Pages

Oktober 31, 2011

Girls Day Out

Kalo kata orang-orang tua, saya harusnya agak prihatin sehubungan kepergian mama berhaji. Membatasi keluar-keluar rumah, membatasi bersenang-senang dan banyak-banyak berdoa. Eeee, tapi gimana ya...saya doa mah jalan terus. Tapi ga boleh bersenang-senang? Itu ukurannya gimana? Tiap orang beda-beda kan? Lagipula cuma liat pameran batik. Itu juga memenuhi undangan sebulan lalu dari toko langganan di Trusmi, Cirebon. Memenuhi janji wajib loh hukumnya. Jadi ya, begitulah....saya dan Ucik menghabiskan Sabtu malam kemarin, nongkrong di stan batik toko langganan itu. Acaranya di ruang Cendrawasih JCC, the 4th KSE atau apalah gitu.

ngabisin cemilan yang disediain...mumpung gratis hehehe

Saya belum pernah cerita ya kalo saya cinta, jatuh cinta, cinta setengah hidup ama batik jauh sebelum UNESCO memutuskannya jadi warisan dunia. Lupa tepatnya sejak kapan, tapi saya rasa pengaruh hobby mantengin or baca cerita wayang kayanya. Pas jaman SMU, ketika teman di pelajaran seni-rupa sibuk menggambar abstrak atau apalah untuk desain cetakan tekstil, saya memilih berjuang sekuat tenaga menggambar motif batik. Saat sibuk mengerjakan skripsi dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain (Unair dan Ubaya), saya tak lupa berburu buku-buku tentang batik untuk refreshing. Saya memulai koleksi sejak awal bekerja. Koleksi pertama saya adalah batik Madura motif sekar jagad warna putih coklat tua buatan pengrajin di Tanjungbumi, Bangkalan. Dan sayangnya, sampai sekarang itulah satu-satunya batik Madura koleksi saya. Bertahun-tahun tinggal di Surabaya, saya belum sempat mengeksplor batik Tanjungbumi. Hiks hiks... 

mbak Sesi, pewaris kedua Batik Lia; toko langganan saya di Trusmi

Sejauh ini saya mengagumi sejarah, filosofi dan keanggunan batik Jogja-Solo, warna merah khas batik Lasem, warna dan motif batik Madura yang khas dan berkelas, klasiknya motif batik Indramayu, kesederhanaan motif batik Tuban, warna-warni motif buketan batik Pekalongan. Tapi ya, favorit saya adalah batik Cirebonan. Saya mengagumi keragaman warna, kehalusan garis (wit) dan motif-motif pesisirannya. Seperti umumnya batik pesisiran, batik Cirebonan mendapat banyak pengaruh dari kultur Belanda (buketan kembang, kumpenian), Cina (naga, singa, burung phoenix, kupu), dan Jepang Hokokai (pola pagi sore) selain motif kehidupan sehari-hari di daerah pesisiran. Dan dari semua motif batik Cirebonan, saya sangat menyukai motif mega mendung. Motif yang awalnya hanya dipakai oleh kalangan bangsawan Cirebon, sekarang banyak dijumpai dalam warna-warni yang menawan.

batik tulis motif mega mendung, pesanan mbak Yanti


Kecintaan saya pada batik Cirebon dipicu oleh provokasi Mimi ketika dia menjalankan tugas pra PNS di Cirebon selama sebulan. Pulang ke Jakarta sambil membawa batik-batik cantik berwarna-warni yang langsung membulatkan tekad saya mengunjungi desa pengrajinnya di Trusmi, Cirebon. Akhirnya, sampai sekarang minimal dua bulan sekali saya berkunjung ke sana. Selain untuk refreshing dan wisata kuliner, saya berburu batik untuk koleksi. Terutama motif klasik dan yang tidak biasa (menurut saya). 

Kegiatan ini pelan-pelan saya tularkan ke teman-teman di lingkungan kantor. Kami berangkat hari Sabtu naik KA Cirebon Express pukul 06.00 pagi dan pulang hari yang sama naik KA Cirebon Express pukul 18.15. Biasanya saya ajak mereka naik angkot apa saja di depan stasiun Cirebon ke arah perempatan Grage Mall untuk sarapan nasi jamblang Mang Dul. Selesai makan, naik angkot GP ke arah perempatan Plered, menuju ke desa Trusmi Kulon. Seharian kami ngubek-ngubek toko yang tersebar di daerah itu. Menahan makan siang dengan tahu gejrot atau rumba (pecel) khas Cirebon, sebelum mengakhirkan makan siang pada sore hari di Empal Gentong Amarta. Sorenya, pulang ke Jakarta dengan perut kenyang, hati puas dan kantong tipis. Hahahaha...

bahagia, di antara wangi malam dan warna-warni batik

Di desa Trusmi Kulon ini, saya punya toko langganan yang pasti jadi tujuan utama setiap kali saya berkunjung ke sana. Nama tokonya Batik Lia. Sekian lama ngubek-ngubek daerah ini, saya cocoknya ya nongkrong di toko ini. Koleksi-koleksinya banyak yang nyantol di hati saya. Kalo ada teman-teman yang mau ke sana, dari kota Cirebon menuju ke perempatan Plered, belok kanan ke desa Trusmi Kulon, jalan lurus sampai perempatan kecil, jalan lurus lagi, toko ini ada di sebelah kiri. Kenapa saya mau promosi di sini? Karena Sabtu lalu itu si Ibu pemilik toko berbaik hati memberi saya hadiah batik tulis halus yang cuantik sekali. Hehehe. Eh, tapi sungguh...koleksi batik di sini bagus-bagus kok. Mau bukti? Liat foto berikut deh ^^.

cantik ya batiknya...si uciknya mah kagak huahahaha

batik tulis hasil hunting saya Sabtu lalu...

kalo ada yang berminat, saya rela melepasnya lho...


Hahaha saya jadi nulis banyak gini. Maklumlah, namanya juga cintahhhh *kedip-kedip*. Kalo teman-teman sempat mampir ke Cirebon, sempetin mampir ke Trusmi ya. Batik-batik saya di atas memang yang tulis halus. Kebanyakan untuk koleksi saja. Tapi di sana, banyak juga macam-macam bahan mulai dari yang cap/ print, batik tulis dari beragam kualitas, pakaian jadi dengan beragam corak, warna, model dan harga. Kalau kalian cinta batik, bahkan seandainya belum cinta sekalipun, saya jamin pasti senang berkunjung ke sana. Kalaupun tidak membeli, mata dan hati ini jadi fresh. Setidaknya, itu yang terjadi pada saya. ^^

Oktober 29, 2011

Keledai

Satu minggu ini pikiran saya seringnya penuh dengan keledai. Bukan, saya tidak sedang terpikir mengajukan mereka menjadi opsi pilihan hewan qurban selain kambing dan sapi. Setahu saya itu memang tidak diperbolehkan ya? Saya cuma sedang mikir keledai itu kenapa ya kok identik dengan kebodohan? Lalu juga mikir tentang pepatah atau apalah yang kira-kira bunyinya terasa berlawanan:

'hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali'. 

 dan

'bahkan keledai tidak jatuh di lubang yang sama dua kali'. 

Jadi, sebenernya keledai jatuh gak sih di lubang yang sama dua kali?  Atau jangan-jangan itu dua keledai yang berbeda intelegensia kali ya. Hehehe...mikir kok ndak penting gini. Tapi kira-kira dari keduanya benar gak sih kalo saya simpulkan bahwa hanya manusia bodoh (lebih bodoh dari keledai) yang tidak belajar dari pengalaman sehingga terperosok pada kesalahan yang sama? Hemmm....

Baiklah, memang tak ada asap kalau tak ada api. Saya mikir tentang keledai karena sedang merasa bodoh atau dibodohi. Terancam merasa lagi emosi karena sesuatu yang sama, hanya karena tidak belajar dari pengalaman lalu. Atau karena memang saya yang naif? Entahlah.

Jadi, suatu ketika saya pernah marah. Lebih tepatnya murka. Saya tak suka kalau sampai dalam kondisi begitu, karena saya tahu benar saya jenis orang yang tak takut membakar sekalipun saya ikut hangus terbakar. Untung saya masih bisa meredamnya, hanya sempat merepet panjang pendek berapi-api di depan beberapa teman saja. Nalar saya masih jalan, Alhamdulillah.

Awalnya begini. Suatu ketika ada gosip tak sedap yang sampai di telinga saya tentang seorang teman. Daripada penasaran, saya konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan pada suatu kesempatan. Saya tanya baik-baik gosip itu dan dijawab gosip itu tidak benar. Caranya menjawab sungguh meyakinkan. Saya memilih berbaik sangka saja, dan mencoba meluruskan gosip itu.

Jadi ketika di luaran teman-teman lain mulai menggosip, saya dengan penuh keyakinan menyangkalnya dengan jawaban konfirmasi. Sekalipun mereka menyodorkan bukti pun, saya masih keukeuh berbaik sangka. Sampai suatu ketika, saya mendapati kenyataan bahwa gosip itu benar adanya. Saya tak bisa melabrak teman saya  karena dia selalu menghindar (sudah dilakukan agak lama, tapi saya baru menyadarinya). Saya marah, murka, karena merasa DIBOHONGI, DIPERALAT dan DILECEHKAN. Niat baik saya dibalas tuba. Saya merasa seluruh dunia sedang mentertawakan saya yang sungguh menyedihkan.

Pada akhirnya saya sanggup mengatasi kemarahan itu dengan memaksa diri tetap berbaik sangka dan belajar memaafkan. Hati manusia mudah berubah-ubah, manusia tempatnya salah dan khilaf. Hahahaha, saya memang naif. Walaupun begitu, sampai sekarang saya menolak berhubungan selain basa-basi dengan teman saya itu. Saya mulai belajar tidak mempercayai begitu saja omongan orang jika tak ada pembuktian. Belajar menggali motif, latar belakang dari sebuah jawaban atau statement.

Ketika minggu lalu saya mendapati diri ini terancam berada pada emosi yang sama dengan kejadian itu...saya merasa sungguh bodoh. Saya kok ndak pinter-pinter sih yaaaaa. Apa di jidat saya ada tulisan tak kentara tapi terbaca oleh siapa saja kecuali saya: Mudah Dibohongi. Huhuhu....

Ah, sudahlah. Demi kesehatan jiwa, demi kelangsungan hidup damai dan bahagia, demi tidak terjerumus semakin jauh dalam prasangka, demi bayangan ke Turki yang sungguh menggoda (lho?).....saya memutuskan tak mau berurusan lagi terkait masalah itu. BODO AMAT! Hahahaha...

I'm not a mind reader

Oktober 27, 2011

Balmut Mama

Senin kemarin, setengah tujuh pagi, handphone saya berdering........nomor tidak dikenali :
  ---     
"Assalamu'alaykum....."
"Wa'alaykumsalam wr.wb.....nduk, ini Mama. Sorry kemaren nyampe Jeddah ga langsung telpon. Mama capek banget."
"Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..............."
---

Campuran kuatir dan rindu karena tak ada kabar sejak Sabtu malam lalu sampai Senin pagi itu, berujung saya yang tak sadar berteriak-teriak mendengar suaranya di speaker handphone. Eeee, saya juga menderita demam mendadak ding pas Sabtu malam itu. Hahaha. 

Jadi begitulah, sudah seminggu ini saya tidur sembari memeluk balmut (bantal selimut) punya mama yang seharusnya dititahkan untuk di-laundry. Balmut itu tidak akan saya laundry sampai menjelang waktu kepulangan mama dari ber-haji. Berharap balmut itu bisa meredam demam yang seringkali muncul jika mendadak rindu dan tak bisa dituntaskan karena mama sudah berpesan: 

"Mama baik-baik saja. Ini temennya banyak. Sekamar ma mbak Arum juga. Mama ndak usah ganti kartu telpon ya. Bingung nanti nggantine. Trus ndak usah ditelpon-telpon. MAHAL...."

Huhuhu...kenapa tidak boleh telephone? Kan saya yang ngisi pulsanya. Harga pulsa itu ndak seberapa dibandingin demam saya. Tapi apa mau dikata, mama sudah bertitah....*sigh*

Oktober 19, 2011

Patah Hati

Secara pribadi, saya tidak pernah berkenalan dengannya. Tapi saya mengenal betul sosoknya itu; pimpinan tertinggi Jawa Pos Group di masa itu; lewat nama, gambar dan tulisannya di koran yang dulu rajin saya baca semasa kuliah dan tinggal di Surabaya. Pertama kali bertemu beliau di dalam lift gedung Graha Pena selesai kursus Nihon-Go di lantai 11 gedung yang sama. Sejak itu hampir setiap Sabtu kami melewatkan waktu beberapa menit dalam lift yang sama. Saya lebih sering diam di pojokan lift, mendekap buku sembari mengintip beliau lewat pantulan di dinding. Sederhana, itu penilaian awal saya pada beliau. Kemeja kotak-kotak lengan pendek, sepatu keds, Nokia 7250 dan kacamata. Jauh dari bayangan awal saya untuk orang sesukses beliau.  

Saat itu, saya tidak pernah membayangkan suatu hari mantan wartawan itu akan menjadi orang tertinggi di induk perusahaan tempat saya bekerja. Saya tak pernah membayangkan bahwa suatu saat saya akan merasa patah hati karena kepergian beliau. Mengingat prasangka buruk pada beliau yang saya lontarkan kepada salah satu mantan anak buahnya di koran Jawa Pos, ketika beliau pertama kali di angkat menjadi orang nomor satu di PLN. Saya yang sedang getol-getolnya menolak privatisasi BUMN, menganggap kedatangannya adalah salah satu upaya memuluskan jalan privatisasi itu. Ternyata, saya salah.

Belum dua tahun beliau menjabat sebagai Dirut PLN. Baru melewati waktu satu tahun sepuluh bulan. Selama itu pula, saya bersemangat mengikuti sepak terjangnya lewat CEO Note yang dikirimkan per bulan lewat email kepada semua orang di jajaran PLN; induk dan anak perusahaan. Beliau wira-wiri terjun langsung ke hampir semua wilayah Indonesia yang mengalami masalah perlistrikan. Ide-ide dan gebrakannya pelan dan pasti membawa perubahan dan pencerahan. Tidak semua mulus dan lancar, tapi saya merasa impian menuju Indonesia yang bebas masalah ketenagalistrikan, bukan sesuatu yang mustahil dilakukan di tubuh PLN.

Beliau pemimpin yang selama ini diam-diam saya rindukan. Punya target, punya visi, punya idealisme, pandai memotivasi, cerdas, amanah, bijak, etos kerja tinggi, open mind, pandai berkomunikasi, dan sederhana.  

Kemarin, beliau dipilih menjadi Menteri Negara BUMN menggantikan Mustafa Abubakar. Beliau yang berencana mundur dari jabatan Dirut PLN pada tahun 2012 dan menikmati menjadi orang bebas, harus menunda mimpinya demi tugas yang lebih mulia dan lebih berat. Saya, yang hari ini menerima email CEO note-nya setelah kabar pengangkatan itu, langsung merasakan patah hati yang menyesakkan. CEO note itu berjudul: Inikah Kisah Kasih Tak Sampai? Saya kutipkan disini, untuk teman-teman.

...
Malam itu saya sudah di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam, Belanda. Tas sudah masuk bagasi. Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen imigrasi. Semua beres. Saya pun siap-siap sebentar lagi boarding. Istri saya sudah di Eropa tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya yang menjabat Dirut Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan koran sedunia. Jawa Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.


Saya pun kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberitahu saat boarding sudah dekat. “Kapan pulangnya, Pak Dis?,” tanya seorang direktur. “Tanggal 21 Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan,” jawab saya.“Ooh, ini kepergian untuk nge-lesi ya,” guraunya.


Saya memang tidak kepingin jadi menteri. Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan PLN. Instansi yang dulu saya benci mati-matian ini telah membuat saya sangat bergairah dan serasa muda kembali. Bukan karena tergiur fasilitas dan gaji besar, tapi saya merasa telah menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit untuk berubah. Saya juga tidak habis pikir mengapa PLN bisa berubah menjadi begitu dinamis. Beberapa faktor terlintas di pikiran saya.


Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap sampai aplikasi teknisnya. Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa untuk berpikir logis. Ketiga, gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat-sangat besar. Keempat, intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal. Kelima, iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.


Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal lima hal itu pula komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani membayangkan, akhir tahun 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN.


Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti penghematan bisa mencapai angka triliunan. Jumlah mati lampu sudah mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia. Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Ratio elektrifikasi sudah di atas 75%. Propinsi-propinsi yang selama ini dihina dengan cap “ayam mati di lumbung” sudah terbebas dari ejekan itu. Sumsel, Riau, Kalsel, Kaltim, Kalteng yang selama ini menjadi simbol “ayam mati di lumbung energi” sudah surplus listriknya.


Pada akhir tahun 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN, saatnya saya mengambil keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri: berhenti! Saya ingin kembali jadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan orang bebas. Apalagi orang bebas yang sehat, punya istri, punya anak, punya cucu dan he he punya uang! Bisa ke mana pun mau pergi dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau. Saya tahu masa jabatan saya memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan istri untuk hanya tiga tahun.


Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan kepada sesama direksi. Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi mereka melarang saya menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan internal PLN. Mengapa? “Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memasang strategi mengincar kursi Dirut, ujarnya. “Bukan strategi memajukan PLN,” tambahnya. “Lebih baik, selama tiga tahun itu kita menyusun perkuatan internal agar sewaktu-waktu Pak Dis meninggalkan PLN kultur internal kita sudah baik,” katanya pula.


Saya setuju untuk menyimpan “dendam tiga tahun” itu. Organisasi sebesar PLN memang tidak boleh sering goncang. Terlalu besar muatannya. Kalau kendaraannya terguncang-guncang terus bisa mabuk penumpangnya. Kalau 50.000 orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan menenggelamkan perusahaan.


Sepeninggal saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan mengusulkan ke Menteri BUMN yang baru untuk memilih salah satu dari direksi yang ada sekarang, yang terbukti sangat mampu memajukan PLN. Kalau di antara direksi sendiri ada yang ternyata berebut, saya akan usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi tidak mungkin direksi yang ada sekarang punya sifat seperti itu.


Saya sudah menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim direksi PLN ini benar-benar satu-hati, satu-rasa, dan satu-tekad. Ini sudah dibuktikan ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa besar, direksi sangat kompak menepisnya.


Kekompakan seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk bekerja keras mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak banyak. Keinginan untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh menyisakan agenda yang menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya motto PLN yang lama yang berbunyi “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”, kita ganti untuk sementara dengan motto yang lebih sederhana tapi nyata: Kerja! Kerja! Kerja!


Tanggal 27 Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik Nasional, motto baru itu akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja! Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu kalimat yang saya usulkan sebelum kata kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya begini: Jauhi politik! Kerja! Kerja! Kerja!


Tapi teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar tidak menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu, berniat menjauhi politik pun bisa kena masalah politik!


Sudah lama saya ingin naik business class yang baru dari Garuda Indonesia. Kesempatan ke Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh bayar dengan uang pribadi. Saya dengar business classnya Garuda sekarang tidak kalah mewah dengan penerbangan terkenal lainnya. Saya ingin merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umroh Lebaran lalu saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380 yang ada bar-nya itu.


Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini Garuda sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan keunggulan. Tidak lagi mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan ejekan “ini kan pesawat Indonesia,  taruh saja di terminal 1 yang paling lama itu!”.


Beberapa menit lagi saya akan merasakan untuk pertama kali business class jarak jauh Garuda yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu boarding. Di saat seperti itulah tiba-tiba….“Ini ada tilpon untuk Pak Dahlan,” ujar keluarga saya yang akan sama-sama ke Eropa sambil menyodorkan HP-nya.Telpon pun saya terima. Saya tercenung. “Tidak boleh berangkat! Ini perintah Presiden!” bunyi telpon itu. “Wah, saya kena cekal,” kata saya dalam hati.


Mendapat perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa, pikiran saya langsung terbang ke mana-mana.


Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100% harus dari tenaga air tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun PLTGB (pembangkit listrik tenaga gas batubara) agar dalam 8 bulan sudah menghasilkan listrik.


Ke PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai.


Ke Flores yang membuat saya bersumpah untuk menyelesaikan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum Natal ini. Saya tahu teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu tidak menimbulkan kutukan.


Pikiran saya juga terbang Lombok yang kelistrikannya selalu mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin PLTU di sana bisa menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas.


Pikiran saya terbang ke Bali membayangkan transmisi Bali Crossing yang akan menjadi tower tertinggi di dunia.


Ke Banten selatan dan Jabar selatan yang tegangan listriknya begitu rendah seperti takut menyetrum Nyi Roro Kidul.


Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan selesainya PLTU baru dan geothermal Ulubellu.


Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu tiga bulan. Padahal dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000 warga yang harus secara massal pindah mendadak dari listrik koperasi ke listrik PLN.


Pikiran saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir apakah saya masih boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti yang saya janjikan untuk bersama-sama rakyat setempat syukuran terselesaikannya masalah listrik yang rumit di Manna.


Saya terpikir Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak dan Bagan Siapi-sapi yang saya programkan tahun depan harus beres.


Saya teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau listriknya tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di situ: proyek Pangkalan Susu yang ruwet, ijin Asahan 3 yang belum keluar, PLTP Sarulla yang bertele-tele dan bandara Silangit yang belum juga dibesarkan.


Pikiran saya terus melayang ke Jambi yang akan jadi percontohan penyelesaian problem terpelik system kelistrikan: problem peaker. Di sana lagi dibangun terminal compressed gas storage (CNG) yang kalau berhasil akan jadi model untuk seluruh Indonesia. Saya ingin sekali melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi. Masihkah saya boleh menengok bayi Jambi itu nanti?


Juga ingat Seram di Maluku yang harus segera membangun mini hidro. Lalu bagaimana nasib program 100 pulau harus berlistrik 100% tenaga matahari. Ingat Halmahera, Sumba, Timika…..


Tentu saya juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan keluar. Yakni bagaimana mengatasi gelombang dahsyat yang mencapai 8 meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun breakwater untuk melindungi pelabuhan batubara.


Dan Rabu 23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ. Empat bupati di kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama bagaimana membangun Nias dengan lebih dulu mengatasi masalah listriknya.


Yang paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan merasakan betapa bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja keras memperbaiki diri. Saya seperti ingat satu persatu wajah teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang pernah saya datangi.


Dengan pikiran yang gundah seperti itulah saya berdiri. Mengurus pembatalan terbang ke Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan boarding, mengusahakan stempel imigrasi dan meninggalkan bandara.


Hati saya malam itu sangat galau. Saya sudah terlanjur jatuh cinta setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN. Tapi belum lagi saya bisa merayakan bulan madunya saya harus meninggalkannya.


Inikah yang disebut kasih tak sampai?



*Dahlan Iskan *


*CEO PLN*
...

Bapak, saya sungguh patah hati. Selama ini saya yang di anak perusahaan, tidak merasakan langsung bagaimana gaya kepemimpinan Bapak. Hanya lewat CEO note itu saya mengenal dekat Bapak, mencoba mengambil hal baik darinya. Note yang pastinya akan saya rindukan. Siapapun pengganti Bapak, Saya sungguh berharap adalah orang yang se-visi dengan Bapak. Mampu melanjutkan benih baik dan kerja baik yang telah dirintis, menjadi pemimpin yang Kami dambakan. Semoga di tempat yang baru, dengan tugas yang baru, Allah SWT memberikan berkah, kemudahan dan kelancaran. Amiin.

Biarlah Saya dianggap lebay karena mempublish ulang CEO note itu. Saya hanya ingin jujur dengan apa yang Saya rasa.

Oktober 10, 2011

Terlanjur Basah

Jadi begini lho, teman-teman...saya pingin sedikit sharing. Kalau merasa punya bakat atau passion pada sesuatu, usahakan disalurkan pada tempat, waktu dan cara yang tepat, ya. Kenapa begitu? Karena, jika tidak tepat atau kurang tepat...selain hasil tidak maksimal, juga dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, malu. Contohnya terjadi di kantor siang ini.

Ada seorang ibu, sebut aja X. Secara jabatan, walaupun masih manajemen yunior, si ibu seharusnya dituntut untuk santun, berwibawa dan menjadi contoh teladan. Dah bawaan orok kalau si ibu ini ekspresif sekali, dan terkenal dengan power suaranya yang membahana. Sialnya, si Ibu ini sering tidak sadar kalau beliau bicara biasa saja...terdengar kemana-mana, bahkan sampai ke lantai dua gedung admin. Hobby-nya menyanyi dan menari: dimana saja, kapan saja, selama beliau mood. Sudah kondang gulindang hebohnya. Tidak terhitung banyak orang sudah mengingatkan beliau untuk memelankan suara dan bertingkah sesuai tuntutan jabatannya, secara langsung atau tidak langsung.

Setting: 
Depan ruangan SDM, dimana didalamnya terjadi acara bullying ceng-cengan terhadap sodara Damora yang telah berani-beraninya melangsungkan pernikahan tanggal 5 lalu dan tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai di kantor.  Tak ada hujan, tak ada badai...ibu X meninggalkan arena ceng-cengan sambil menyanyi reffrain lagu Alamat Palsu-nya si Ayu Ting Ting dan joget-joget india gak jelas. Sampai di depan pintu terjadilah tragedi berikut:

"Dimanaaa....dimanaaa....dimanaaa...."(1)
"Wah, ibu X...bahagia sekali tampaknya...bisa menyanyi dan menari rupanya.."(2)
"Mbak X, masih nyaring saja suaranya...apa kabar?"(3)
"eeee....Bapak, hehehe"(4)

Keterangan:
(1) = ibu X; nyanyi kenceng, muter-muter; tangan kanan di atas, tangan kiri di bawah
(2) = bapak General Manager; big bos yg terhitung masih baru menjabat, ditenggarai mendengar selentingan heboh ttg si ibu tapi agak tidak percaya karena appearance yang menipu belum pernah membuktikan sendiri; agak shock, nyengir lebar
(3) = bapak mantan General Manager ibu X di unit lain; wajahnya sungguh maklum, sangat maklum
(4) = ibu X; terkejut; mengangguk sambil menurunkan tangan perlahan-lahan, menangkupkan keduanya di depan, sok santun

...

See? Kalau merasa punya bakat atau passion pada sesuatu, usahakan disalurkan pada tempat, waktu dan cara yang tepat, ya. Trus, kira-kira ibu X kapok gak ya? Naga-naganya sih enggak, secara itu urat malunya dah lama putus. Dah terlanjur basah katanya. Hehehe.

Oktober 07, 2011

Cintakah (Padaku)?

Sepenggal sesi percakapan siang tadi di jendela messenger, meraja di kepala. Seorang kawan menyampaikan kabar tentang seseorang lain; tentang cinta yang diputuskan tak lagi diperjuangkan. Cinta yang kami amati dikabarkan luas kepada dunia sebegitu dalam, indah dan selamanya. Penuh kupu-kupu. 

Cinta yang membuatku dan sang kawan berprasangka...mengapa semudah itu menyerah? Terlalu mudah. Justru ketika ujian yang menghadang seharusnya adalah pembuktian kesungguhan. Kami bertanya-tanya, ....sungguhkah selama ini yang dicintainya adalah kekasihnya? Atau jangan-jangan dia hanya mencintai dirinya yang sedang mencinta? 

"Aku cinta kamu".

atau 

"Aku cinta (diriku yang sedang jatuh cinta) padamu". 


Mana yang benar? Mana yang boleh? Saya tak punya ilmu cukup untuk menelaahnya. Suka-suka saja. Saya hanya membayangkan betapa tak enaknya jika suatu ketika mendapati kenyataan bahwa cinta kekasih hati, segala madu yang tergenang, ternyata lebih untuk dirinya. Ngenes.

Oktober 05, 2011

Cincin Tak Sampai

"kangen Mimi"
"gpp. sambil terus didoakan"
"boleh nangis?"
"boleh. tergantung alasan atau niatnya. asal bukan untuk menyesali atau meratapi takdir..."
...
"matanya mbendul, idungnya mampet. nafasnya pake mulut. kaya ikan ungup2"
...

Kemarin; Selasa malam; aku demam, Ndol. Entah apa sebabnya. Sedari pagi badanku lemas, tulang terasa linu semua. Ijin telat datang ke kantor. Baru malamnya, selepas maghrib...aku tahu penyebabnya. Aku kangen kamu, Ndol. Baru sadar, kalau sedang rindu tak terobati begitulah jadinya: aku demam. Sempat menelepon Mama, dan keadaannya pun entah mengapa sedang sama denganku: merindukanmu.

Tadi siang, sambil tetap memaksakan diri berangkat ke kantor ... aku ingat hari yang sama , Rabu, setahun yang lalu. Telponku siang bolong hari itu, dari salah satu toko perak di Celuk, kau terima dengan cerah ceria. Lebih ceria dari biasanya. Aku menawarimu cincin perak bakar kesukaanmu. Kau malah minta satu set lengkap: cincin, gelang, anting dan kalung. Aku yang mendelik melihat harganya, tentu saja ngomel panjang pendek. Kau tanggapi sambil tertawa. Belakangan, dari  operan telponku ke Ucik ...aku tahu kau bilang cincin saja tak apa, kasihan aku kalau keluar uang banyak. Ucik bilang, kau tak mau merepotiku.

Ah, Ndol...kalau saja aku tahu jalannya takdir, pastilah kuberi semua yang kau mau. Uang, sebanyak apapun, tak bisa membeli waktu kembali ke masa lalu. Telpon itu, lima hari sebelum kepergianmu. Oleh-oleh dari Celuk tak pernah sampai di tanganmu. Aku tak pernah sempat bercerita tentang gelang yang kubeli bersamaan cincin-mu. Dua benda yang bagiku begitu mencerminkan kita: perak bakar, hitam, logam. Cincinmu itu berlingkar lebar, berukir daun. Kau sempat bertanya, baguskah? Kubilang: Kamu banget. Gelangku itu bintang laut bertautan. Kau pasti berpikir sangat cocok dengan gambaranmu tentangku yang mirip Patrick kan? Ah, tapi aku tahu kaupun tahu...Aku suka hiasan yang berbentuk bintang: di langit atau di laut.

Malam ini kupakai keduanya, Ndol. Setelah setahun kusimpan rapat dalam wadahnya.  Sejenak saja, karena pada akhirnya pasti tak kupakai juga. Aku tak kuasa. Selalu ada perih yang menyesak di dada. Kepergianmu tak kusesali , Ndol. Takdir-Nya tak bisa kuganggu gugat. Aku hanya menyesal tak bisa jadi kakak yang jauhhh lebih baik untukmu. Maafkan aku ya, Ndol. Maafkan aku. Aku sayang kamu, aku bangga sekali padamu...sampai sekarang masih begitu. Persis sama dengan yang kubisikkan ditelingamu dini hari itu.

Aku masih selalu berdoa, Allah SWT mengumpulkan kita sekeluarga dalam surga-Nya. Amiin.


"maaf merepotkan selalu...
sms-sms-ku ketika tak tahu harus berbagi pada siapa lagi...
yang teringat hanya sederetan nomor handphone-mu"
Half Purple and Blue Butterfly