Semalam, selepas maghrib, di atas sajadah, masih berkerudung mukena,
kuambil cermin dan kuajukan tanya: "Bagaimana cara membunuh gerimis?"
Sunyi...Tak ada jawab...
Cermin tak bergeming dan malam memeta jelas kesunyian…
"Bagaimana cara membunuh gerimis???" tanya bayang-bayang tiba-tiba. "Mengapa gerimis? Apa salah gerimis? Bukankah ia yang setia kau nanti dan kau akrabi disetiap rinainya? Kapanpun jua?... Mengapa gerimis???"
Aku diam. Menggoyang cermin. Berharap bayang-bayang pergi…
Sia-sia...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Mengapa gerimis?...
Membatin kujawab:
Karena rinainya terlalu deras, aku tak bisa membunuh hujan. Karena gerimis ada sebelum hujan jadi kucoba saja membunuh gerimis….Karena hujan sanggup membadai, sedang gerimis...
"Bukan hujan yang mampu membadai, tapi gerimis yang mengundang badai. Begitukah?" tanya bayang-bayang.
Aku diam...
"Kau lupa? Gerimis yang menghujan hanya menerima fitrahnya. Ia tak pernah meminta turun ke bumi menjadi gerimis atau hujan, memberi kesejukan atau mencipta badai..." kata bayang-bayang. "Ia seharusnya hanya turun dan menghilang dalam pelukan bumi."
Aku masih terdiam...
"Aku bertanya-tanya badai apa yang pernah kau alami? Begitu dahsyatnya hingga kau ingin membunuh gerimis?" tanya bayang-bayang.
Aku membisu...
"Jika kau takut amukan badai...Jika tak ingin hujan itu membadai, maka jangan biarkan ia lepas dari pelukan bumi..." lanjut bayang-bayang. "Atau jika kau tak mampu menahannya, mengapa tak kau tanya saja cara membunuh gerimis kepada matahari? Bukankah ia yang mengundang naik gerimis sebelum merintik?"
Sudahlah...
Kudekap cermin di dada, membunuh bayang-bayang. Terpekur diam dan bertanya-tanya: Mungkin memang seharusnya kutanya cara membunuh gerimis pada matahari...
(Aku tahu tanya itu tak kan pernah kutemukan jawabnya sekalipun kutanya pada matahari. Karena matahari, tak kan pernah mampu membunuh gerimis. Begitu pun aku...)
perubahan itu pasti | berubah itu pilihan | pastikan pilihan, genapkan lingkaran | live the life to the fullest |
Oktober 25, 2005
Oktober 04, 2005
SENYUMKU UNTUKMU, SENYUMMU UNTUKKU
Kemarin, tidak sengaja nonton iklan sinetron di TV. Judulnya: Keluarga Senyum. Jangan tanya bagus atau tidak karena aku belum pernah menonton sinetron ini. Tapi karenanya aku jadi merenungkan sesuatu. Senyum.
Senyum, sedekah paling murah yang bisa kita beri. Paling murah karena tentu saja tidak butuh modal material yang mengikuti. Cukup tarik ujung bibir ke atas maka terbentuklah sebuah senyuman. Tapi…itu saja tak cukup. Senyum yang nilainya sedekah aku rasa tentu saja harus berasal dari hati. Kalau aku jadi malaikat, males kan mencatat nilai amal untuk sebuah senyum yang dibibir dan dihatinya nggak sama. Hmm…
Sebenernya mudah menebar senyum (selain salam, tentunya) kalau kita mau. Murah, meriah, menenangkan. Apalagi kalau yang kita beri senyuman membalas dengan senyum pula. Alamak…damainya…Tapi jangan keterusan ke mana-mana. Takut nggak bisa jaga hati (terutama buat yang berlainan jenis) hehehe.
Buat aku, senyum itu kalau keluarnya dari hati efeknya menyembuhkan. Sungguh. Kalau lagi bete, sedih, galau, kesepian…tebar aja senyum ke teman-teman yang kita jumpai walau susah sungguh. Percaya atau tidak, atmosfirnya bisa berbeda. Kalau bahasa psikologinya (mungkin) senyum itu tanda kita “terbuka” dan welcome ama orang lain. Trus kebanyakan orang kan akhirnya membalas senyum kita (walau kadang juga tidak), yang ujung-ujungnya terjadilah komunikasi. Dengan berkomunikasi, setidaknya sebagian beban itu bisa dihilangkan. Terserah sih kalau kemudian komunikasi itu berbuah curhat. But, tetap hati-hati hehehe.
Senyum yang paling susah itu kalau kita memberikannya ke orang yang sukses membuat kita jengkel, bete, marah, pokoknya yang mengaduk-aduk emosi. Jangankan senyum. Bawaannya pasti pengen berantem saja kan…Tapi, berdasarkan pengalaman (ehm) ternyata ada efek positifnya lho. Bisa meredam emosi sehingga bisa berpikir dan memandang permasalahan lebih jernih. Coba saja. Ketika mau memulai tersenyum kepada yang bersangkutan, susah kan…karena emosi sedang bergolak. Karena itu kita mesti meng-cooling down emosi kita dulu sebelum bisa memberi senyuman. Tapi itu memang tergantung kemauan kita sih hehehe. Setidaknya kalau tidak sukses tersenyum, rendahkan saja nada suara. Mungkin bisa berhasil :p.
Nah, Insya Allah besok mulai puasa Ramadhan. Kita mesti berlomba-lomba meningkatkan amalan ibadah di bulan suci ini. Memang sih, puasa itu yang menentukan dan menghitung amalannya Allah SWT langsung. Mau diterima atau tidak, itu rahasia-Nya. Jadi mengapa nggak kita memperbanyak bersedekah dengan senyuman? Senyuman dari hati tentu saja. Kalau belum mampu memberi senyum, setidaknya buatlah orang tersenyum kepada kita. Siapa tahu dengan senyum kita or senyum orang lain ke kita, Allah akan tersenyum untuk kita. Setuju?
…
Ramadhan sebentar lagi…
Tralala..trilili…lili…
…
(tolong ya dinyanyiinnya sama persis ama lagu anak-anak yang menjelang lebaran itu :D :p)
Senyum, sedekah paling murah yang bisa kita beri. Paling murah karena tentu saja tidak butuh modal material yang mengikuti. Cukup tarik ujung bibir ke atas maka terbentuklah sebuah senyuman. Tapi…itu saja tak cukup. Senyum yang nilainya sedekah aku rasa tentu saja harus berasal dari hati. Kalau aku jadi malaikat, males kan mencatat nilai amal untuk sebuah senyum yang dibibir dan dihatinya nggak sama. Hmm…
Sebenernya mudah menebar senyum (selain salam, tentunya) kalau kita mau. Murah, meriah, menenangkan. Apalagi kalau yang kita beri senyuman membalas dengan senyum pula. Alamak…damainya…Tapi jangan keterusan ke mana-mana. Takut nggak bisa jaga hati (terutama buat yang berlainan jenis) hehehe.
Buat aku, senyum itu kalau keluarnya dari hati efeknya menyembuhkan. Sungguh. Kalau lagi bete, sedih, galau, kesepian…tebar aja senyum ke teman-teman yang kita jumpai walau susah sungguh. Percaya atau tidak, atmosfirnya bisa berbeda. Kalau bahasa psikologinya (mungkin) senyum itu tanda kita “terbuka” dan welcome ama orang lain. Trus kebanyakan orang kan akhirnya membalas senyum kita (walau kadang juga tidak), yang ujung-ujungnya terjadilah komunikasi. Dengan berkomunikasi, setidaknya sebagian beban itu bisa dihilangkan. Terserah sih kalau kemudian komunikasi itu berbuah curhat. But, tetap hati-hati hehehe.
Senyum yang paling susah itu kalau kita memberikannya ke orang yang sukses membuat kita jengkel, bete, marah, pokoknya yang mengaduk-aduk emosi. Jangankan senyum. Bawaannya pasti pengen berantem saja kan…Tapi, berdasarkan pengalaman (ehm) ternyata ada efek positifnya lho. Bisa meredam emosi sehingga bisa berpikir dan memandang permasalahan lebih jernih. Coba saja. Ketika mau memulai tersenyum kepada yang bersangkutan, susah kan…karena emosi sedang bergolak. Karena itu kita mesti meng-cooling down emosi kita dulu sebelum bisa memberi senyuman. Tapi itu memang tergantung kemauan kita sih hehehe. Setidaknya kalau tidak sukses tersenyum, rendahkan saja nada suara. Mungkin bisa berhasil :p.
Nah, Insya Allah besok mulai puasa Ramadhan. Kita mesti berlomba-lomba meningkatkan amalan ibadah di bulan suci ini. Memang sih, puasa itu yang menentukan dan menghitung amalannya Allah SWT langsung. Mau diterima atau tidak, itu rahasia-Nya. Jadi mengapa nggak kita memperbanyak bersedekah dengan senyuman? Senyuman dari hati tentu saja. Kalau belum mampu memberi senyum, setidaknya buatlah orang tersenyum kepada kita. Siapa tahu dengan senyum kita or senyum orang lain ke kita, Allah akan tersenyum untuk kita. Setuju?
…
Ramadhan sebentar lagi…
Tralala..trilili…lili…
…
(tolong ya dinyanyiinnya sama persis ama lagu anak-anak yang menjelang lebaran itu :D :p)
September 15, 2005
100 MILYAR MATAHARI…
Kemarin sore di ruanganku. Seorang bapak, teman kerjaku, mengeluarkan pernyataan pribadi sehubungan pelatihan ESQ yang kami ikuti minggu lalu. Menurutnya ada yang salah dalam pelatihan kemarin. Aku, yang mendengarkan sambil lalu, membenarkan pernyataan itu sembari menerangkan bahwa dalam buku Pak Ary memang ada beberapa kesalahan penulisan yang pernah disentil oleh Dikman dalam forum alumni.
Hoho, ternyata maksudnya bukan itu. Si Bapak mempermasalahkan kesalahan penggolongan Asma’ul Husna sebagai sifat-sifat Allah bukannya nama-nama Allah oleh sang instruktur. Aku yang ga mudeng hanya diam, nyengir sambil manggut-manggut aja. Takut salah ngomong karena aku sendiri belum paham masalah ini.
Sang Bapak bilang kalau kemaren dia dan temannya tidak nangis sama sekali. Nah lo, kok jadi ke nangis-nangis segala? Kenapa begitu? Karena intinya sang bapak gak sepaham dengan sang instruktur jadi nggak perlu nangis-nangis segala. Dengan berapi-api beliau menyesalkan sang instruktur yang menurutnya sangat memaksakan pahamnya ke para peserta dengan tidak memberi kesempatan untuk acara tanya-jawab. Aku bingung. Paham? Paham apaan? Setahuku sepanjang acara sama sekali gak ada yang menyimpang. Model yang digunakan juga hanya ‘mengonceki’ rukun iman dan rukun islam aja. Apa aku yang bodoh ya…wah, diam aja deh…mungkin ilmuku masih cetek jadi gak mudeng.
Tambah lama didengerin, omongan si Bapak jadi berasa emosional sekali menyudutkan sang instruktur. Bahkan akhirnya sang Bapak berkata bahwa seharusnya sang instruktur menyadari bahwa hidayah itu hak Allah, jadi sang instruktur tidak boleh memaksakan pahamnya dengan semena-mena.
Gubrak!! Asli aku bengong. Sepengetahuanku sang instruktur sudah meworo-woro dari awal bahwa kehadiran kami (termasuk dirinya sendiri) adalah karena kehendak Allah. Bahwa hidayah itu milik Allah semata. Bahwa kehadirannya hanyalah sekedar ‘mengingatkan’ kebenaran-Nya, yang dikemas sedemikian rupa secara ilmiah dan menggunakan multimedia canggih sehingga lebih mudah diterima.
Aku diam, menunduk dan dalam hati beristighfar. Rasanya nelangsa sekali.
Asma’ul Husna yang Bapak kritik itu diperdengarkan di hari ketiga. Hari pertama sang instruktur mengetengahkan bukti-bukti kebesaran dan kasih-sayang-Nya lewat ayat-ayat cinta-Nya. Hari kedua masih sama ditambah tentang kerasulan Muhammad SAW dan sedemikian besarnya cinta beliau kepada umatnya. Bapak, saya yakin kami semua yang tersuruk-suruk pada saat itu pastilah karena hati kami sedang sangat tersentuh. Dan menangis adalah satu reaksi spontan yang dapat kami lakukan. Bagaimana dengan Bapak?
Ah, Bapak maafkan aku. Maafkan jika tiba-tiba aku merasa ada nada keangkuhan dalam pernyataan-pernyataan Bapak. Mungkin ilmu bapak sudah tinggi dan lebih luas dariku ataupun sang instruktur. Sehingga bapak dapat menghakimi sang instruktur dan kami semua yang menangis waktu itu. Kami semua yang menangis karena mengingat kasih sayang-Nya. Tapi bukankah Bapak bilang bahwa hidayah itu milik Allah semata? Akan diberikan kepada SIAPA, DIMANA, KAPAN dan dengan CARA bagaimana, itu adalah hak Allah semata.
(Mengingat percakapan itu dan meredam segala rasa yang membuncah di dada. Merenungi kata-kata mas Gonot di kursi belakang mobil Pak Wachid sore itu: “Ron, ada 100 milyar matahari di luar sana”. Kataku: “Mungkin lebih banyak lagi”…Subhanallah)
Hoho, ternyata maksudnya bukan itu. Si Bapak mempermasalahkan kesalahan penggolongan Asma’ul Husna sebagai sifat-sifat Allah bukannya nama-nama Allah oleh sang instruktur. Aku yang ga mudeng hanya diam, nyengir sambil manggut-manggut aja. Takut salah ngomong karena aku sendiri belum paham masalah ini.
Sang Bapak bilang kalau kemaren dia dan temannya tidak nangis sama sekali. Nah lo, kok jadi ke nangis-nangis segala? Kenapa begitu? Karena intinya sang bapak gak sepaham dengan sang instruktur jadi nggak perlu nangis-nangis segala. Dengan berapi-api beliau menyesalkan sang instruktur yang menurutnya sangat memaksakan pahamnya ke para peserta dengan tidak memberi kesempatan untuk acara tanya-jawab. Aku bingung. Paham? Paham apaan? Setahuku sepanjang acara sama sekali gak ada yang menyimpang. Model yang digunakan juga hanya ‘mengonceki’ rukun iman dan rukun islam aja. Apa aku yang bodoh ya…wah, diam aja deh…mungkin ilmuku masih cetek jadi gak mudeng.
Tambah lama didengerin, omongan si Bapak jadi berasa emosional sekali menyudutkan sang instruktur. Bahkan akhirnya sang Bapak berkata bahwa seharusnya sang instruktur menyadari bahwa hidayah itu hak Allah, jadi sang instruktur tidak boleh memaksakan pahamnya dengan semena-mena.
Gubrak!! Asli aku bengong. Sepengetahuanku sang instruktur sudah meworo-woro dari awal bahwa kehadiran kami (termasuk dirinya sendiri) adalah karena kehendak Allah. Bahwa hidayah itu milik Allah semata. Bahwa kehadirannya hanyalah sekedar ‘mengingatkan’ kebenaran-Nya, yang dikemas sedemikian rupa secara ilmiah dan menggunakan multimedia canggih sehingga lebih mudah diterima.
Aku diam, menunduk dan dalam hati beristighfar. Rasanya nelangsa sekali.
Asma’ul Husna yang Bapak kritik itu diperdengarkan di hari ketiga. Hari pertama sang instruktur mengetengahkan bukti-bukti kebesaran dan kasih-sayang-Nya lewat ayat-ayat cinta-Nya. Hari kedua masih sama ditambah tentang kerasulan Muhammad SAW dan sedemikian besarnya cinta beliau kepada umatnya. Bapak, saya yakin kami semua yang tersuruk-suruk pada saat itu pastilah karena hati kami sedang sangat tersentuh. Dan menangis adalah satu reaksi spontan yang dapat kami lakukan. Bagaimana dengan Bapak?
Ah, Bapak maafkan aku. Maafkan jika tiba-tiba aku merasa ada nada keangkuhan dalam pernyataan-pernyataan Bapak. Mungkin ilmu bapak sudah tinggi dan lebih luas dariku ataupun sang instruktur. Sehingga bapak dapat menghakimi sang instruktur dan kami semua yang menangis waktu itu. Kami semua yang menangis karena mengingat kasih sayang-Nya. Tapi bukankah Bapak bilang bahwa hidayah itu milik Allah semata? Akan diberikan kepada SIAPA, DIMANA, KAPAN dan dengan CARA bagaimana, itu adalah hak Allah semata.
(Mengingat percakapan itu dan meredam segala rasa yang membuncah di dada. Merenungi kata-kata mas Gonot di kursi belakang mobil Pak Wachid sore itu: “Ron, ada 100 milyar matahari di luar sana”. Kataku: “Mungkin lebih banyak lagi”…Subhanallah)
September 12, 2005
ADIKKU, BUKAN SEPUPUKU
Apa kabarmu hari ini? Hari pertama kau sandang amanah baru sebagai suami dan menantu? Adakah semerbak bunga masih menyisakan harum dan semarak pesta semalam? Saat dengan tegas kau ucapkan ikrar itu dihadapan-Nya. Teriring doa, disaksikan berpasang mata yang menatap haru padamu…
Tahukah kau? Aku di sana menatapmu dengan segenap hati. Dengan doa yang teriring hanya untukmu. Aku di sana, menahan haru, menatap punggungmu yang kau tegakkan lurus ke calon ayah mertuamu. Aku tahu, segala rasa itu pastilah berkecamuk didadamu. Bahagia, takut, haru, bercampur menjadi satu. Andai dapat kutepuk punggungmu dan kugenggam tanganmu sekedar menentramkan hati. Andai dapat kubisikkan kalimat ini padamu: “Tenanglah, aku di sini bersamamu.” Apa dayaku…
Tahukah kau? Mungkin memang sebaiknya hanya kutatap punggungmu. Karena aku pastilah hanya akan membuatmu menangis. Kau yang terbiasa mencari mataku, meminta sekedar kekuatan. Maafkan, karena air mata ini tidak dapat kutahan lagi…
Maka segala penggalan cerita itu berkelebatan dibenakku. Masa kecil kita, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah…
Kau kecil yang terbiasa mengekor dibelakangku. Yang tiap liburan sekolah hanya mau menghabiskannya dirumah orang tuaku. Bermain, bercanda, bertengkar, berbaikan lagi.
Kau remaja yang memujaku, yang segalanya ingin seperti aku. Yang ingin belajar serius bahasa inggris ketika aku sedikit bisa mengejekmu dengan bahasa asing itu. Yang dengan semangat menyala menggeluti dunia kepanduan karena aku pernah dengan congkak memamerkan lencana-lencana itu padamu.
Kau dewasa yang tak jua dapat menghentikan kemanjaanmu. Pun ketika ia telah hadir di antara kita. Bidadarimu. Maka ingatkah betapa jengahnya aku didepannya ketika kau dengan segala ceritamu menunjukkan kasihmu lewat cubitan, pukulan, pelukan…
Maka maafkanlah aku ketika saat itu kupinta kau menghentikan segala unjuk sayang itu. Kau sepupuku, bukan adik kandungku. Maka kubuatlah jarak itu membentang di antara kita. Kau terluka. Maka kuterima segala protes dan ledakan amarahmu. Kau menantang siapapun yang membuatku memintamu menghentikannya. Duhai, beranikah kau menantang Tuhanmu…
Aku menyayangimu…sungguh. Sama seperti aku menyayangi semua adikku. Kita mungkin lahir tak sedarah. Tapi buatku, darah kita tak berbeda.
Maka maafkanlah kakakmu ini, ketika sore sebelum akad nikahmu…hanya bisa mengomelimu panjang-pendek dan bukannya memberimu kata-kata yang akan menegarkan langkahmu. Aku tahu kau menyayangiku…ketika kaupinta aku, bukan para sesepuh dan orang tuamu, untuk memilih jas yang akan kau pakai, ketika kau memintaku memilih dasi yang serasi dengan jas itu, ketika kau minta aku memasangkan dasimu, ketika kau minta aku menyematkan bunga korsase itu didadamu. Aku menyayangimu…pun ketika kau menghapus air mata selepas kau ucapkan ikrar itu.
Sejak janji itu kau ikrarkan, kau akan melangkah ke dunia dengan tanggung-jawab baru…dengan seorang bidadari mengiringi langkahmu. Tapi kapanpun itu, jika kau membutuhkanku…aku di sini.
Karena kau adikku, bukan sekedar sepupuku.
Tahukah kau? Aku di sana menatapmu dengan segenap hati. Dengan doa yang teriring hanya untukmu. Aku di sana, menahan haru, menatap punggungmu yang kau tegakkan lurus ke calon ayah mertuamu. Aku tahu, segala rasa itu pastilah berkecamuk didadamu. Bahagia, takut, haru, bercampur menjadi satu. Andai dapat kutepuk punggungmu dan kugenggam tanganmu sekedar menentramkan hati. Andai dapat kubisikkan kalimat ini padamu: “Tenanglah, aku di sini bersamamu.” Apa dayaku…
Tahukah kau? Mungkin memang sebaiknya hanya kutatap punggungmu. Karena aku pastilah hanya akan membuatmu menangis. Kau yang terbiasa mencari mataku, meminta sekedar kekuatan. Maafkan, karena air mata ini tidak dapat kutahan lagi…
Maka segala penggalan cerita itu berkelebatan dibenakku. Masa kecil kita, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah…
Kau kecil yang terbiasa mengekor dibelakangku. Yang tiap liburan sekolah hanya mau menghabiskannya dirumah orang tuaku. Bermain, bercanda, bertengkar, berbaikan lagi.
Kau remaja yang memujaku, yang segalanya ingin seperti aku. Yang ingin belajar serius bahasa inggris ketika aku sedikit bisa mengejekmu dengan bahasa asing itu. Yang dengan semangat menyala menggeluti dunia kepanduan karena aku pernah dengan congkak memamerkan lencana-lencana itu padamu.
Kau dewasa yang tak jua dapat menghentikan kemanjaanmu. Pun ketika ia telah hadir di antara kita. Bidadarimu. Maka ingatkah betapa jengahnya aku didepannya ketika kau dengan segala ceritamu menunjukkan kasihmu lewat cubitan, pukulan, pelukan…
Maka maafkanlah aku ketika saat itu kupinta kau menghentikan segala unjuk sayang itu. Kau sepupuku, bukan adik kandungku. Maka kubuatlah jarak itu membentang di antara kita. Kau terluka. Maka kuterima segala protes dan ledakan amarahmu. Kau menantang siapapun yang membuatku memintamu menghentikannya. Duhai, beranikah kau menantang Tuhanmu…
Aku menyayangimu…sungguh. Sama seperti aku menyayangi semua adikku. Kita mungkin lahir tak sedarah. Tapi buatku, darah kita tak berbeda.
Maka maafkanlah kakakmu ini, ketika sore sebelum akad nikahmu…hanya bisa mengomelimu panjang-pendek dan bukannya memberimu kata-kata yang akan menegarkan langkahmu. Aku tahu kau menyayangiku…ketika kaupinta aku, bukan para sesepuh dan orang tuamu, untuk memilih jas yang akan kau pakai, ketika kau memintaku memilih dasi yang serasi dengan jas itu, ketika kau minta aku memasangkan dasimu, ketika kau minta aku menyematkan bunga korsase itu didadamu. Aku menyayangimu…pun ketika kau menghapus air mata selepas kau ucapkan ikrar itu.
Sejak janji itu kau ikrarkan, kau akan melangkah ke dunia dengan tanggung-jawab baru…dengan seorang bidadari mengiringi langkahmu. Tapi kapanpun itu, jika kau membutuhkanku…aku di sini.
Karena kau adikku, bukan sekedar sepupuku.
Langganan:
Postingan (Atom)