Pages

Juli 26, 2005

EPISODE RINDU

Dunia disekelilingku beratmosfir rindu. Aromanya kental mengambang di udara.

Aku maksudkan bukan musim bercinta. Karena kenyataannya memang hanya rindu saja yang menggantung di awang-awang. Belum, belum ada kuncup-kuncup bunga yang berkembang karenanya.

Sungguh, atmosfir rindu mengambang di udara. Aku sesak nafas karena haru yang membuncah setiap kutemui jejaknya. Menghangatkan jiwa. Mengapa? Karna kutemukan pada mereka yang tak terduga.

Rindu. Rindu yang sewajarnya ada karena fitrah manusia diciptakan-Nya. Rindu mencinta dan dicinta. Yang jadi tanya adalah bijakkah menyikapinya? Agar ia berbunga seperti kehendak-Nya, tak ternoda emosi semata.

(Ternyata bukan hanya aku yang merasa...Neng juga hehehe. Kok bisa kompakan semua ya. Ah, better late than never kan)

Juli 18, 2005

TUKANG KOMPUTER

Laki-laki, 32 tahun, sehat jasmani-rohani, (sepertinya) baik. Demikian data yang disodorkan ibu di suatu pagi. Dan aku hanya berkomentar: “Oohh…”

Hari berikutnya informasi dari ibu bertambah;
“Anak tunggal, Mbak. Ibunya teman lama Ibu. Keluarganya baik. Ibunya sendiri yang nanyain Mbak dan menawarkan rencana itu ke Ibu.” Dan komentarku lagi-lagi hanya :”Oohh…”

Tidak ada respon memuaskan, dan Ibu tidak menyerah. Acara telpon-telponan di pagi hari semakin gencar dilancarkan. Informasi sudah berkembang menjadi; “Masih tetangga Mbah lho, Mbak. Masih satu kampung. Sarjana komputer. Mulai merintis usaha sendiri. “
Dan komentarku masih juga cekak; “Oh, pengusaha. Gak punya calon? Masa siy?”

Ibu tetep keukeuh. Terakhir malah tanya-tanya kapan ngambil cuti buat pulang kampung. “Liat dulu anaknya”, kata Ibu. Aku yang awalnya adem-ayem jadi terusik juga. Ibu kok semangat sekali ya…ada apa?

Akhirnya kubuka diskusi kecil-kecilan dengan sahabatku. Informasi dikumpulkan dan dikaji lebih serius. Kesimpulan yang diperoleh: Laki-laki, 32 tahun, sarjana komputer, buka usaha sendiri, anak tunggal, tetangga Mbah, Ibunya teman lama Ibu, pendiam, (kata Ibu) baik.

Hanya itu? Ya, hanya itu. Dengan agak kejam kubilang: STD (dibaca standart). Gak ada istimewanya. Di luar sana banyak laki-laki bujangan dengan CV sama atau lebih bagus.

Sahabatku menambah informasi kalau selama ini banyak Ibu-Ibu yang mencoba mengenalkan anak gadisnya tapi tidak ada respon darinya. Aku mendelik, sewot. Belagu tuh orang. Tambah sewot lagi waktu sahabatku membela,”Mungkin baru mulai buka usaha makanya gak nyari istri dulu. Kan belum mapan.“
Bah, alasan…

Aku yang awalnya udah gak tertarik jadi gak respek blas. Sampai suatu ketika Ibu bilang,”Anaknya emang agak pendiem, santun, alim, rajin ibadah. Udah terkenal begitu di kampung.” Aku tetep cu….Eh, bagaimana? Alim, santun, rajin ibadah? Wah, ini yang bikin jadi gak STD hehehe.

Sekarang aku yang penasaran. Siapa namanya? Seperti apa orangnya? Hmm, harus ada cara untuk mengetahuinya. Kasih nomor HP lewat Ibu ke ibunya? Cuti untuk pulang kampung? Pura-pura nyamperin tokonya? Eitts, tunggu dulu. Gak mungkin. Bapak sudah mengultimatum tidak boleh ada gerakan menyerang duluan, langsung atau tidak langsung. Alamak…

Walhasil, sampai sekarang aku dan Ibu muter otak mencari cara terbaik dengan mengindahkan ultimatum Bapak agar ide perjodohan ini setidaknya berbuah hasil perkenalan dulu antara tukang komputer (julukanku untuknya) dan sahabatku.

Lho kok sahabatku? Lha iya, wong cerita ini memang tentang dia dan tukang komputer kok hehehe.

(Aku seneng dan deg-degan menunggu saat itu tiba. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk, kemudahan dan yang terbaik untuk sahabatku. Amiin)

Juli 13, 2005

MINA SAN, SAYOONARA, MATA JUU GATSU…

Semalam, setelah melewati pertimbangan ini-itu akhirnya dengan berat hati aku memutuskan terminal dari nihon-go o benkyoo di NICE Center. Curhatku ke Ulfa-sensei ditanggapi dengan keputusan: terminal 3 bulan, nunggu kelas 1 D naik ke kelas 2 A. Selama 3 bulan aku wajib memperkuat Minna 1-ku. Artinya : Sayoonara NICE Center, Tan Like-san, Ulfa-Sensei, Suharto-sensei, Kuroda-sensei, Bunda, Attira-san, Kezia-san, Arya-san, Damba-san, semua…

Sejak awal tahun ini aku udah mulai merasa keteteran. Kesibukan kerja ditambah diklat CFA yang menuntutku bolak-balik Surabaya-Jakarta setiap minggu selama tiga bulan membuatku pontang-panting membagi waktu antara belajar nihon-go dan teori-teori investasi itu. Mina 1-ku lewat begitu saja. Dan sekarang penyusunan anggaran 2006 menjadi puncak segala keruwetan.

Naisu Centa, sayonara…mata juu gatsu…

Tidak terasa setahun lebih aku resmi jadi anggota NICE Center. Banyak pengalaman yang aku dapatkan. Dari Obata sensei dan Takahashi sensei aku belajar bagaiman nihon-jin mengorganisasi kegiatan. Ketika tujuan bersama sudah ditetapkan, tidak peduli apapun posisimu, semua harus ‘berpikir’ dan ‘bekerja’ bersama. Pendapat, ide, kritik dan saran dari siapapun juga adalah ‘berharga’.

Mina-san, sayonara…mata juu gatsu…

Insya Allah aku akan kembali awal Oktober walau mungkin aku akan memasuki kelas yang berbeda dengan kelasku sekarang. Itu artinya, aku akan kehilangan:

Ulfa-sensei, dengan tawa yang ditahan setiap kali kami membuat keributan dan becandaan.

Attira-san, dengan gaya ABG-nya yang meriah dan lucu (harus kuakui, listening-nya jago banget padahal dia masih SMP…lho, apa hubungannya ya hehehe. Mungkin karena hobbynya nonton dorama dan anime).

Kezia-san dengan gaya sok dewasanya (padahal aku tahu pasti dia suka loncat-loncat kegirangan bareng Attira-san saat membahas manga dan anime-anime itu).

Arya-san dengan gaya sok pintarnya (terutama saat-saat hasil chukan-shiken dan kimatsu-shiken itu dibagi. Pasti Arya-san akan mencak-mencak dan berteriak “Rona-san, bagaimana bisa nilaimu lebih bagus dariku! Aku gak terima! Sensei pasti sentimen padaku”. Huahahahaha).

Damba-san (my bro..ihik). Aku akan merindukan saat kita saling mencela dan bekerja-sama ngerjain sensei. (Atau saat kau curhat tentang kuliah, hobby, cita-cita dan mimpi-mimpimu. Aku tunggu undangan ke Bon Cafe atau kunjungan kuliahmu di Jepang nanti hehehe).

Watashi no tomodachi, maafkan daku yang pernah salah menilai. Bersama kalian, sekali lagi aku memaknai kalimat don’t judge the book by its cover. Tiga bulan lagi Insya Allah aku kembali berjuang bersama kalian. Walau kita beda kelas, tapi setidaknya mimpi kita sama…

Mina-san, sayoonara, mata juu gatsu…

Juli 08, 2005

DARI RUMI UNTUK CINTA

……
Sesungguhnya tak pernah sang kekasih
mencari tanpa dicari kekasihnya.
Apabila kilatan cinta telah menyambar hati yang ini,
Ketahuilah ada cinta dalam hati yang lain.
Apabila cinta Allah bertambah besar di dalam hatimu,
Pastilah Allah menaruh cinta atasmu.
Tak ada bunyi tepuk tangan hanya dengan satu tangan,
tanpa tangan yang lain.
Kebesaran Illahi adalah takdir dan ketetapan yang membuat
kita cinta satu sama lain.
Karena takdir itu, setiap bagian dunia ini
Dipertemukan dengan jodohnya.
……

(Jalaludin Rumi)


(sepotong kidung Rumi yang kutemukan di lembaran undangan nikah temanku. semoga mampu menghadirkan kembali senyum di wajah para kekasih yang sedang menanti belahan jiwanya. )

Juli 02, 2005

AKU MENANGIS

.. .. .. ..
"Te, ganti channel dong"
"lho, lapo? Iki berita, Rin..."
"Aku giris, Te. Sakno lho..."
"Walah, gak opo-opo. Ngene ae lho..."
.. .. .. ..

Penggalan percakapan di depan TV antara aku dan Rini. Berita di TV sedang menayangkan kecelakaan KA di Pasar Minggu. Kereta yang ringsek, kerumunan manusia, hujan deras, evakuasi korban, ceceran darah, serpihan daging....Air mata menitik di sudut mataku. Segera kuusap sebelum Rini menyadarinya. Maaf ya, Rin....

Mendadak aku terkenang sepenggal percakapan dengan teman kuliahku, Harry:
.. .. .. ..
"Ron, kau pernah nangis gak?"
"Aneh koen iku. Ya pernah lah..."
"Aku gak percoyo. Model koyo kamu nangis?"
"Sekarepmu. Sing jelas kalo aku nangis gak bakalan di depan orang lain. Opo maneh kamu, wek"
"Ya itu maksudku. Aku pengen liat kamu nangis..."
"Opo? Keep dreaming for the rest of your life..."
"Huahahahahahhaha...."
.. .. .. ..
Dan kata-kataku terbukti sampai kami lulus dan berpisah karena pekerjaan yang berbeda. Aku tak pernah menangis didepannya atau temanku yang lain.

Aku bisa menangis. Bahkan sering sekali. Seperti ini....

Aku menangis setiap kali papa dan mama marah kepadaku untuk kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja kulakukan.

Aku menangis ketika menjawab 'tidak' di depan Indra ketika seorang teman di SMP bertanya apakah aku menyukai Indra? Aku telah berjanji pada papa. Lagipula Rima, sahabat SMP-ku, masih menginginkan Indra kembali padanya.

Aku menangis ketika De bertekad pindah kelas dan lebih memilih jurusan sosial daripada di jurusan fisika bersamaku. Dunia mengelam dan semangatku menguap.

Aku menangis ketika papa marah padaku karena gelar juara itu tidak dapat kupertahankan di kelas 2 Fisika. Alasanku: teman-teman yang lain lebih pintar.

Aku menangis ketika harus berjuang sendiri melawan rasa rendah diri ketika harus mewakili sekolahku untuk mengikuti The First World Community Development Camp. Saingannya banyak, senior-senior dan jago-jago pramuka.

Aku menangis ketika papa meninggal. Bahkan sampai sekarang pun ketika aku mengunjungi makamnya. Atau ketika aku teringat betapa inginnya aku mengatakan kalimat ini: Pa, Rona sayang papa.

Aku menangis setiap kali membaca surat tulisan tangan terakhir dari papa yang sedang belajar di Lyon.

Aku menangis ketika di suatu semester IPK-ku mencapai 3.8 dan papa tidak bisa melihatnya.

Aku menangis setiap kali mama atau adik-adikku bersedih.

Aku menangis ketika nenekku meninggal dan aku belum sempat memenuhi janjiku mengantar beliau berkeliling ke saudara-saudaranya.

Aku menangis ketika tugas telaahan stafku harus diulang dua kali karena aku tidak sependapat dan sedikit antipati pada salah satu bosku.

Aku menangis pada suatu malam ketika aku harus merelakan yang-tidak-boleh-disebut-namanya pergi dan memutuskan semua jalan untuk kembali demi kebaikan semua orang.

Aku menangis menyaksikan dan mengingat saudara-saudaraku teraniaya nun jauh di Bosnia, India, Palestina, Pakistan, belahan bumi manapun.

Aku menangis ketika tsunami menggulung saudara-saudaraku di Aceh dan aku hanya bisa berdoa.

Aku juga bisa menangis seperti ini:

Ketika sahabatku berduka dan menitikkan air mata didepanku.

Ketika sahabatku bahagia dan membaginya denganku.

Ketika kulihat penderitaan mereka yang kurang beruntung di jalanan. Dan akan semakin menyayat hati jika kutemui sosok tua di sana. Aku teringat mama dan nenekku.

Ketika aku makan enak dan bertanya-tanya apakah tetangga dan saudara-saudaraku bisa makan enak seperti aku.

Ketika aku nonton film Kuch-Kuch Hotta Hai dan segala macam film romantis lainnya. Termasuk kartun sekalipun.

Ketika aku membaca buku roman yang kisahnya menyayat hati.

Ketika aku menghadiri akad nikah saudara, teman atau sahabatku. Aku selalu bisa menangis ketika pengantin putri mencium tangan pengantin putra.

Ketika hatiku tiba-tiba dipenuhi rasa syukur atas semua hikmah dan nikmat-Nya. Pun ketika aku mengingat semua dosa dan kesalahan yang pernah kulakukan kepada-Nya atau orang-orang disekitarku.

Aku bisa menangis. Walaupun semua tangisan itu tanpa suara, sedu sedan atau air mata.

Tangisku yang bersuara dan berderai kutumpahkan dalam kesendirian. Dulu, selalu ada ruang yang kukunci atau pengasingan ke tempat jauh, sendiri. Sekarang, semuanya kutumpahkan dalam sujud-sujud panjangku pada-Nya. Mengapa? Karena aku tidak ingin dikasihani. Karena aku tidak ingin merepotkan orang lain dengan keluh-kesahku.

Jadi, ketika seorang teman yang baru kukenal mengatakan padaku bahwa aku pura-pura kuat padahal sesungguhnya aku lemah..............AKU MENANGIS.

Tangis kali ini pun tanpa suara, sedu-sedan atau air mata.


(Aku tak tahu cara berbagi tangis, sobat)
Half Purple and Blue Butterfly