, yukkkk*.

November 17, 2007

INGINKU, CAHAYA

Ingin, kutangkap cahaya

ketika warna tak daya mewakili

ingin, kuarungi dunia cahaya

kernanya rindu mengeja abadi:

di segi lima memori,

meski tak menyentuh dunia mimpi


inginku, cahaya

(teras seruni, wisma hijau, cimanggis)

November 15, 2007

MASIH BERAHASIA

pernah kubaca pertanda:

ketika daun hijau luruh di rimbun jati

dibingkai pintu tua,

yang kehilangan daunnya

di atas kursi goyang,

yang deritnya seakan berkata:

Ia masih berahasia

(tol priuk, pagi, dalam perjalanan ke muara tawar)

Oktober 09, 2007

DI JAKARTA: TIGA BULAN BERLALU

Jakarta, awal Oktober ini, setiap sore atau malam adalah gerimis. Kadang hanya merintik, kadang menderas. Terkadang berpertanda, kadang diam-diam, mendadak, menyentak, berahasia…

Aku tak sering menjadi melankolis karenanya. Sebagian besar. Adalah tetap pilihan kita di saat hujan: menjadi melankolis atau tidak. Walau seringkali, hujan: suara dan bebauan yang dibawanya, menggiring atmosfir ke arah sana.

Oh, sudahlah…sore ini aku memang menjadi melankolis. Memilih menjadi melankolis. Hujan hanyalah pendukung suasana.
Termasuk kondisi tubuh yang sedang tidak fit karena kecapaian.

Tiga bulan berlalu sejak kepindahanku ke Jakarta. Tiga bulan yang secara keseluruhan boleh kubilang baik-baik saja. Walau kadang merasa betapa sendiri, sepi dan terasing. Oh, no…aku tak hendak mengeluh. Ini sebuah proses adapatasi yang harus kulalui. Sambil sesekali bertanya-tanya bagaimana lingkungan di sini akan memberiku warna.

Mungkin teman-teman kantor di Gresik (bahkan di Bekasi, sekarang) akan bertanya-tanya: bukankah seharusnya segala sepi itu tak perlu? Karena aku lebih dekat dengan keluarga? Well, baiklah. Jarak tempuh kost-ku dan rumah orang tua memang lebih dekat. Kewajiban tak tertulis, tanpa perintah, untuk pulang setiap akhir minggu adalah mudah. Tapi mengapa kost? Itu adalah harga untuk sebuah gengsi, harga diri, atau apalah namanya, yang sudah terlanjur terbentuk diotakku. Sekali aku keluar dari rumah, berarti aku telah siap membangun sebuah ‘rumah’ sendiri. Rumah lahir dan batin.

Bukan, bukan rumah, jarak atau kemacetan di Jakarta yang menyudutkanku dalam sepi. Aku masih punya banyak keceriaan yang sama, tawa yang sama, optimis yang sama, toleransi yang sama, kebaikan dan kelembutan hati (ehm) yang sama. Mungkin juga keluguan (atau kenaifan?) yang sama.

Sepi itu mungkin ada lebih karena sedih. Aku menghabiskan tiga belas tahun hidupku di antara orang-orang: kost, kampung dan kantor, yang kasih sayang adalah peduli walau seringkali tak diucapkan atau diingkari dengan kata-kata. Walau dalam kadar tertentu mungkin memasuki batas mengganggu *hehehe...*.

Aku tak (atau belum?) menemukannya di Jakarta. Setidaknya di luar kantor. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri, tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu. Oh, ayolah…aku mengerti tuntutan dan tekanan hidup di kota besar. Tak bisakah melambat atau berhenti sejenak untuk menikmati kemanusiaan kita? Bukankah nilai yang kita pegang sebagai orang timur kebanyakan adalah sama?

Entah di mana salahnya, aku seringkali jadi merasa terasing ketika segala hal yang seharusnya biasa dilakukan jadi terasa luar biasa atau mengganggu untuk orang lain. Salam yang tak dijawab, senyum yang tak dibalas, pengertian yang berujung celaan. Yah, semacam kau menggeser tempat dudukmu di dekat pintu di angkot untuk seorang bapak, ibu atau mbak-mbak dengan bawaan berat yang berujung lirikan tajam penumpang disebelahmu. Atau pandangan yang terasa meremehkan ketika tempat duduk di bis kau berikan kepada seorang paruh baya atau ibu-ibu hamil. Atau tatapan mata curiga ketika kau membereskan perlengkapan mandi teman kost-mu yang berantakan dan tersebar di lorong. Dan sejenis lainnya.

Mungkin seharusnya dari awal aku tak berharap banyak. Bukankah sejak awal Mimi, adikku, lewat surat yang ditinggalkannya di meja kost-ku sedikit mengingatkan: “…Mbak, laptopmu tak kunci di lemari. Kuncinya plus kunci kamarmu tak titipin ke Mbak Atin. Jangan naruh barang sembarangan di kost. Ati-ati, di Jakarta banyak orang yang ndak bisa dipercaya.”…

Aku, mungkin memang terlalu naif.

Aku memilih menjadi melankolis sore ini karena mbak Prapti, asisten di tempat kost, pamit pulang ke desa malam ini juga. Si mbak adalah salah satu dari empat asisten yang jarang kutemui kecuali malam hari ketika mereka menyusun baju bersih di locker, mematikan lampu selasar depan kamar, ketika aku mengulurkan majalah, tabloid atau koran yang telah kubaca. Kadang juga kusapa sekedarnya di sabtu pagi atau minggu sore ketika aku mencuci baju di lantai teratas. Semalam mbak Prapti mengulungkan selembar surat yang ditulis di balik kertas bekas fancy sticker: dari tiga temannya yang telah mudik dan tidak kembali ke Jakarta. Entah mengapa mengingatnya membuat dada menyesak. Sebagian karena sedih, kehilangan, dan sebagian lagi karena harapan.

Dimulai dengan: dear, mbak Rona, dan sebuah tulisan arab gundul berbunyi Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatu, surat itu berisi:

“Mbak sebelum dan sesudahnya kami berterima kasih …. Dan kami juga mau minta maaf jika selama ini kami telah berbuat kesalahan sama Mbak. Semoga rizkynya Mbak Rona lancar dan cepat mendapatkan calon yang baik dan yang bisa menjadi imam dalam keluarga. Amiiin. Kami: Rina,Iis, Lulux.”

Aku mendapat doa sebanyak itu hanya karna sapa sederhana tanpa perlu banyak kata. Seringkali hanya sebuah anggukan dan senyuman. Tulus. Well, what can I say? Jakarta… aku tidak akan pernah menyerah.

Half Purple and Blue Butterfly