Pages

Oktober 19, 2011

Patah Hati

Secara pribadi, saya tidak pernah berkenalan dengannya. Tapi saya mengenal betul sosoknya itu; pimpinan tertinggi Jawa Pos Group di masa itu; lewat nama, gambar dan tulisannya di koran yang dulu rajin saya baca semasa kuliah dan tinggal di Surabaya. Pertama kali bertemu beliau di dalam lift gedung Graha Pena selesai kursus Nihon-Go di lantai 11 gedung yang sama. Sejak itu hampir setiap Sabtu kami melewatkan waktu beberapa menit dalam lift yang sama. Saya lebih sering diam di pojokan lift, mendekap buku sembari mengintip beliau lewat pantulan di dinding. Sederhana, itu penilaian awal saya pada beliau. Kemeja kotak-kotak lengan pendek, sepatu keds, Nokia 7250 dan kacamata. Jauh dari bayangan awal saya untuk orang sesukses beliau.  

Saat itu, saya tidak pernah membayangkan suatu hari mantan wartawan itu akan menjadi orang tertinggi di induk perusahaan tempat saya bekerja. Saya tak pernah membayangkan bahwa suatu saat saya akan merasa patah hati karena kepergian beliau. Mengingat prasangka buruk pada beliau yang saya lontarkan kepada salah satu mantan anak buahnya di koran Jawa Pos, ketika beliau pertama kali di angkat menjadi orang nomor satu di PLN. Saya yang sedang getol-getolnya menolak privatisasi BUMN, menganggap kedatangannya adalah salah satu upaya memuluskan jalan privatisasi itu. Ternyata, saya salah.

Belum dua tahun beliau menjabat sebagai Dirut PLN. Baru melewati waktu satu tahun sepuluh bulan. Selama itu pula, saya bersemangat mengikuti sepak terjangnya lewat CEO Note yang dikirimkan per bulan lewat email kepada semua orang di jajaran PLN; induk dan anak perusahaan. Beliau wira-wiri terjun langsung ke hampir semua wilayah Indonesia yang mengalami masalah perlistrikan. Ide-ide dan gebrakannya pelan dan pasti membawa perubahan dan pencerahan. Tidak semua mulus dan lancar, tapi saya merasa impian menuju Indonesia yang bebas masalah ketenagalistrikan, bukan sesuatu yang mustahil dilakukan di tubuh PLN.

Beliau pemimpin yang selama ini diam-diam saya rindukan. Punya target, punya visi, punya idealisme, pandai memotivasi, cerdas, amanah, bijak, etos kerja tinggi, open mind, pandai berkomunikasi, dan sederhana.  

Kemarin, beliau dipilih menjadi Menteri Negara BUMN menggantikan Mustafa Abubakar. Beliau yang berencana mundur dari jabatan Dirut PLN pada tahun 2012 dan menikmati menjadi orang bebas, harus menunda mimpinya demi tugas yang lebih mulia dan lebih berat. Saya, yang hari ini menerima email CEO note-nya setelah kabar pengangkatan itu, langsung merasakan patah hati yang menyesakkan. CEO note itu berjudul: Inikah Kisah Kasih Tak Sampai? Saya kutipkan disini, untuk teman-teman.

...
Malam itu saya sudah di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam, Belanda. Tas sudah masuk bagasi. Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen imigrasi. Semua beres. Saya pun siap-siap sebentar lagi boarding. Istri saya sudah di Eropa tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya yang menjabat Dirut Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan koran sedunia. Jawa Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.


Saya pun kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberitahu saat boarding sudah dekat. “Kapan pulangnya, Pak Dis?,” tanya seorang direktur. “Tanggal 21 Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan,” jawab saya.“Ooh, ini kepergian untuk nge-lesi ya,” guraunya.


Saya memang tidak kepingin jadi menteri. Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan PLN. Instansi yang dulu saya benci mati-matian ini telah membuat saya sangat bergairah dan serasa muda kembali. Bukan karena tergiur fasilitas dan gaji besar, tapi saya merasa telah menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit untuk berubah. Saya juga tidak habis pikir mengapa PLN bisa berubah menjadi begitu dinamis. Beberapa faktor terlintas di pikiran saya.


Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap sampai aplikasi teknisnya. Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa untuk berpikir logis. Ketiga, gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat-sangat besar. Keempat, intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal. Kelima, iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.


Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal lima hal itu pula komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani membayangkan, akhir tahun 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN.


Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti penghematan bisa mencapai angka triliunan. Jumlah mati lampu sudah mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia. Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Ratio elektrifikasi sudah di atas 75%. Propinsi-propinsi yang selama ini dihina dengan cap “ayam mati di lumbung” sudah terbebas dari ejekan itu. Sumsel, Riau, Kalsel, Kaltim, Kalteng yang selama ini menjadi simbol “ayam mati di lumbung energi” sudah surplus listriknya.


Pada akhir tahun 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN, saatnya saya mengambil keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri: berhenti! Saya ingin kembali jadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan orang bebas. Apalagi orang bebas yang sehat, punya istri, punya anak, punya cucu dan he he punya uang! Bisa ke mana pun mau pergi dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau. Saya tahu masa jabatan saya memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan istri untuk hanya tiga tahun.


Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan kepada sesama direksi. Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi mereka melarang saya menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan internal PLN. Mengapa? “Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memasang strategi mengincar kursi Dirut, ujarnya. “Bukan strategi memajukan PLN,” tambahnya. “Lebih baik, selama tiga tahun itu kita menyusun perkuatan internal agar sewaktu-waktu Pak Dis meninggalkan PLN kultur internal kita sudah baik,” katanya pula.


Saya setuju untuk menyimpan “dendam tiga tahun” itu. Organisasi sebesar PLN memang tidak boleh sering goncang. Terlalu besar muatannya. Kalau kendaraannya terguncang-guncang terus bisa mabuk penumpangnya. Kalau 50.000 orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan menenggelamkan perusahaan.


Sepeninggal saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan mengusulkan ke Menteri BUMN yang baru untuk memilih salah satu dari direksi yang ada sekarang, yang terbukti sangat mampu memajukan PLN. Kalau di antara direksi sendiri ada yang ternyata berebut, saya akan usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi tidak mungkin direksi yang ada sekarang punya sifat seperti itu.


Saya sudah menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim direksi PLN ini benar-benar satu-hati, satu-rasa, dan satu-tekad. Ini sudah dibuktikan ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa besar, direksi sangat kompak menepisnya.


Kekompakan seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk bekerja keras mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak banyak. Keinginan untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh menyisakan agenda yang menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya motto PLN yang lama yang berbunyi “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”, kita ganti untuk sementara dengan motto yang lebih sederhana tapi nyata: Kerja! Kerja! Kerja!


Tanggal 27 Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik Nasional, motto baru itu akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja! Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu kalimat yang saya usulkan sebelum kata kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya begini: Jauhi politik! Kerja! Kerja! Kerja!


Tapi teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar tidak menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu, berniat menjauhi politik pun bisa kena masalah politik!


Sudah lama saya ingin naik business class yang baru dari Garuda Indonesia. Kesempatan ke Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh bayar dengan uang pribadi. Saya dengar business classnya Garuda sekarang tidak kalah mewah dengan penerbangan terkenal lainnya. Saya ingin merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umroh Lebaran lalu saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380 yang ada bar-nya itu.


Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini Garuda sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan keunggulan. Tidak lagi mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan ejekan “ini kan pesawat Indonesia,  taruh saja di terminal 1 yang paling lama itu!”.


Beberapa menit lagi saya akan merasakan untuk pertama kali business class jarak jauh Garuda yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu boarding. Di saat seperti itulah tiba-tiba….“Ini ada tilpon untuk Pak Dahlan,” ujar keluarga saya yang akan sama-sama ke Eropa sambil menyodorkan HP-nya.Telpon pun saya terima. Saya tercenung. “Tidak boleh berangkat! Ini perintah Presiden!” bunyi telpon itu. “Wah, saya kena cekal,” kata saya dalam hati.


Mendapat perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa, pikiran saya langsung terbang ke mana-mana.


Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100% harus dari tenaga air tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun PLTGB (pembangkit listrik tenaga gas batubara) agar dalam 8 bulan sudah menghasilkan listrik.


Ke PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai.


Ke Flores yang membuat saya bersumpah untuk menyelesaikan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum Natal ini. Saya tahu teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu tidak menimbulkan kutukan.


Pikiran saya juga terbang Lombok yang kelistrikannya selalu mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin PLTU di sana bisa menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas.


Pikiran saya terbang ke Bali membayangkan transmisi Bali Crossing yang akan menjadi tower tertinggi di dunia.


Ke Banten selatan dan Jabar selatan yang tegangan listriknya begitu rendah seperti takut menyetrum Nyi Roro Kidul.


Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan selesainya PLTU baru dan geothermal Ulubellu.


Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu tiga bulan. Padahal dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000 warga yang harus secara massal pindah mendadak dari listrik koperasi ke listrik PLN.


Pikiran saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir apakah saya masih boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti yang saya janjikan untuk bersama-sama rakyat setempat syukuran terselesaikannya masalah listrik yang rumit di Manna.


Saya terpikir Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak dan Bagan Siapi-sapi yang saya programkan tahun depan harus beres.


Saya teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau listriknya tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di situ: proyek Pangkalan Susu yang ruwet, ijin Asahan 3 yang belum keluar, PLTP Sarulla yang bertele-tele dan bandara Silangit yang belum juga dibesarkan.


Pikiran saya terus melayang ke Jambi yang akan jadi percontohan penyelesaian problem terpelik system kelistrikan: problem peaker. Di sana lagi dibangun terminal compressed gas storage (CNG) yang kalau berhasil akan jadi model untuk seluruh Indonesia. Saya ingin sekali melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi. Masihkah saya boleh menengok bayi Jambi itu nanti?


Juga ingat Seram di Maluku yang harus segera membangun mini hidro. Lalu bagaimana nasib program 100 pulau harus berlistrik 100% tenaga matahari. Ingat Halmahera, Sumba, Timika…..


Tentu saya juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan keluar. Yakni bagaimana mengatasi gelombang dahsyat yang mencapai 8 meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun breakwater untuk melindungi pelabuhan batubara.


Dan Rabu 23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ. Empat bupati di kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama bagaimana membangun Nias dengan lebih dulu mengatasi masalah listriknya.


Yang paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan merasakan betapa bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja keras memperbaiki diri. Saya seperti ingat satu persatu wajah teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang pernah saya datangi.


Dengan pikiran yang gundah seperti itulah saya berdiri. Mengurus pembatalan terbang ke Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan boarding, mengusahakan stempel imigrasi dan meninggalkan bandara.


Hati saya malam itu sangat galau. Saya sudah terlanjur jatuh cinta setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN. Tapi belum lagi saya bisa merayakan bulan madunya saya harus meninggalkannya.


Inikah yang disebut kasih tak sampai?



*Dahlan Iskan *


*CEO PLN*
...

Bapak, saya sungguh patah hati. Selama ini saya yang di anak perusahaan, tidak merasakan langsung bagaimana gaya kepemimpinan Bapak. Hanya lewat CEO note itu saya mengenal dekat Bapak, mencoba mengambil hal baik darinya. Note yang pastinya akan saya rindukan. Siapapun pengganti Bapak, Saya sungguh berharap adalah orang yang se-visi dengan Bapak. Mampu melanjutkan benih baik dan kerja baik yang telah dirintis, menjadi pemimpin yang Kami dambakan. Semoga di tempat yang baru, dengan tugas yang baru, Allah SWT memberikan berkah, kemudahan dan kelancaran. Amiin.

Biarlah Saya dianggap lebay karena mempublish ulang CEO note itu. Saya hanya ingin jujur dengan apa yang Saya rasa.

17 komentar:

dian mengatakan...

amiin....
ga lebay kok ron, aku td juga men-share-nya di pesbuk dan milis alumni yang juaruang banget kukirimi imel.
sama, aku juga merasa kehilangan, ada harapan yang tiba2 kandas.
tp moga2 penggantinya bisa sebaik, ato sapa tau lebih baik dari dia :D
*sekarang aku tau knp YMku td ga dibales2 :p*

Ujang Arnas mengatakan...

Wuaw !
Semangat terus mbak !
tapi nanti jangan sering mati lampu dong :D

good luck~
Ganbatte :)

Rona Nauli mengatakan...

@dian: ehehehe...ceumungudhhh eaaa :D

@uchank: lah itu pabriknya yg kujaga nyala terus jeh, Chank. eh tapi tadi sempet trip dua kali ding...ikutan sedih keknya heheh..iye, semangat terus :)

Gloria Putri mengatakan...

wehh.....kirain td patah hati sama sirius apa sama sapa gt :P
wkwkwkkwkw

misfah mengatakan...

Note ini menambah kekagumanku pada beliau

May mengatakan...

#makin menambah barisan patah hati yg sudah mengular

aku juga merasakan hal yang sama, merindukan sosok leader seperti beliau #kira2 di tempat kita ada ga ya
dengan kualitas kepemimpinan seperti itu, semoga beliau lebih bisa berbuat banyak untuk negara di posisi yg sekarang #sempet kepikiran, jadi menteri BUMN nanggung, jadi presiden aja Pak DIS, empatjempol :)

dian mengatakan...

@may: ditempat kita ada yang kayak dia may.... tp skarang masih ditempa di Pacitan :D cuma masalahnya nyonyahnya agak galak, jd takutnya kalo dia musti naik turun ke wamena 2 bulan, bisa disewoti 4 bulan :D
piisssss.... :D

octarezka mengatakan...

ngomong2..kita dibawah instansi yg sm gak y mb?
=P

jujur, dengan smw terobosan yg beliau buat d instansi sblmny, dtempatku justru bnyk yg gak merasa kehilangan sosok beliau,
=)

Enno mengatakan...

ah! tentang senior eike pak dahlan :)

dulu bbrp kali ngobrol2 di graha pena, kasih byk masukan tentang jurnalistik. memang top dia ini. salah satu senior panutanku selain pak panda nababan :)

mungkin dia ga bakal inget sama wartawati kecil-centil yg dulu suka nungguin 'dongeng'nya.

tapi klo dia baca ini (mungkin gak yaaa?), aku cuma mau bilang: sebagai yunior, saya bangga sama bapak dan selalu terinspirasi, dan meyakini bhw profesi wartawan itu bs menjangkau segala bidang. I heart you, sir!

hehehe...

*ini kayaknya satu2nya komen dari dunia jurnalistiknya deh. yg laen org PLN semua ye wkwkwk*

Rona Nauli mengatakan...

@Glo: kalo sama itu sih patah hatinya dah dari awal merasa cinta mwahahahaha...

@bu Lady: saya lagi ngumpulin note2nya yg lengkap, bu. kalo mau, boleh nanti saya bagi :)

@May: kau patah hati juga? aku dah tangis2an ma Ance kemaren. trus jadi pengen gantung diri waktu ance ngaku2 dia yg mo nggantiin pak DIS :))...eh, jadi presidennya ntar aja...nunggu gimana kinerja di BUMNnya :D

@dian: di Pacitan gitu ya? pantesss pak DIS mikir sampe pening juga soal Pacitan :)). kuaminin aja ya...ntar kalo bapak Pacitan ke wamena dua bulan, si ibu pacitan kubawa jalan2 juga dua bulan aja :))

@rezka: kamu di distribusi atau wilayah ya? kami di pembangkitan :). kebijakan pak DIS secara korporasi memang ada plus dan minusnya buat yg dibawah2...tapi boleh tau kenapa gitu ga merasa kehilangan? hehehe

@enno: ngguayaaaa, sing podo2 wartawan :p. gimana mo inget ama yg kecil centil...wong ama aku yg guede ndusel pojok lift aja ga bakal keingetan :))...eh, btw..pers sekolah bisa disebut wartawan juga gak sih? *pengen disebut wartawan juga :))*

octarezka mengatakan...

wah, sama mb...pembangkitan juga...aku d kitsbs
=D
salam kenal mb

May mengatakan...

@Dian : sepertinya tensi si nyonyah akan sedikit turun kalo bisa ikut ke sana =))
@Eneng : patah hati banget sih enggak Neng, yaa.. macam fans yg ditinggal nikah artis pujaannya gt, mengagumi tapi sadar kalo tak bisa memiliki (mengingat potensi beliau), btw jd kepan ke Sby, ada titipan batik2 dari jeng Alvi di aku :D

dian mengatakan...

@rona: jangan gantung diri ron.... belum 1 detik, talinya pasti putus :D
piissss.... :*
btw, kmarin aku bilang ke ance, aku doain dia jd dekom aja :D
@rezka: jd agak penasaran knp disana ga ada gelombang patah hati :-?

Wuri SweetY mengatakan...

Aku tahu ttg pak Dahaln sebatas semangatnya dalam berjuang sembuh dr kanker hati.
Dari mbk Rona jd tmbh seneng aja baca note beliau.

Rona Nauli mengatakan...

@rezka: kitsbs? aku ada kenalan di sana gak ya? ada yang namanya bu Rina deh kayanya...suka lupa :D
...
@eneng: batiknya dah di kamu ya? baiklahhhh...kalo ada yg suka, ambil aja :D

@dian: aku kan punya ilmu ginkang, Yan...masa lupa -_-

@Wuri: iya ya...pernah dicangkok hati katanya? :D

sukabaca mengatakan...

hmmmmh... sneng banget kalo ada orang yang kayak beliau (yg d critain si emba)

semoga semakin banyak ya orang2 yang seperti itu... supaya Indonesia jadi negara digdayaaaa hahaha... aamiinn.. (ga lebay kan??)

Rona Nauli mengatakan...

amiin...

ga lebay kok :). gimana kalo dimulai dari kita sendiri yuk :D

Half Purple and Blue Butterfly